Maerri - Ed 7

325 44 5
                                    

2 Desember 2017

Selamat malam minggu...

Selamat bahagia...

Mita ^^,



Ngulet alias menggeliat atau lebih enaknya kita sebut meregangkan tubuh adalah kegiatan paling menyenangkan yang biasa dilakukan beberapa saat setelah bangun tidur. Seperti yang kulakukan saat ini, meregang-regangkan tangan, tubuh dan kaki hingga semua otot yang tegang dan kaku perlahan-lahan mulai terasa lebih rileks. Kenikmatan tiada tara yang membuatku tetap memejamkan mata untuk lebih menikmatinya.

“Oh, indahnya dunia....” ucapku saat tubuh ini terasa lebih segar setelah melakukan ritual pagiku.

Eum, tetapi kenapa rasanya ada yang aneh? Tidak biasanya aku terbangun dengan rasa dingin seperti ini. Dan... kenapa kasurku terasa sangat keras?

Kubuka mata untuk mendapati bahwa aku tidak sedang tidur di kasurku, tetapi di lantai hanya beralas kain sarung. Bergegas aku bangun dari posisi tidurku. Masih terduduk, bingung, mencoba mengingat lagi apa yang terjadi semalam hingga aku terdampar di lantai. Dan sebuah seringai jahat yang kukenal mengingatkanku akan kejadian menyebalkan tadi malam.

Kebodohanku juga berpikir menawari Ed merupakan ide yang bagus semalam. Tapi kenyataannya, hal itu justru digunakan Ed untuk mengolok-olokku. Karena kesal, aku akhirnya memilih tidur di lantai beralaskan kain sarung. Ya ampun, malam pengantin yang benar-benar luar biasa!

“Argh! Ed menyebalkan!” dengan tatapan setajam silet, kutengok kasurku yang ternyata sudah kosong. Tanda keberadaan seseorang di situ terlihat jelas dari selimut yang terlihat teronggok berantakan di kaki kasur.

Ke mana dia? Memangnya jam berapa ini, dia sudah menghilang? Mataku langsung tertumbuk pada jam dinding yang melekat di atas pintu kamarku, menunjukkan sekarang sudah pukul 08.07.

Pertanyaanku segera terjawab saat ketukan di pintu kamarku disertai teriakan dan omelan yang sangat kukenal, “Mbak, bangun! Ini gimana sih anak cewek satu. Suaminya sudah bangun dianya malah masih molor.”

“Maaf ya, Nak Ewi. Si Mae ini memang kebiasaan begini. Sukanya bangun mepet-mepet.”

“Ah, nggak apa-apa, Bu. Mungkin Merinya capek karena acara kemarin.”

“Aduh, tapi kan Ibu yang malu kalau begini. Wong Nak Ewi juga kan sama capeknya tapi tetap bisa bangun pagi.”

“Saya maklum kok, Bu. Lagipula memang sudah seharusnya saya menerima Meri apa adanya.”

Sayup-sayup percakapan antara Ibu dan Ed yang kudengar dari dalam kamar sungguh membuat mual. Dasar pria bermuka dua!

Berdecak, aku segera bangun dari posisi dudukku dan segera membereskan kamarku sekenanya. Sebenarnya aku masih ingin meneruskan tidurku kalau saja aku tidak memikirkan teriakan dan omelan Ibu yang akan menjadi semakin ganas. Jadi lebih baik cari aman saja.

Dengan langkah berat, aku berjalan keluar dari kamar. Terlihat Ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan sekaligus mengoceh entah apa pada Ed yang dengan setia mendengarkan sembari duduk di meja makan. Bapak seperti biasa, di depan televisi menonton berita lengkap dengan segelas besar teh manis hangat.

Menilik situasi yang ada, entah kenapa kakiku memilih menuju ke arah Bapak yang sedang sibuk dengan beritanya. Tanpa berkata apa pun kudaratkan pantatku di sofa samping Bapak. Kulihat Bapak hanya melirikku sekilas kemudian kembali fokus menonton berita. Dan sesuai dugaan dan keinginan, aku menemukan ketenanganku di sini. Hingga lama-lama, mataku terasa berat dan terpejam tanpa kuperintah.

Tepukan keras yang terasa panas di punggunglah yang akhirnya membangunkanku.

“Ya Allah, anak cewek satu begini banget sih.” Omel Ibu yang dengan segera kujawab, “Mae nggak tidur, Bu. Cuma merem aja gegara matanya pedes nonton TV.”

“Cuma merem apanya? Jelas-jelas pules sampai kedengeran ngoroknya. Ya kan, Pak? Bapak saksinya tuh.” Tukas Ibu yang membuahkan tawa dari Bapak dan—yang pasti—Ed.

“Ih, nggak ada ya namanya Mae ngorok. Cuma merem, Bu, cuma merem ... elah, nggak percayaan banget sih.”

“Terserahlah. Mau cuma merem kek, mau pules kek. Sekarang mending cuci muka sana, terus sarapan. Itu ditemenin Nak Ewi. Dari tadi dia sendirian, malah nemenin Ibu masak. Kamu itu jadi istri gimana sih. Bukannya ditemenin suaminya, malah dibiarin keliaran sendiri.” Omel Ibu sembari menarik-narikku yang sebenarnya masih malas untuk beranjak.

Dengan terpaksa aku segera beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Lalu setelahnya menuju ke ruang makan di mana Bapak, Ibu dan Ed sudah duduk dengan manisnya di sana.

“Ibu masak apa?” tanyaku yang segera melihat penampakan banyak makanan di atas meja. Beberapa adalah sisa makanan resepsi kemarin dan selebihnya masakan Ibu. Tentu saja aku lebih mengincar masakan Ibu yang terdiri dari sayur lodeh, telur dadar, ikan goreng, dan sambal. Duduk di sebelah Ed, aku segera meraih piring dan mengambil nasi dan lauk yang kuinginkan.

“Mbak Mae, anaknya Ibu yang paling ayu. Itu ambil makanan buat siapa?” tanya Ibu membuatku bingung.

“Buat Maelah, Bu. Memangnya buat si ...” Pelototan mengerikan Ibu yang diarahkan padaku menghentikan balasanku.

“Ambilin suaminya dulu!” bentak Ibu yang segera membuatku menciut. Dengan kesal kulirik Ed yang duduk di sampingku terlihat menahan tawanya.

“Maafin anak Ibu ya, Nak Ewi.” Ucap Ibu pada Ed masih dengan pelototannya yang diarahkan padaku.

“Nggak apa-apa, Bu. Saya bisa ambil makanannya sendiri.” Jawab Ed yang tentu saja membuatku ikut melotot. Ed benar-benar cari ribut! Tidak lihat apa pelototan Ibu membuat matanya hampir keluar dari rongga, dan dia justru semakin memancing mata tersebut supaya keluar.

“Nggak boleh! Biarin Mae yang ambilin.” Dengan pelototan yang semakin mengerikan, Ibu menyodorkan piring ke arahku. Tanda bahwa aku harus segera mengambilkan Ed makanan.

“Kamu mau lauk apa aja?” tanyaku pada Ed yang kubuat semanis mungkin padahal di dalam hati rasanya ada letupan lahar yang siap meledak. Tapi apa daya, pelototan Ibu masih beliau arahkan padaku.

“Aku mau semua masakan Ibu. Soalnya dari tadi Ibu masak rasanya udah nggak sabar pengen cicip. Padahal aku cuma cium baunya aja udah bisa bayangin seenak apa masakan Ibu.” Jawab Ed yang tentu saja menghasilkan senyum lebar dari Ibu.

“Aduh, tahu Nak Ewi dari tadi kepengen masakan Ibu, pasti Ibu udah suruh cicip-cicip waktu Ibu masak tadi.” Ucap Ibu yang kemudian tertawa bahagia. Astaga! Pasangan mertua menantu ini lama-lama membuatku gila.

Tahu ah! Kesal, kuambilkan nasi banyak-banyak untuknya. Dia bilang tidak sabar merasakan masakan Ibu, kan? Sekarang biar dia menikmati sepuasnya.

Dengan senyum penuh kemanisan palsu, kusajikan sepiring nasi beserta lauk yang membumbung tinggi yang tentu saja berbuah wajah tidak percaya Ed. Rasakan saja!

***

“Kamu mau bunuh aku, ya?” Pertanyaan itu kudapat saat aku memasuki kamar setelah mandi. Ed terlihat tidak berdaya menopang tubuhnya di kepala tempat tidur dengan tumpukan bantal, tidak henti-hentinya mengelus perutnya yang saat ini terlihat sedikit membuncit.

Aku tidak kuat menahan tawa melihatnya. Sukurin!

Tanpa menghiraukan Ed, aku berjalan santai menuju ke meja rias untuk membenahi tampilanku setelah mandi. Saat meraih sisir, mataku tertumbuk pada amplop putih panjang yang tergeletak di meja rias yang tidak aku tahu asalnya. Kuraih amplop itu dan kutilik isinya yang ternyata berupa uang yang menurutku lumayan banyak.

Masih bingung, kutengok Ed yang ternyata sedang memandangiku, “Ini apa, Ed?”

“Itu uang bulanan dariku buat keperluan kita.” Jawabnya yang tiba-tiba saja membuatku tertegun.
Uang bulanan dari Ed?

Dari kemarin aku selalu merasa pernikahan kami seolah tidak nyata. Memang kami menikah, tapi hubungan kami seolah masih tetap seperti dulu, sebatas teman satu komplek atau teman masa kecil. Tapi saat ini, memandang amplop yang berisi uang bulanan dari Ed seolah memastikan bahwa pernikahan kami ini nyata.

Uang ini nyata. Hasil kerja keras Ed yang setiap bulannya dia percayakan padaku untuk kukelola supaya mencukupi kebutuhan kami. Dan kini semua terasa nyata, bahwa aku saat ini benar-benar istri Ed.


TBC

Just Maerri-EdWhere stories live. Discover now