Maerri - Ed 3

325 58 12
                                    

Tatapan mata yang berkali-kali kualihkan dari arah pintu, jam tangan, gelas minuman dan orang-orang di sekitar tidak juga membuat hati ini tenang. Jari-jari tangan bahkan seolah tidak menuruti perintah otakku untuk diam, terus saja mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang mulai teratur. Kaki ini juga bergerak tidak beraturan, menghentak-hentak pelan seperti pemain drum atau menendang-nendang udara tidak sabar. Seluruh anggota badanku seakan tidak bisa diam seperti pikiranku yang mengelana tidak tentu arah sejak tadi pagi.



Ugh! Ini semua gara-gara sebelum aku berangkat kerja, tiba-tiba saja Bapak mengatakan hal yang membuatku syok. "Nduk, hari ini kamu mau ya ketemu calon suami kamu? Bapak udah atur waktu dan tempatnya. Tinggal kesediaan kamu aja."



Calon suami? Yang bahkan baru Bapak temukan empat hari yang lalu dan hari ini aku harus menemuinya?



Salahkan bulu kuduk ini yang otomatis meremang tanpa komando dari sang otak-mendengar ucapan Bapak. Dan salahkan juga sang otak yang langsung berkelana dengan bayangan-bayangan yang membuatku mual pada saat itu. Bersediakah aku?



Jujur saja dari lubuk hatiku yang paling dalam ingin berteriak 'aku nggak mau', tetapi memangnya aku masih punya hak menjawab sejujur itu? Di saat aku masih sangat ingat kalau aku sendiri yang meminta dengan tulus ikhlas kepada Bapak untuk mencarikan pria yang bisa menerimaku apa adanya.



Tetapi sekarang pikiranku justru berkelana, bagaimana jika siapa pun pria itu dia tidak sesuai dengan keinginanku? Membayangkan kalau calon yang didapat Bapak itu... tua, berperut buncit, bergigi tonggos, bermata juling, lengkap dengan tatapan mesumnya. Err, memangnya orang dengan mata juling bisa menatap mesum? Ya ampun Mae, apa sih yang kamu pikirin? Fokus!



Kembali lagi, memangnya aku masih punya keinginan? Di saat serangan teror mama minta mantu dan tidak ada satu pun nama pria yang bisa kupikirkan? Jawabannya adalah TIDAK ADA! Duh Gusti, begini amat ya nasib.



Hah, aku tetap berharap bisa memiliki suami dengan penampilan yang menentramkan hati. Minimal berhidung mancung seperti Ali Syakieb supaya nantinya bisa membantuku meningkatkan kualitas keturunan kami kelak. Aku tidak mau munafik, karena bagaimana pun menurutku penampilan tetap merupakan faktor utama dalam mencari suami. Paling tidak untuk membayangkan seumur hidup bersama dengan orang tersebut, aku sama sekali tidak keberatan atau merasa tidak nyaman.



Yah, seperti yang sudah bisa diduga. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain menjawab, "Nggeh, Pak."



Toh kalau bukan hari ini, Bapak pasti akan merancang hari-hari yang lain untukku bertemu dengan siapa pun pria itu. Jadi, siap tidak siap aku harus menyiapkan nyali. Jika nantinya pria tersebut sangat tidak sesuai dengan keinginan, aku akan mencoba merundingkan lagi masalah jodoh ini walau harus memancing perdebatan lagi.



Dan kini, setelah duduk manis selama 18 menit di kafe yang Bapak pilihkan-dekat dengan perpustakaan tempatku bekerja-aku masih duduk sendirian tanpa ada tanda-tanda kedatangan sang calon suami yang tidak aku ketahui siapa namanya hingga detik ini. Entah memang Bapak sengaja mengerjaiku, atau Bapak sengaja ingin membuat efek pertemuanku dan sang calon suami terasa mengejutkan, yang jelas sampai saat ini aku tidak diberitahu apa-apa mengenai calonku itu-bahkan namanya. Bapak hanya bilang dia pria baik yang pasti akan sangat cocok untukku. Betapa beruntungnya aku jika pria itu benar sebaik yang Bapak katakan. Tapi aku ragu, mana ada pria baik yang seputus asa ini mau-mau saja dijodohkan denganku? Wanita dengan wajah minimalis praktis sepertiku ini. Karena setahuku, stok pria baik sudah menipis disebabkan wanita-wanita cantik di luaran sana.



Sekali lagi tatapan mataku mendarat di jam tangan bergambar karakter Hello Kitty norak berwarna pink. Biar norak tetap saja jam tangan ini adalah jam tangan kesayangan yang sudah berkali-kali kureparasi mesin dan baterainya.

Just Maerri-EdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang