Bab 21

15.8K 1.3K 102
                                    

Pagi yang cerah, dan senyum di bibir merah

Yuhuuuu, udah pada nggak sabar nunggu kelanjutan kisah mereka?

Ini saya lagi baik hati dan tidak sombong, jadi sepagi dan secerah Senin di mari, akhirnya diputuskan untuk update

Makasih yang udah ngasih vote dan komentar di part kemarin, dan jangan bosen-bosen yaaa

Sekedar pemberitahuan juga, kalo Cahaya Sasi juga udah update, yang berminat baca cus aja ke lapaknya, tapi...tapi....tapi...kayaknya itu adalah part terakhir kisah sedihnya Sasi, soalnya doi udah dilirik sama salah satu penerbit indie. Minta doanya ya biar lancar dan untuk yang kecewa karena ceritanya di potong di tengah jalan, saya sungguh meminta maaf ( Nanti beli aja bukunya biar bisa kekepin Sasi dan Edward pas udah buka PO yaa, bagi yang minat aja sih)


Selamat membaca,


"Kenapa? Apa ada yang aneh dengan mukaku?" Tanya Anjani kesal ketika Ruri, sahabat dan rekan satu kantornya itu tengah menatapnya tanpa berkedip.

Ruri yang baru saja datang segera meletakkan tasnya di belakang kursi, "Kamu bertengkar lagi dengan suami gantengmu itu?"

Anjani menoleh sesaat dengan terkejut, apa raut mukanya begitu menampakkan kekesalan hatinya? Tapi Panji memang pantas diberi tendangan super di pantatnya nan seksi, jika mungkin hingga mendarat di Pluto sekalian. Lelaki itu sudah sukses membuat hari pertamanya masuk kerja menjadi sangat kacau, Senin yang teramat buruk bagi Anjani.

"Apa terlihat jelas di mukaku jika aku sedang ada masalah?" Tanya Anjani penasaran.

Ruri mencebik sesaat, ia mengurungkan niatnya menjawab pertanyaan Anjani, ketika rekan mereka mulai berdatangan satu per satu. Ia memberi kode dengan matanya, agar mereka berbicara di pojok kantin seperti biasa begitu bel istirahat pertama berbunyi.

Seharusnya memang tidak membawa masalah pribadi ke dalam area tempat kerja, tetapi Anjani tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Tadi malam, Panji menurutinya untuk menginap semalam lagi di rumahnya. Pria itu juga tidak memaksakan kehendaknya untuk menuntut haknya, dia memilih tidur di sofa kamarnya seperti biasa.

Tadi pagi, pria itu minta dibuatkan omelet pedas sebagai teman sarapan. Anjani dengan senang hati membuatnya sepenuh cinta merah jambunya, tetapi harapannya langsung hancur berkeping-keping ketika Panji malah buru-buru pergi. Pria itu sama sekali belum menyentuh sarapannya, dan alasan yang diberikan pria itu kian membuatnya ingin menggorok leher ayam di lemari pendingin milik tantenya.

Joana!

Lelaki itu pergi secepat angin karena wanita itu, tanpa perlu menengok lagi melihat ke belakang. Meninggalkan omelet yang masih hangat di piring tanpa tersentuh sedikitpun. Setidaknya Panji seharusnya melihat bening yang mengambang di sudut mata gadis itu. Anjani mulai menyalahkan dirinya, bahwa tidak seharusnya ia menyerah begitu saja pada perasaan mendambanya. Lelaki itu ternyata masih belum mau melepaskan Joana, wajahnya terlihat panik ketika keluar dari rumah.

Panji tidak pernah terlihat secemas itu, bahkan dia baik-baik saja ketika dirinya pergi meninggalkan rumah mereka. Hati Anjani seperti dirobek dengan pisau belati, jika ada mata telanjang yang dapat menembus dadanya, mungkin akan ada yang melihat betapa parah luka yang dideritanya.

Untung saja ia memiliki alasan untuk berangkat lebih pagi kepada tante dan omnya. Hari senin ada upacara bendera yang harus diikutinya di sekolah dan ia mendapat giliran sebagai Pembina upacara, padahal ia hanya ingin segera pergi dan sejenak melupakan sesak di dadanya.

Panji dan Anjani ( SUDAH DITERBITKAN )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang