18

21K 1.9K 127
                                    

Ketika aku jatuh cinta, aku tidak hanya mencintaimu tapi juga merasakanmu. Rasa sakit dan pedih, juga cinta. Aku merasakannya hanya dengan memandangmu.

-Bryan Crawford.

Bryan bisa melihat Thalia meringkuk dengan kepala tertutupi jas putihnya yang kini telah kotor. Bryan bisa merasakan jantungnya hampir saja berhenti, ia kesulitan bernafas saat melihat wanita itu meringkuk dan tidak ada tanda gerakan apapun. Ia segera mendekati wanita itu, membalikkan tubuhnya dan mendengar suara lirih yang memanggil namanya.

Suara semanis madu yang selama ini di kaguminya diam-diam.

"Bryan..." panggil Thalia pelan.

Dengan susah payah Bryan menelan saliva yang tercekat di tenggorokannya. Ia menahan untuk tidak mengeluarkan air mata. Dia masih selamat... Selama lima menit pertama, Bryan terus mengucapkan kalimat itu untuk menenangkan jantungnya yang terus berdebar seperti orang gila. Ia menggenggam telapak tangan Thalia lembut dan melihat bercak darah.

"Aku sudah bilang...jangan mendekatiku," bisik Bryan pelan.

Ia mengangkat tangan Thalia dan mengecupnya pelan. Perlahan ia membawa tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Bryan harus menahan desakan untuk memukul bokong Thalia karena hampir saja mencelakai nyawa wanita itu sendiri. "Lain kali kau melakukannya lagi, aku akan memasukkanmu ke dalam ruang bawah tanah, Thalia Tjandrawinata.

Sementara itu, Thalia tidak bisa menjawab apapun. Yang di lakukan wanita itu hanyalah terbatuk-batuk akibat asap yang semakin tebal.

Dengan gerakan efisien, Bryan melepaskan jasnya, menutupi kepala Thalia dan menggendongnya keluar dari ruangan. Ketika sedang membawa tubuh Thalia keluar ruangan, ia mendengar wanita itu berbisik pelan, "Syukurlah kau baik-baik saja. Aku mencarimu, Bry..."

"Shh... Jangan bicara, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri."

"Bry, aku mencarimu..."lirih Thalia sekali lagi.

Bryan mengetatkan pelukannya pada tubuh Thalia, memaksakan kakinya untuk terus berjalan sementara asap di sekitar mereka semakin tebal. "Jangan bicara Thalia." Bryan menggeleng kepalanya pelan, "Please, jangan menyakiti dirimu, Li..."

Walaupun ia tidak bisa melihat dengan jelas, Thalia bisa merasakan Bryan peduli padanya. Pria itu memeluknya dan dari balik Jas, Thalia bisa merasakan pria itu. Bagi Thalia, hal itu sudah lebih dari cukup. Perlahan air matanya mengalir, dan ia berbisik, "Kau adalah mimpi. Benarkan?"

Ketika Bryan tidak menjawab, Thalia berbisik pelan kembali. "Aku selalu memimpikanmu dan kali ini... aku kembali memimpikanmu, iya kan?"

"Close your eyes, Li."

"Bry—"

"Ini adalah mimpi buruk. Saat kau terbangun nanti, yang kau ingat hanyalah kasur empuk dan segelas teh di sampingmu." Bryan kembali mengetatkan pelukannya pada tubuh Thalia sembari berjalan cepat menuju tangga darurat yang masih belum di penuhi asap. "Aku hanyalah bagian dari mimpi burukmu, Sugar."

Saat Bryan menerobos tangga darurat kedua, tiang penyangga jatuh menimpa punggungnya ketika ia membungkuk untuk melewati pintu. Bryan meringis namun tidak melepaskan pelukannya pada Thalia. Ia berusaha mengabaikan rasa sakit di punggungnya, prioritasnya adalah Thalia dan Bryan tidak memiliki waktu untuk mengkhawatirkan dirinya sendiri.

Kepala Bryan menunduk ketika tiang berikutnya hampir runtuh mengenainya, ia berusaha berjalan melalui celah yang masih bisa di lewatinya. Tepat ketika Bryan sedang berusaha melewati reruntuhan tiang, salah satu tiang penyangga di atas hendak jatuh mengenainya. Sontak tubuh Bryan melindungi Thalia dengan menutupi tubuh Thalia dengan tubuhnya sendiri.

The Man Who Can't Fall In LoveWhere stories live. Discover now