Bab 9

15.5K 1.2K 32
                                    

Malem senin ditemani sama mas Panji yang kataku sih cakep puooool

Maaf ya  kalo ada yang nunggu n lamaa

di vote sama di beri komentar dooong, biar makin rajin update...halllah

Wes...happy reading yoo

Sudah hampir satu bulan mereka menjalani kehidupan bersama sebagai suami istri. Tapi tidak ada kemajuan dalam hubungan mereka. Semenjak kemunculan Joana, Panji sudah sangat jarang pulang ke rumah. Keberadaan pria itu hampir bisa dihitung dengan jari, dia hanya pulang jika harus mengganti jas atau sekedar ingin makan masakan Anjani yang rasanya katanya mirip masakan ibunya.

"Jadi kamu tinggal di apartemen?" Anjani sebenarnya tidak mau percaya, tapi apa haknya mengorek penjelasan dari Panji. Pagi itu Panji pulang dengan muka kusut seperti pakaian belum di setrika, dan dengan entengnya meminta Anjani membuatkannya bubur ayam padahal gadis itu dipastikan akan telat mengajar di kelasnya. Sumpah demi apa, Panji mengancamnya kembali dengan isi perjanjian itu lagi.

Terpaksa, sangat terpaksa malah, akhirnya Anjani meminta ijin kepada kepala sekolahnya bahwa ia akan datang terlambat. Dengan gondok, iapun harus membuat bubur ayam sementara Panji menunggunya di meja makan bersama segelas kopi mengepul di depannya. Jika dilihat, mungkin memang mereka seperti pasangan yang sangat harmonis dan saling mencintai.

"Asal kamu tidak mengadu pada orangtua kita, maka posisi kita akan aman!" Panji menatapnya datar, kedengarannya sangat mudah dan gampang, seolah pernikahan mereka memang tidak berpengaruh banyak pada kehidupan sosial pria itu.

Anjani mengaduk buburnya dengan gemas dan melirik makhluk satu itu dengan ganas. Seenaknya saja Panji mengatakan hal demikian, "Aku tidak mempermasalahkan di manapun kamu tinggal, meski di bawah kolong jembatan sekalipun! Tapi tolong, jangan nodai hubungan ini dengan kehadiran wanita lain di dalam hidup kita!"

Anjani memejamkan matanya menahan sakit yang menjalari dadanya, mengapa diabaikan orang yang memang tidak menginginkan dirinya rasanya dapat sesakit ini? Membayangkan suaminya mungkin tidur ditemani oleh wanita lain, sementara dia menjadi penjaga pintu rumah setiap waktu, berharap suaminya pulang namun ternyata sia-sia. Anjani beristighfar dalam hati, kembali ia menyadari posisi dirinya di dalam kehidupan Panji.

"Apa maksud perkataanmu?" Panji menatapnya dingin hingga membuat bulu kuduk Anjani merinding. Tangannya bergerak ke tombol pengecil api, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Panji tengah menatapnya. Bukan tatapan penuh kerinduan atau penuh cinta, itu adalah jenis tatapan dingin dan tidak suka karena gadis itu telah berani mengungkit-ungkit kehidupan pribadinya.

"Kamu dan Joana bersama lagi kan? Aku tidak buta dan tuli, hingga gosip murahan seperti itupun aku tidak tahu!" Anjani serasa menusukkan pisau tajam ke dalam telapak tangannya ketika mengatakan hal itu, perih dan berdarah-darah hingga ia harus menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis saat itu juga.

"Lalu apa urusannya denganmu? Sudah tertulis dalam poin pertama perjanjian kita, bahwa setelah menikah maka kita akan bebas menentukan dengan siapa kita dekat dan berteman. Aku memilih Joana sebagai teman dekatku, karena kami sudah lama tidak bertemu dan aku merasa nyaman dengannya!" Panji terlihat tidak peduli dengan beban di pundak Anjani.

Anjani menarik nafas dalam sebelum ia duduk di salah satu kursi, "Baiklah, jika itu memang pilihanmu. Aku merelakan kamu memilih dia daripada pernikahan kita. Sejak awal hubungan ini memang tidak memiliki fondasi, jadi aku juga tidak menyalahkanmu atas ketidaknyamanan ini."

"Itu dua hal yang berbeda!"


***

"Tidak! Kamu bisa menceraikanku jika memang kamu ingin bersama Joana!"

Kenapa ia harus menangis di depan pria sombong ini? Seharusnya ia membencinya, seharusnya tidak ada rasa rindu yang menyergapnya tiap malam karena pria ini, seharusnya...beribu penyesalan membuat dada Anjani terasa makin sesak. "Seharusnya kamu lebih bisa menjaga sikap di depan umum! Kalau memang tidak menginginkanku bukan berarti bisa bersikap seenaknya di luaran sana. Dasar murahan!"

"Apa kamu mau mengatakan bahwa kamu cemburu?" Panji bergeming di tempatnya, seolah baru saja menyaksikan adegan dari salah satu film hitam putih yang membuatnya bingung setengah mati karena tidak dapat memahami maksudnya.

Anjani mengusap airmatanya dengan kasar, matanya menatap sebal pada pria yang juga masih menatapnya dengan tidak kalah tajam. "Aku masih bisa menanggung sakit hati dengan pemberitaan yang selalu memojokkanku, tapi apa kamu pernah berfikir bagaimana perasaan orangtua kita jika mengetahui perbuatan kamu itu?"

"Apa memiliki banyak teman wanita itu salah?" Panji seakan sengaja menyulut bara di dalam hati Anjani, dan sepertinya gadis itu memang terpancing.

"Tentu saja salah, karena seluruh dunia tahu jika kamu sekarang sudah memiliki istri!"

"Toh kita tidak saling mencintai dan menjalaninya karena terpaksa kan?"

Anjani serasa menelan duri landak demi mendengar ucapan santai pria super tampan di hadapannya. Mengapa sekali lagi ia harus mempermalukan dirinya sendiri? Tidak seharusnya ia bersikap seperti istri yang kebakaran jenggot karena merasa diduakan. Entah mengapa, ia seperti sudah kehilangan kendali diri setelah berdekatan dengan Panji. Dia bukan hanya telah mengacaukan hidupnya, tetapi juga pada perasaannya sendiri yang mulai meragu.

"Kamu benar, maafkan aku karena terlalu emosi. Sebaiknya lupakan saja perkataan tidak pentingku tadi." Anjani berusaha menetralkan debaran jantungnya, ia lalu beranjak dari duduknya, mengambil mangkok, menuangkan bubur yang sudah matang lalu menambahkan kuah kaldu dan perlengkapannya di atasnya. "Aku tidak bisa menemanimu sarapan, ini sudah telat sekali."

"Terima kasih." Anjani yang sudah di ambang pintu dapurnya menoleh demi mendengar ucapan enggan pria itu.

"Sama-sama."

"Dan soal perpisahan, aku belum berniat untuk menceraikanmu."

Anjani hanya mampu menatap punggung kokoh itu dengan perasaan nelangsa. Memangnya apa yang bisa ia harapkan dari hubungan ini? Perasaan mendambanya bukannya lega dengan ucapan Panji, justru ia semakin takut menghadapi hari-harinya. Panji memperlakukannya seolah boneka yang bisa dipermainkan sesuka hatinya, menarik ulur talinya tanpa tahu jika simpulnya semakin tipis.

Anjani mengendarai motor maticnya dengan perasaan masih berkecamuk, tanpa mengetahui jika Panji memperhatikannya dari balik gorden jendela bahkan hingga gadis itu berbelok di pintu gerbang rumah mereka. Ia menarik nafas panjang sebelum menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga.

Ia berfikir dirinya sudah gila karena tidak mampu melupakan Anjani, satu hal yang jarang sekali terjadi kepadanya. Ia pernah memiliki hubungan dengan sederet wanita, mereka keluar masuk dalam kehidupannya namun anehnya ia tidak mampu mengingat nama mereka satupun, kecuali mungkin Joana. Gadis itu adalah cinta pertamanya, dan dulu ia melarikan diri dengan mencari penggantinya hingga dirinya terjebak semakin dalam.

Kini tetiba Joana muncul lagi di dalam hidupnya, menawarkan cintanya kembali yang dulu sempat ia siakan. Gadis itu memang semakin cantik dan modis, mengingat pekerjaannya sebagai pemilik rumah perhiasan mewah warisan dari suaminya terdahulu di Swiss. Gadis itu tumbuh lebih dari yang selama ini dibayangkan dalam benak Panji, tapi ia tidak suka dengan yang berbau plastik seperti yang kini banyak melekat pada bagian tubuh Joana.

Gadis itu juga dulu menikah dengan milyuner tua yang dua tahun lalu meninggal dunia dengan mewariskan semua usaha berlian kepadanya. Joana yang dikenalnya dulu sebagai pribadi sederhana dan lugu, sama sekali telah berubah menjadi orang lain dan perasaannya tidak lebih baik dari sebelumnya. Joana memang selalu bersamanya, menghabiskan banyak waktu dengan berdua saja di sela pekerjaannya yang padat. Joana menginginkannya kembali, tetapi benaknya justru dipenuhi seraut wajah ayu yang selalu tidak bersahabat kepadanya.


Panji makin galau kan? Segalau hatimu...ckckckck

Tunggu pembalasan paling nyeleneh dan menyakitkan dari Anjani di part berikutnya ya...wkwkwk

Jangan tanya apa, tunggu aja

Panji dan Anjani ( SUDAH DITERBITKAN )Where stories live. Discover now