9

58.3K 5.2K 595
                                    

Kata orang cinta seharusnya saling mengungkapkan. Tapi aku mencintaimu tanpa mengungkapkannya, karena aku tidak mau kau menyadarinya.

—Bryan Crawford.

Thalia membutuhkan satu jam untuk menangis, dan hanya membutuhkan sepuluh menit untuk mengusap air matanya, memaksa dirinya untuk bersikap baik-baik saja. Ia harus baik-baik saja jika ia tidak mau ada orang yang menganggapnya lemah.

Ia bangkit dan berjalan ke balik meja kerjanya. Ia membuka lemari dan tatapannya terpaku pada sebuah foto Bryan yang di ambilnya diam-diam dari salah satu tabloid yang memberitakan mengenai pria itu.

Semua orang memaksanya untuk menjaga jarak dengan pria itu. Karena Bryan Crawford bukanlah pria yang tepat baginya, tapi Thalia telah mencintainya sejak ia pertama kali melihat Bryan Crawford di perpustakaan sekolahnya. Ia sudah jatuh cinta ketika pria itu bahkan tidak pernah mengenalnya sebagai adik kelas.

Dan ketika semua orang menyuruhnya untuk melupakan pria itu, kenapa perasaannya tidak bisa berubah semudah itu? Kenapa perasaannya tidak bisa berhenti semudah yang di ucapkan oleh orang di sekitarnya?

Tatapan Thalia masih tertuju pada foto tersebut. Tanpa sadar tangannya terulur dan mengelus sisi foto tersebut dengan gerakan hati-hati."Foto tidak akan pernah menyakiti kita walaupun pada kenyataannya orang tersebut telah menghancurkan kita..." bisiknya pelan. Ia menelan saliva-nya dan tersenyum sinis. "Katanya... cinta tidak berarti kita harus memiliki orang tersebut Bry..."

"Benarkah?"

Pertanyaan itu di tujukan kepada seseorang yang jelas-jelas tidak ada di dalam ruangannya. Dan mengetahui hanya ada dirinya di dalam ruangan, itu terasa sangat menyakitkan.

"Apakah... kau akan selalu memilih Adrian di banding diriku?"

Belum sempat ia menenangkan dirinya, ponselnya berdering dan Thalia langsung merogoh saku-nya cepat. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya, Thalia mengangkat ponselnya. "Doctor Tjandrawinata here, May I assist you?"

Thalia mengernyit karena orang di seberang telepon tidak menjawab pertanyaannya. Ia menjauhkan ponsel tersebut dan kembali mendekatnya lagi. Kali ini ia berkata dengan lebih keras. "Sir, or whatever you are, I'm not giving—"

"Apakah kau benar-benar mencintai Bryan?"

Pertanyaan itu sukses membuat Thalia bingung dan juga terkejut. Hanya amarahnya saja yang mampu membuatnya bertahan dan menghilangkan keterkejutannya dengan sangat cepat. Ia menarik nafas perlahan sebelum kembali berkata, "Apa yang anda inginkan Mr. Crawford?"

"Aku menginginkan jawaban, Ms. Tjandrawinata."

"And I'll not giving you that fucking answer," ucap Thalia kasar. "Listen to me, kau salah kalau menganggap aku hanyalah seorang dokter. Aku adalah Tjandrawinata dan aku tidak akan pernah membiarkan satu orangpun menekanku hanya untuk mendapatkan jawaban, begitupun dengan anda."

"Dan sebesar itukah kau mencintainya?"

"Apakah anda tuli?! Apa anda tidak mendengar semua yang aku katakan barusan?! Apa anda—"

Belum selesai Thalia mengungkapkan kekesalannya, Karesh sudah berkata, "Aku bisa membantumu mendapatkan puteraku yang bodoh itu. Yang harus kau lakukan hanyalah menyerahkan seluruh hatimu dan juga masa depan. Jika kau mau melakukannya, maka aku bisa membuat kalian berdua bersama."

"Tapi ketahui-lah mendapatkannya sama sekali tidak mudah karena dia akan membencimu." Karesh terkekeh ketika Thalia tidak memberikan tanggapannya sama sekali. "Oh... atau sebenarnya perasaanmu tidaklah sebesar itu? Atau kau hanya menganggap Bryan sebagai mainan yang menarik, di mana kau hanya menginginkannya karena dia tidak menginginkanmu tapi kau malah mengatasnamakannya dengan cinta?"

The Man Who Can't Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang