chapter 1: Tandanya aku jatuh hati padanya

10K 87 4
                                    

 Prolog

 

Aku hanya bisa bertopang lutut sambil berurai air mata, air mata itu melintasi pipiku yang sudah basah dan sedikit lengket. Kurasakan suhu tubuhku yang meninggi dan napasku yang terengah-engah...

Aku hanya memeluk sebuah album hijau yang covernya sudah tertetesi air mataku. Ku biarkan laptopku menyala dengan musik yang mengalun dengan lembut begitu saja, alunan musik klasikpun tak membuatku sedikit lebih rileks, sama saja, tak ada pengaruhnya...

Sesekali aku melirik layar ponselku dan dadaku terasa semakin sesak...

Memble : Jam 1:30. Emang kesana naik apa?

 

Memble :Ya, pulangnya sama kk, lagian kk ga lama ini, gapapa lah

 

Memble : Hehe...

Aku terus membaca pesan-pesan itu, sampai pada akhirnya aku berhenti pada satu pesan yang membuat jariku terasa kaku.

Memble : Karena kk mau buat Ocha selalu tersenyum :)

Tangisankupun semakin meledak, aku semakin terisak, rasanya bagai tertusuk duri tajam.  Aku tak tahu harus bagaimana... Aku kecewa...

Dasar bodoh! Kenapa aku membaca pesan itu lagi?!

Tuhan, tolong aku.

Aku tak menyangka kalau aku akan jatuh tersungkur seperti ini...

♠           ♠          ♠

Chapter 1: Tandanya aku jatuh hati padanya...

Aku turun dari bus berwarna putih, bus yang telah membawa kami menuju sebuah tempat penangkaran hewan, disini cukup sejuk walaupun tempatnya berada di kota besar. Banyak pohon besar dan rindang. Aku datang kesini bersama teman-teman satu ekskulku, termasuk senior-senior. Disini kami bersenang-senang untuk melepaskan rasa penat sehabis ulangan.

“Ocha!” Panggil Puji―temanku―gadis bertahi lalat di dagu

Aku menoleh kebelakang “Kenapa, ji?”

“Kakak yang itu menurut lo lumayan, ya.” Ia menunjuk seorang lelaki yang mengenakan kemeja kota-kotak berwarna merah, serta t-shirt biru sebagai dalamannya

“iya.” Jawabku singkat. Sejujurnya aku kurang begitu tertarik, ah tapi rasanya ada yang aneh. Tunggu, perasaan apa ini?

* * *

“Itu tandanya lo suka sama kakak kelas itu, Cha.” Ujar Puji

Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa kata, aku membuka buku sketsaku dan mulai membuat sketsa.

“Lo mau gambar apa lagi, Cha?” Tanya Puji

Aku tersenyum “Kak Sandy...”

“Cieee... yang lagi jatuh cinta sih beda, ya”

Aku hanya tersenyum “Padahal... gue harus siap-siap patah hati ya, Ji. karena menurut gue jatuh cinta itu patah hati yang tertunda."

"eh jangan begitu, Cha!" Ia menepuk punggungku.

“Udah ah, ayo ke ruang komputer”

“Oh iya...” Puji bangkit, dan ia mengekori diriku.

Kami melangkah dan mulai melewati kelas-kelas lain, dan aku terkejut begitu melihat kak Sandy yang sedang berjalan dan mulai mendekati kami, sepertinya ia habis dari toilet, karena letak toilet di lantai tiga berada paling ujung sehingga harus melintasi ruang komputer.

Kurasakan degupan jantungku, kusentuh dadaku dengan tangan kananku samar-samar kurasakan ada yang berdetak begitu cepat. Bahkan langkahku kalah cepat dari degupan jantungku. Ah, mungkinkah benar aku jatuh hati padanya?

“Cha...” Puji menepuk-nepukku “Lo ngapain?”

Puji mengerutkan keningnya heran karena sedari tadi aku memegangi dasiku dan membetulkannya, padahal dasiku sudah rapi

“Eh?!” Aku langsung merentangkan kedua tanganku dengan cepat.

Puji hanya tersenyum simpul lalu meneruskan langkah kecilnya

* * *

Rambut hitam eboninya terlihat mempesona begitu tekena sinar matahari.

Aku suka ketika ia mengacak-acak rambutnya dengan jemari kurus yang ia miliki, juga ketika ia mengibaskan rambutnya ketika olahraga berlangsung di lapangan.

Aku suka ketika melihat dirinya berdiri sendiri di koridor sambil menatap langit. Aku ingin menjadi objek pandangan lurusnya, ketika pandangannya hanya terfokus padaku, dan tiada pandangan lain yang dapat mengalihkannya...

Aku juga ingin diriku dapat mengalihkan dunianya, agar terasa lebih indah...

Aku ingin menjadi sebuah alasan yang dapat membuat kehidupannya lebih indah, seperti aku yang menjadikan dirinya sebuah alasan bahwa hidupku menjadi lebih indah daripada sebelumnya

* * *

Berbulan-bulan kulalui hanya bisa mengagumi keindahannya dari kejauhan, menghirup pesonanya dari jarak yang jauh. Menatap matanyapun sudah membuatku gemetar, apalagi berbicara dengannya.

"Pada bawa, buku, nggak?" Tanya salah satu seniorku ketika sedang ada kegiatan menonton lewat LCD, sepertinya kami dipinta untuk mencatat.

Beberapa murid mengangguk dan berkata ya. termasuk aku. Aku bergegas keluar dari ruangan dan kembali ke ruang sebelah untuk mengambil buku karena bukuku tertinggal di dalam tas. Tiba-tiba saja kak Sandy keluar dari situ dengan wajah juteknya sambil mengacak-acak poninya.

DHEG!

Aku tak berani menatap matanya, aku tak berani menatap matanya! Pelan-pelan Cha, biar nggak ketahuan!!

"Dek..."

GLEKH?!

"I... iya, kak?" Aku menoleh kesamping kiri.

Ia langsung mengambil kertas-kertas yang berada di belakang pintu kemudian ia menghampiriku dan memberikan kertas-kertas itu padaku.

"Ini, kasih temen-temennya yang nggak bawa buku, ya. Kalau nanti kurang minta aja lagi sama kakak." Lelaki berbola mata cokelat itu menatap mataku lurus dengan matanya yang tajam, aku merasa tersedot dengan kedua bola matanya, bagai menerangkapkan tubuhku dan mengikatnya begitu kencang sehingga aku tak mampu bergerak.

"Dek?"

“Hah?! I... iya, kak?”

“Yaudah, bagiin ke temen-temennya ya” Ia menyerahkan kertas-kertas itu padaku, aku menerimanya dan tanpa sengaja tangan kami berdua bersentuhan. Dengan reflek aku menarik kertas itu, sementara kak Sandy sedikit kaget dengan gerakan tiba-tibaku barusan.

Aku mengangguk dan dengan cepat kuputar tubuhku, aku berjalan dengan langkah kecil sampai ke ruangan kami menonton tadi. Aku mengambil sehelai kertas dan menaruh sisa-sisa kertas di meja paling depan untuk mereka yang tak membawa buku, sehingga mereka bisa langsung mengambil kertas-kertas itu.

“Lo abis lari, Cha? Aneh deh kaya abis muterin sekolah 10 puteran! Hahaha...” Seloroh Dyah

Aku hanya bisa mengatur napasku yang tak teratur sambil memegangi dadaku, tepatnya letak bagian jantung yang terus berdegup tak karuan.

“Kayaknya ruang sebelah deket, deh?” Tanya Dyah lagi.”

Aku duduk, masih tak menjawab pertanyaan Dyah. Kupandangi kedua tanganku lekat-lekat. Aku masih bisa merasakan sentuhan tangannya yang begitu hangat, seolah-olah ia menghantarkan suhu tangannya yang hangat ke tubuhku...

Memang tidak dipungkiri lagi kalau aku jatuh cinta padanya.

* * *

HOPEWhere stories live. Discover now