Maerri - Ed 5

425 68 20
                                    

“Saya terima nikah dan kawinnya Maerri Ana Nabila binti Zaenal Mustofa dengan mas kawin emas seberat 15 gram tersebut tunai.” Kalimat qabul yang diucapkan dengan lantang tersebut membawaku pada ingatan 14 tahun yang lalu. Entah sebenarnya saat itu merupakan pertanda atau hanya kebetulan belaka, saat ini tanggal 10 April 2017 untuk kedua kalinya aku mendengar kalimat qabul yang diucapkan orang yang sama. Menikah dua kali dengan pria yang sama? Bukankah itu sedikit lucu?

Walaupun 14 tahun yang lalu kami menikah hanya main-main, tapi setelahnya kami benar-benar harus berciuman. Bibir menempel bibir yang dulu selalu orang lain anggap hanya sebuah permainan, namun aku justru menganggapnya sebagai ciuman pertamaku. Kini kami harus mengulang semua ritual itu dalam konteks yang lebih serius.

Saat ini kami benar-benar menikah. Disahkan bukan hanya oleh agama tetapi juga oleh negara. Dengan dipimpin penghulu asli, bukannya bocah nakal yang suka menempelkan upilnya di rambutku. Mas kawinnya berupa seperangkat perhiasan yang kupilih sendiri, bukannya seperangkat alat sholat yang tidak ada wujudnya. Dan yang membuatnya lebih nyata adalah buku kecil berwarna hijau dan merah yang kini aku dan Edwin miliki.

Teriakan sah dan beberapa ucapan penuh syukur terdengar memenuhi rumah kecil Bapak dan Ibu, tanda bahwa kini aku resmi menyandang status sebagai Nyonya Edwin Raharja. Tetapi entah kenapa perasaanku justru hampa?

Kutatap Edwin yang kini menatapku dengan senyum palsunya. Seolah memamerkan pada dunia bahwa dia bahagia, tetapi aku tahu semua itu hanya kedok dalam menutupi perasaan yang sebenarnya dia rasakan. Sama sepertiku. Selama hari terakhir persiapan pernikahan, kami seolah sepakat bahwa kami harus menunjukkan pada orang-orang terdekat bahwa kami bahagia dengan semua ini—yang sebenarnya hanya kebohongan.

Aku menerima pernikahan ini karena aku tidak bisa menolaknya setelah apa yang kuminta. Tetapi di sudut hatiku, aku ingin merasakan dipuja, disayangi dan dicintai oleh seorang pria. Dan aku tidak yakin hal-hal itu bisa kudapatkan dari Edwin. Entah apa alasannya mau menikah denganku, yang aku tahu dia sama sekali tidak memuja, menyayangi bahkan mencintaiku. Sama sekali.

Perlahan-lahan wajah Edwin semakin dekat, saatnya dia menciumku. Menunjukkan pada dunia bahwa kami pasangan berbahagia yang—kelak akan—saling mencintai. Dengan senyum terpasang di wajah aku mulai menutup mata. Berpikir bahwa Edwin akan menciumku di bibir, tapi tanpa diduga dia justru mencium dahiku. Refleks aku membuka mata dan mengernyitkan dahi, namun Edwin hanya tersenyum semakin lebar lalu mencolek hidungku. Gesture ringan yang entah kenapa membuatku salah tingkah sendiri.

“Aaaaahh, aku seneng banget waktu tahu kalau Mbak Meri yang bakal nikah sama Mas Ewi.” Pelukan erat yang sama sekali tidak kuduga kudapatkan segera setelah semua susunan acara akad nikah pagi ini terlaksana. Shella Raharja, adik dari Edwin yang kuliah di Jakarta, terlihat begitu manis dalam balutan kebaya warna pink lembut—seragam bagi pihak keluarga putri.

“Loh, katanya kamu nggak bisa pulang?” tanyaku yang masih sedikit terkejut dengan kehadirannya. Dengan alasan dia harus sidang proposal hari ini, Edwin bilang dia tidak bisa menghadiri pernikahan kami.

“Alhamdulillah, sidangnya terpaksa diundur bulan depan. Salah satu dosen pembimbing pergi Umroh. Jadilah aku bisa nyempetin ke sini. Lagian mana mungkin aku sia-siain kesempatan godain si mamas.” Dengan gemas kucubit pipi Shella yang terlihat menggemaskan dengan matanya yang berbinar jahil. Aku selalu menyukai hubungan kakak beradik Edwin dan Shella. Terlihat jelas walaupun saling suka mengganggu satu sama lain, mereka juga saling menyayangi satu sama lain.

“Aku titip mamasku ya, Mbak. Aku tahu kalau terkadang dia bakalan nakalin Mbak Meri. Tapi aku minta Mbak Meri sabar ya ngadepinnya. Aku yakin Mbak Meri adalah salah satu jawaban doaku buat Mas Ewi yang diijabah Allah. Bahagia selalu ya, Mbak, sama Mas Ewi.” Ucapnya to the point yang membuatku tercekat. Aku tidak tahu kalau kepercayaan seseorang begitu membebani. Dan sekarang aku merasakannya. Aku hanya bisa menatap mata Shella yang berbinar untuk kebahagiaanku dan Edwin. Aku ingin merasa bahagia seperti harapannya, tetapi entah kenapa rasanya sulit.

“Loh, Mbak Meri kok malah nangis.” Sapuan lembut jari-jari Shella menghapus air mataku justru seolah membuka keran perasaan yang tanpa sadar sudah terlalu lama kubendung. Air mataku justru mengalir semakin deras tanpa bisa kutahan lagi. Aku sangat ingin bahagia. Walaupun mungkin tidak seperti kebahagiaan ala dongeng ‘untuk selama-lamanya’, tapi paling tidak aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan dari pernikahan ini.

“Kamu apain istriku sampai nangis gitu?” Pertanyaan itu berbarengan dengan teriakan mengaduh dari Shella yang segera mengelus dahinya yang mendapatkan sentilan dari Edwin. Bertepatan dengan itu, sebuah sapu tangan teracung di depan wajahku. Kuraih sapu tangan itu dan kuhapus air mata yang mengalir dengan hati-hati. Aku tidak mau merusak dandanan yang dengan penuh kesabaran sudah kulakukan sejak Subuh.

“Dih, Mbak Meri itu nangis menyesali nasibnya yang sial gara-gara nikah sama Mas, tahu!” Ucapan Shella itu sontak membuatku tertawa masih dengan beberapa tetes air mata yang dengan bandelnya tetap menetes.

“Dasar!” Belum sempat Edwin menyentil dahi Shella lagi, dia sudah berlari menjauh. Meninggalkanku hanya berdua dengan Edwin.

“Nggak usah dipikirin apa yang dibilang Shella.” Perkataan Edwin itu mau tidak mau membuatku tersenyum. Andai dia tahu apa yang diucapkan adiknya. Dia pasti menyesal berkata seperti ini padaku.

“Shella nggak ngomong apa-apa kok. Cuma akunya aja yang sensitif setelah akad nikah tadi.” Jawabku diplomatis. Aku tidak ingin Edwin berpikir bahwa Shella mengatakan hal yang bisa membuatku menangis dan berkewajiban untuk mengetahuinya. Perkataan Shella tadi hanya akan kusimpan untukku sendiri.

“Hmmm... kalau kamu pengen percaya itu, baiklaaaaahh....” Setelah berkata seperti itu, Edwin terdiam. Dan aku yang tidak tahu harus berkata apalagi hanya bisa ikut terdiam.

Kami berdua terus berdiam diri selama beberapa waktu, hingga Ibu memanggil kami. Tanda bahwa kami harus memperbaiki riasan kami dan berganti pakaian untuk resepsi yang memang diadakan setelah akad nikah.

***

Kurasa aku perlu bersyukur saat ini, karena baru kutahu kalau kami tidak jadi menggunakan pakaian adat basahan. Setelah perdebatan kami saat itu, aku sama sekali tidak mau tahu tentang hal ini. Semua kuserahkan pada Edwin. Aku hanya pasrah saja. Dan sekarang ingin rasanya aku melompat memeluknya demi menunjukkan rasa terima kasihku yang teramat besar.

Memang rasanya hal ini hanya masalah sepele. Namun menurutku hal ini sangat berarti. Aku merasa tidak nyaman jika harus mengenakan pakaian adat basahan. Dilihat oleh orang-orang hanya mengenakan kain yang melilit tubuhku, aku merasa seperti setengah telanjang. Tapi syukurlah semua itu tidak harus kualami.

“Makasih.” Bisikku pelan di  dekat telinga Edwin. Saat ini kami sudah berada di atas panggung, siap untuk melakukan upacara adat yang memang harus kami lalui, lalu menyalami dan berfoto dengan tamu yang datang. Bingung, dia menatapku penuh tanya.

“Aku nggak perlu masuk angin.” Ucapku yang langsung membuat Edwin memasang wajah merajuknya. Mungkin teringat kembali kegagalannya memamerkan tubuhnya yang menurutnya seksi.

“Kalau bukan karena aku inget kalau kamu memang gampang kena flu, aku bakalan bisa mamerin badanku ke banyak orang saat ini.” Jawabnya yang membuatku tersenyum. Tetapi awal kalimatnya sedikit menggelitikku. Dia ingat kalau aku gampang terkena flu? Aku sedikit tersanjung dengan perhatiannya itu.

“Tetep aja aku harus bilang makasih.” Balasku yang langsung dijawab Edwin dengan menyebalkan, “Tentu saja.”

Dan setelah itu percakapan kami terpaksa terhenti. Upacara adat harus segera dilakukan. Sekali lagi, dengan memasang wajah penuh senyum kami melewati upacara adat yang cukup menyenangkan. Cukup menyenangkan hingga senyum kami bukan lagi hanya sebuah sandiwara. Apalagi dengan kekonyolan Edwin saat kami harus menyuapi satu sama lain. Aku yakin, kalau pengantin pria yang lain hanya pasrah saja mau disuapi apa juga. Toh ini hanya untuk melengkapi tradisi dan melengkapi foto-foto yang ada. Tapi dasar Edwin, saat aku akan menyuapinya dia memprotes bahwa nasi yang kuambil kebanyakan. Dia mau lauknya yang banyak bukan nasinya. Dia juga tidak mau ada sayur warna hijau di dalam suapan. Padahal suapan yang dia berikan padaku hanya nasi putih tanpa lauk. Seumur-umur, aku tidak pernah tahu kalau ada pria serewel dia. Tapi ya lumayanlah meskipun menyebalkan, paling tidak kelakuannya itu cukup menghiburku.

Hingga akhirnya saat yang melelahkan tiba, menyalami dan berfoto dengan para tamu. Memasang wajah penuh bahagia untuk semua tamu yang hadir—tidak terkecuali—bahkan pada mantan. Meskipun jelas sekali aku tidak sudi mengundang mantan di acara pernikahanku. Merusak mood saja.

Beberapa kali kami harus berdiri menyambut tamu, cipikia cipiki entah pada siapa saja. Berbasa-basi dengan berterima kasih atas kedatangan mereka. Dan ada saatnya tamu-tamu sibuk menikmati makanan yang dihidangkan, sehingga tidak ada yang bisa kami lakukan selain duduk di pelaminan. Saat itulah aku akan merasa bosan. Tidak ada yang bisa kulakukan bahkan mengobrol dengan Edwin bukan pilihan yang menarik. Bisa-bisa kami nantinya justru berdebat yang berujung merusak mood kami berdua.

Hingga tiba-tiba sebuah senggolan di lengan membuatku menengok pada Edwin yang terlihat sama bosannya denganku.

“Apa?” tanyaku datar.

“Bosen. Main yuk.” Ajaknya yang membuatku melongo. Main? Saat kami berada di hadapan banyak tamu? Otak Edwin masih waras kan?

“Main apaan?” bisikku horor tiba-tiba membayangkan Edwin meminta kami bermain petak umpet. Nggak lucu kan kami harus berlari-lari dan bersembunyi di hadapan para tamu.

“Ya apaan kek. Bosen banget, sumpah!” Aku hanya bisa mengernyitkan dahi menatapnya tidak percaya. Halow, saat ini kami adalah pasangan pengantin berbahagia yang sedang dipamerkan di atas pelaminan. Dan apa? Sang mempelai pria mengajak main?

“Tapi kita lagi dipajang di hadapan orang banyak, Ed.” Desisku yang hanya membuahkan sebuah decakan kesal dari Edwin.

“Ya nggak papa. Kalau mereka mau ikut main juga boleh. Ayolah, Mer....” rajuknya yang membuatku menghela napas menyerah. Terserahlah, lagian aku juga merasa bosan.

“Oke. Mau main apa emang?” tanyaku akhirnya.

“Ehm, kita suwit, yang kalah harus dihukum.” Ya ampun, kekanakan sekali ide Edwin itu, namun entah kenapa aku justru merasa tertarik dengan ajakannya itu.

“Yang kalah dapet sentilan. Tapi karena kita ada di depan tamu, nyentilnya di tangan aja. Kalau di dahi bisa berabe ntar, belum apa-apa bisa dikira udah KDRT kita.” ucapku diakhiri dengan tawa. Membayangkan kami saling menyentil satu sama lain di atas pelaminan. Sebenarnya pernikahan macam apa yang aku jalani ini?

“Oke.”

Dengan aba-aba yang tidak kami ucapkan, aku mengulurkan jari telunjukku dan Edwin mengulurkan jempolnya. Mengerang, aku kalah. Mengulurkan tanganku, bersiap untuk menerima hukuman. Dan dengan senyum jahilnya, Edwin menyentil tanganku tanpa belas kasihan. Namun bukannya merasa kesakitan, aku justru tertawa. Membuat orangtua kami yang saling duduk mengapit kami memandang dengan tidak percaya. Kurasa ini menyenangkan. Dua kali lagi kami bermain, dan aku tetap saja kalah. Menyebalkan! Sejak dulu memang aku selalu kalah bila bermain suwit. Dan pasti Edwin masih mengingatnya, oleh karenanya dia mengajakku bermain ini.

“Kamu curang!” ucapku yang membuatnya tertawa. “Sorry ya. Bukan aku yang curang, tapi kamunya yang sial.”

“Enak aja! Nggak ya.”

“Halah, ngaku aja! Dari dulu kan memang kamu selalu sial. Kalah terus kalau main suwit.” Ledeknya yang membuatku mencubit pinggangnya.

“Mas Ewi... Mbak Meri....” Panggilan bernada memperingatkan itu segera saja membuat kami menengok ke arah Ibu mertuaku—atau Ibu Edwin. Aku tersenyum meminta maaf, tetapi Edwin justru tertawa semakin lebar.

“Udahan dulu mainnya, itu ada tamu yang mau salaman lagi.” Ucapan Ibu Edwin itu tentu saja membuatku segera mengubah ekspresi wajahku yang awalnya rileks menjadi ekspresi wajah yang sedari tadi menjadi topengku.

Tetapi Edwin seolah tidak peduli itu semua, dia justru semakin heboh mengejekku, “Meri kalah... Meri kalah....”

Kusodok pinggangnya dengan keras saat kusadari tamu yang akan menyalami kami sudah sampai di depan Ibu Edwin, “Heish, berhenti. Salamin tamu dulu, setelah itu kita lanjutin lagi. Aku nggak bakalan kalah lagi.”

Masih dengan tawa usilnya, dia segera menoleh ke arah tamu yang saat ini sudah ada di depannya. Dan baru kali ini aku melihat perubahan yang sangat drastis dari Edwin. Memang seharian ini kami berkali-kali harus mengubah ekspresi wajah kami sesuai keadaan. Tetapi perubahan wajah Edwin kali ini begitu menakutkan. Wajahnya yang awalnya penuh senyum, saat ini berubah dingin dan kaku. Senyum yang tersungging di bibirnya saat ini senyum paling menakutkan yang pernah kulihat dari Edwin.

“Selamat ya.” Ucap tamu yang saat ini ada di hadapan Edwin. Seorang gadis yang menurutku sangat cantik—tersenyum dengan ceria, menggandeng erat lengan seorang pria yang kutebak suaminya. Perbedaan penampilan sang gadis dan pasangannya benar-benar terlalu mencolok. Karena di lubuk hati yang paling dalam aku menyayangkan gadis secantik dia mendapatkan pria semacam itu. Ya bukannya aku memandang rendah pria jelek. Hanya saja rasanya sangat tidak enak dilihat.

Kuamati Edwin masih terdiam menatap gadis itu dingin. Dengan tidak sabar aku menyodok pinggangnya keras. Tetapi sama sekali tidak ada reaksi dari Edwin, sehingga mau tidak mau aku yang maju memecah suasana yang mulai terasa tidak enak.

“Terima kasih.” Ucapku sembari mengulurkan tangan ke arah gadis itu. Memberinya senyum paling manis yang kurasa aku miliki.

Untung saja gadis itu menyambut uluran tanganku dengan ramah. Walaupun aku tahu, dia sedikit kecewa karena sikap Edwin yang sangat buruk. Tetapi gadis itu bisa menutupinya dengan baik, karena sekarang dia sudah tersenyum seceria saat pertama dia muncul.

Dengan anggukan kepala sekali, gadis itu pamit dari hadapan kami. Kemudian diikuti oleh tamu-tamu yang lain. Ritual bersalaman dan berfoto kembali harus kami jalani. Tetapi mood Edwin tidak juga membaik hingga akhir acara. Jelas terjadi sesuatu dengannya. Membuatku jadi penasaran. Siapa gadis tadi? Kenapa kehadirannya sangat mengusik Edwin?


TBC

Just Maerri-EdWhere stories live. Discover now