3S :: (11) Teriakan Senja

40.8K 3.8K 113
                                    

3S :: (11) Teriakan Senja

===================

Cowok di depanku ini positif gila.

"Apa?" Aku berteriak. Sean langsung menekap mulutku dengan wajah horror. Saat ia rasa keadaan kembali hening, dia langsung bersuara, nyaris berbisik.

"Jangan teriak, Toil." Rutuknya. "Nanti, kalo Papa denger, bahaya."

Keningku berkerut-kerut. Sean langsung menarikku keluar dari kolong meja. Kepalanya celingak-celinguk seolah takut ada seseorang yang tiba-tiba datang. Tak berapa lama, dia memaksaku mengikuti langkah kakinya ke salah satu ruangan. Sean membuka pintu, lalu menutupnya setelah kami berhasil masuk dengan selamat.

Sean menyalakan saklar sehingga lampu menyala. Ruangan yang tadinya gelap, kini menjadi terang benderang. Melihat ruangan yang kukira kamar Sean, aku seolah melihat oasis di padang pasir. Kamar ini beda banget sama ruang tamu kotor dan berbau apek. Kamar ini bersih dan tampak normal.

"Darimana lo tau alamat Papa?" tanya Sean tiba-tiba, dia duduk di kursi belajarnya dan sibuk mencari buku di rak.

Aku duduk di karpet berbulu warna hitam sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Aku ngambil kertas yang ada alamat rumah ini dari jaketnya Mason."

"Serius?" gerakan tangan Sean terhenti. "Lo berani banget."

Ya, inilah kekuatan orang yang terkena patah hati kronis.

"Sean," panggilku, menatap nanar punggung Sean, aku seperti melihat refleksi Mason ....

"Ya?"

"Dua hari lalu, Mason ke rumah ini. Malemnya, dia dateng ke rumahku. Dia ...," aku menggigit bibir, sedikit ragu. "Dia nangis."

Sean benar-benar berhenti bergerak. Beberapa detik kemudian, dia berbalik dan melihatku simpati. Dengan pelan, dia duduk di hadapanku. Sorot matanya tiba-tiba serius. Aku mendapat firasat tidak enak, entah apa itu.

"Jadi, Mason belum ngasih tau apapun?" tanyanya ambigu.

Jelas saja, aku melongo parah. Apa-apaan anak ini. Gak jelas. "Ngasih tau apa?"

"Jadi, lo emang belum tau." Sean mengangguk paham. Melihatku berwajah penasaran, dia tertawa kecil sehingga lesung pipinya terlihat. Tangannya menepuk-nepuk kepalaku seolah aku ini anak kecil atau siapa. "Nanti, Mason bakal ngasih tau ke lo. Gue gak punya hak buat ngasih tau lo."

"Kalo Mason gak ngasih tau?"

Sean berhenti menepuk kepalaku. "Dia pasti bakal ngasih tau. Eh, iya. Yang perlu lo tau--"

"SEAN!"

Mata Sean melebar begitu sebuah suara berbunyi. Suara yang sangat menggelegar. Tanpa sepengetahuan, bulu kudukku langsung merinding ketika suara tersebut disusul dengan gerungan dan langkah panjang. Sean dengan tangkas menyurukkanku ke kolong tempat tidur sementara dia mematikan saklar.

Kegelapan otomatis menyelimutiku.

Ini ... sial! Ternyata, Adik dan Kakak sama saja. Sama-sama diktaktor. Harusnya aku tahu, dengan datang ke sini, bukannya mengurangi masalah, malah menambah masalah. Apalagi, aku merasa terkhianati karena Mason menyembunyikan rahasia dariku.

"Maaf, Tif. Maaf ..."

Mataku terpejam begitu mendengar suara Mason. Suaranya ketika dia menangis. Mason meminta maaf padaku. Untuk apa? Aku semakin gak ngerti. Apa dia diam-diam mengintip anak cewek ketika ganti baju? Lah, kenapa jadi ngawur?

"Sean!"

Aku nyaris memekik begitu suara menggelegar tadi kembali berbunyi. Kutekukkan kedua tungkai kakiku, berusaha bersembunyi semakin dalam. Kulihat, kaki Sean melangkah ke arah pintu. Saat pintu terayun, aku melihat sepasang kaki pucat berhadapan dengan kaki Sean. Jantungku berdentum-dentum. Ini wujud Ayah Mason?

ST [7] - Step-Sister SecretWhere stories live. Discover now