Hilman Prasetyo Zain

80.5K 2.7K 39
                                    

Syafa

Namaku adalah Syafana Irina Husman, aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kini umurku menginjak 23th. Diumurku yang sudah termasuk dewasa ini begitu banyak kejadian yang telah ku alami, termasuk di cap sebagai gadis perawan berjilbab yang masih belum menikah.

Aku sesungguhnya tidak sama sekali risih dengan panggilan tersebut, tetapi Ayah dan Umikulah yang sangat benci dengan kata-kata tersebut. Aku paham dengan ketidaksukaan Ayah dan juga Umi, karena seburuk-buruknya putri dia tetaplah bagian terindah yang telah di berikan Allah yang sepatutnya di syukuri.

Seperti yang sudah di katakan oleh Ayah kemarin, hari ini seseorang akan datang untuk melamarku. Dan sekarang laki-laki itu telah berada di ruang tamu.
"Syafa apa minumnya sudah siap nak?" Suara Umi tiba-tiba saja memasuki gendang telingaku.

"Syafa sedang menyiapkannya Umi," Balasku

"Kalau sudah selesai segeralah antar kedepan, kasihan tamunya menunggu lama. Dan sepertinya nak Hilman sudah tak sabar ingin melihatmu." Ujar Umi lagi, aku hanya mengangguk pasrah.

Hilman Prasetyo Zain, pria yang datang melamarku dengan statusnya yang seorang duda dengan 2 orang putra dan satu orang putri. Aku tahu kisahnya yang sangat memilukan, di tinggalkan istri dengan  tiga orang anak. Dengan status si   bungsu yang bukan darah dagingnya. Tetapi dia rela merawat anak tersebut. Sungguh mulia hatinya sesungguhnya.

Aku berjalan menuju ruang tamu dengan nampan berisi gelas dan air minum di dalamnya, dengan pelan aku menaruh nampan diatas meja. Aku tidak berani mengangkat wajahku sekedar untuk mengetahui seperti apa wajahnya.

"Silahkan diminum." Aku berujar dengan pelan.

"Terimakasih" Balas suara yang terdengar maskulin ditelingaku.

"Umi, Syafa ke kamar." Ujarku meninggalkan ruang tamu.

**

Aku masih berdiam diri di dalam kamar setelah  satu jam yang lalu Hilman dan ibunya pergi dari rumahku. sesungguhnya aku sangat penasaran dengan keputusan Ayah mengenai lamaran Hilman, dan aku sendiri bingung apa yang semestinya aku jawab jika Ayah menanyakan padaku.

Seperti wanita kebanyakan, aku juga menginginkan mendapatkan pendamping hidup yang sholeh dan masih sendiri. Bukan seorang pria yang sudah pernah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak. Ya Allah apakah aku terdengar seperti orang yang tidak bersyukur?

Aku mengucap istigfar sebanyak tiga kali, sepertinya aku harus melakukan shalat istikharah agar hatiku lebih tenang. Suara ketukan di pintu mengalihkan pandanganku.

"Masuk," Ujarku pelan.

"Apakah Umi mengganggumu sayang?" Tanya Umi, aku menggeleng pelan. Umi terdengar menghembuskan nafas panjangnya.

"Umi tahu nak Hilman bukan laki-laki yang kau inginkan menjadi imammu. Tetapi apakah tidak sebaiknya kau berkenalan dahulu dengannya?" Pertanyaan Umi membuatku terkesiap.

"Syafa rasa perkenalan tidaklah penting Umi, jika memang menurut Umi sama Ayah dia baik untuk Syafa. Syafa bisa mempertimbangkannya Umi, Syafa hanya membutuhkan bertanya pada sang pencipta apakah Hilman memang yang terbaik atau tidak untuk Syafa." Ujarku mantap, awalnya aku ingin menolak. Tetapi melihat harapan di mata Umi, membuat aku tidak tega.

"Baiklah, Umi percaya Allah pasti menunjukan yang terbaik." Ujar Umi.

**
Hilman (Pov)

Sejujurnya aku sadar jika Syafa terlalu muda untukku yang sudah menginjak usia 34th, namun melihat dia yang sangat lembut dan sholeha membuatku merasa yakin bahwa dia adalah calon ibu yang cocok untuk ke 3 anakku. Sebut aku egois tidak mau mengalah. Dan tidak mau tahu perasaan Syafa, aku berjanji saat dia sudah sah menjadi istriku maka aku akan membahagiakannya semampuku.

Aku merenungi nasibku yang bisa di katakan kurang beruntung, di tinggal Vania dengan seorang anak kecil yang bukan darah dagingku di tambah lagi dengan Edmun dan Lilyana. Aku terlalu tamak dengan hidupku yang kurasa telah sempurna sehingga tidak memperdulikan Vania yang ternyata tidak berubah dengan kepintarannya menjadi seorang wanita yang mudah sekali jatuh cinta, hingga mengakibatkan perceraian akhirnya menjadi jalan terbaik.

Rasanya sesak nafasku mengingat perselingkuhannya,
"Ayah, kata eyang sebentar lagi Donny punya bunda?" Pertanyaan polosnya membuat kedua sudut bibirku tertarik, dan ingatan ku kembali pada gadis bernama Syafa. aku menatap wajah Donny, wajah yang begitu polos membuatku tidak bisa membencinya. Aku tersenyum.

"Hmm, memangnya anaknya ayah ingin memiliki Bunda?" Tanyaku menggodanya. Dengan antusias dia mengangguk.

"Tentu saja, semua teman Donny memiliki Bunda. Hanya Donny yang tidak," Ujarnya dengan wajah yang tampak sedih. Aku merangkulnya, mendudukkannya diatas pangkuanku.

"Berdoalah agar dia bersedia menjadi Bundanya bang Ed, kak Lily sama Donny," Ujarku mengecup puncak kepalanya.

Pria TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang