10

55.3K 5.1K 499
                                    

"Three shot Tequila."

Seorang bartender menyiapkan minuman yang di pesan oleh Thalia dan meletakkannya di hadapan wanita itu. Sementara Thalia meletakkan kepala di atas meja dengan rasa frustrasi yang begitu besar. Ia sudah bersumpah tidak akan pernah membiarkan siapapun menyetirnya, siapapun. Dan demi Tuhan, kenapa sekarang ia malah berpikir untuk membiarkan Karesh menyetirnya?

Karena dia menjanjikan kehidupan rumah tangga yang begitu kau inginkan.

Iya dan tidak. Thalia tidak bisa menepis bahwa itu adalah kesempatan yang bagus sekaligus pertaruhan yang sangat buruk. Ia tidak bisa membiarkan rasa hausnya akan Bryan malah membuat pria itu membencinya untuk seumur hidup.

Pria itu telah memilih Adrian dan seharusnya Thalia membiarkan pilihan pria itu membawanya pada kebahagiaan, sementara itu Thalia harusnya mendoakan kebahagiaan pria itu. Bukankah harusnya itu yang semestinya di lakukan Thalia?

Tapi di saat yang sama, mimpi singkatnya untuk memanggil Bryan sebagai suami terdengar begitu indah. Ia bahkan bisa mendengar suara lonceng gereja berdentang begitu merdunya. Dan hal itu membuatnya ingin menangis... Ia mengangkat tequila kedua dan meneguknya langsung hingga tandas, sementara hatinya semakin menganga.

Mabuk tidak pernah bisa membuatnya bahagia, namun Thalia bisa menangis. Dan untuk sekarang, inilah yang diinginkannya. Menangis.

Perlahan ia mengambil ponselnya dari saku, melihat kontak dan tatapannya berhenti pada nama 'Bryan Crawford'. Ia membuka kontak tersebut dan tangannya bergetar ketika ingin menekan tombol 'Call'. Thalia ingin menangis, ia ingin menjerit namun belum bisa melakukannya. Lantas, ia langsung menekan tombol 'Back' dan menghubungi Adenna Hawkes.

"What happened Li?" tanya Adenna dari seberang telepon.

"Na, kau ingat saat pertama kali aku mengatakan kepadamu kalau aku mencintainya?" Thalia tertawa miris dan menahan tangisnya. "Kau terus mengatakan bahwa aku adalah gadis terbodoh karena mencintai pria yang jelas-jelas tidak pernah melihatku. Iya kan..."

"Kau di mana, Li?"

"Dan kau mengatakan, 'For God Sake, kenapa kau bisa mencintai pria seperti dia yang bahkan menganggap wanita sebagai kesenangan belaka?' Lalu aku mengatakan, 'Aku bahkan tidak tahu mengapa aku jatuh cinta padanya.' " Thalia mengusap air matanya dan menarik nafas pelan sebelum berkata, "Aku bahkan tidak tahu kenapa aku jatuh cinta kepadanya Na..."

Adenna terdiam.

"Aku bahkan tidak tahu mengapa aku ke Manhattan hanya untuk mengejarnya. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku memaksa agar bisa berada di dekatnya walaupun hanya sebentar. Aku bahkan tidak tahu... bagaimana mengenyahkan perasaan ini, Na," bisik Thalia. "Aku tidak tahu... tapi aku mencintainya dan kehilangannya... adalah satu-satunya hal yang bisa merusakku."

"Kau tetap rusak bahkan jika pria itu tidak hilang, Li. Without you knowing it, your love for him has damaged your own heart. Itulah kenapa aku menyuruhmu untuk pergi sejauh mungkin."

"I can't..."

"Kau tidak bisa karena perasaanmu sendiri, Thalia. Kau tidak bisa kehilangannya dan kau juga tidak membiarkan kesempatan datang padamu. Jadi apa yang kau harapkan sebenarnya?" tanya Adenna. "Thalia... mencintai seseorang memang sangat menyakitkan, dan di abaikan oleh orang yang kau cintai adalah hal yang sangat menyakitkan. Tidakkah kau mengerti?"

"Adenna..."

"Let's end here, Li."

Lima belas menit telah di habiskan oleh Thalia untuk menatap ponselnya, ia menatap kontak Bryan di layar ponselnya sementara ucapan terakhir Adenna masih terngiang di benaknya. Let's end here, Li.

The Man Who Can't Fall In LoveWhere stories live. Discover now