Maerri - Ed 4

315 62 11
                                    

Baiklah, saya sadar kalau cerita ini semakin aneh saja. Lagian saya tetep pengen nulis walaupun idenya maksa. Daripada saya berhenti nulis lama dan ga lanjut-lanjut, mending dipaksa nulis aja apa yang ada di otak. Hehehee. Jadi mohon pengertiannya.
Terima kasih buat yang masih mau baca. Ditunggu selalu vote dan komennya. Kripik dan sambelnya juga sangat diterima.

Mita ^^

*****************************************

Menikah dengan Edwin bulan depan? Hah! Lelucon macam apa ini?

Aku penasaran, bagaimana ceritanya Bapak menemukan Edwin sebagai calon suamiku? Ah, atau lebih tepatnya bagaimana cara Bapak mencari calon suami untukku kemarin? Door to door—mengetuk tiap pintu rumah dan bertanya adakah anak lelaki yang butuh istri? Atau dari mulut ke mulut—mendengarkan cerita orangtua yang putranya sedang membutuhkan istri?

Kenapa juga aku baru terpikir tentang hal ini? Semestinya pertanyaan tersebut sudah kupikirkan sejak Bapak mengabariku bahwa beliau akhirnya menemukan calon suami untukku. Karena semakin kupikirkan, semakin aneh saja semua ini. Bagaimana mungkin? Bagaimana caranya? Tapi otakku terlalu sibuk memikirkan hal lain sampai-sampai sama sekali tidak terpikirkan apa pun tentang semua keanehan yang tampak jelas.

Hidup bahagia selamanya dengan Edwin Raharja?

Ugh! Membayangkannya saja bulu kudukku langsung meremang. Mengenalnya sejak kecil sebagai anak yang nakal dan usil, menutup penilaianku tentang hal yang lain. Ditambah tadi, senyum mengejeknya sebelum keluar dari kafe yang masih terus kuingat. Apalagi dia meninggalkanku tanpa membayar pesanan kopinya—yang dengan terpaksa aku bayar. Itulah Edwin yang aku kenal, menyebalkan, menjengkelkan, juga mengesalkan. Yah, walaupun kuakui Edwin itu lumayan tampan, dengan mata sayu dan hidung mancungnya, tapi itu semua hanya kedok untuk menutupi seperti apa dia sebenarnya.

Dan kenapa juga dia mau menikah denganku? Bukankah itu aneh? Dia jelas tidak mencintaiku. Dia juga bukan anak seorang CEO yang demi bisa mewarisi perusahaan harus secepatnya mendapatkan istri. Orangtuanya juga bukan jenis orangtua yang akan mendesaknya menikah saat ini juga. Lalu kenapa pilihannya jatuh padaku? Ada sesuatu yang mencurigakan di sini.

Semakin memikirkannya, semakin kesal rasanya. Auwh, ingin rasanya aku mencakar wajah lumayan tampan miliknya. Menghapus senyum menyebalkan tadi darinya.

Mengingat lagi bagaimana tadi aku sempat mengagumi tubuhnya. Argh! Kutarik-tarik rambut dalam rangka meluapkan rasa frustasi dan penyesalan berkepanjangan. Pahanya, perutnya, dadanya, jakunnya... huweee... sia-sia saja tubuh seseksi itu justru dimiliki oleh seorang Edwin.

Aku ingin bertanya banyak hal pada Bapak. Aku juga ingin protes pada beliau. Tapi apakah aku berani? Setelah perjuangan Bapak mencarikan calon suami untukku? Pantaskah aku protes? Yang ada aku seperti anak yang tidak tahu terima kasih saja.

Haish, tapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Rasa penasaran ini seperti rasa gatal di telapak kaki. Digaruk geli tidak digaruk gatal, serba salah jadinya. Satu yang pasti, aku ingin tahu bagaimana ceritanya sampai Bapak mendapatkan Edwin sebagai calon suamiku.

“Mbaaakk....” panggilan itu menyentakku dari segala pikiran. Ada apalagi dengan Ibu?

“Dalem, Bu.” dengan sebelumnya menghela napas panjang, aku berjalan dengan langkah berat keluar dari dalam kamar. Karena alasan apa pun Ibu memanggil, entah kenapa perasaanku mengatakan kami akan membahas hal yang tidak ingin aku bahas. Sebab aku hanya ingin membahas hal ini dengan Bapak, bukannya Ibu.

Terlihat Bapak sedang menonton TV seperti biasanya, dengan kopi dan sepiring bakwan di depannya. Sedangkan Ibu, beliau terlihat bersemangat menatapku dengan wajah sumringah. Yah, aku harus maklum, Ibu mana yang tidak bahagia saat mengetahui putrinya akan segera menikah. Satu bulan lagi, yang masih belum bisa kuterima.

Just Maerri-EdWhere stories live. Discover now