Bab 11

15K 1.2K 46
                                    

Siapa yang merindukan pasangan ini?

Asli! aku ketawa terus liat komentar kalian di bab kemarin, terima kasih ya karena kalian sudah sangat terkesan dengan 'kenakalan' Panji sampai komentarnya pada horo gitu, tapi Panji emang pantes di ulekin sama cabe setan biar tau rasa lelaki kayak gitu ya

Kenapa judulnya ganti? Yang kemarin terlalu biasa ya, jadi aku ganti aja dengan nama dua tokoh utamanya.

Ehm, pokoknya terima kasih atas semua kebaikan hati kalian yang sudah sudi membaca cerita abal-abal ini,

Sekedar mengingatkan ya, kalo novel BPS sudah ready and siap kirim dari penerbit, yang kemarin udah pesen mana suaranya?

Bapaknya Panji sama Emaknya semoga secepatnya dapat menghibur hari-hari kalian yaaa


Anjani masih menatap pria itu dengan pandangan nanar, rasanya setelah enam tahun tidak ada perubahan berarti pada sosoknya. Narayana Ali, pria itu semakin tampan dan tinggi, sementara tubuhnya yang dulu kurus kini semakin berisi. Senyum pria itu menyapanya manis ketika mereka berjabat tangan. Nara akan menjadi guru olahraga baru, menggantikan Pak Restu yang telah pensiun beberapa hari yang lalu. Pria itu pindahan dari sebuah sekolah dasar di luar pulau Jawa, jadi itu menjawab pertanyaan Anjani selama ini. Pria itu selama ini tinggal di luar pulau, tanpa kabar dan pesan apapun dan kini mereka bertemu kembali setelah ia memutuskan akan melupakan pria itu.

"Jani?" Nara menatap Anjani yang tengah duduk tidak jauh darinya sambil sibuk memainkan ponselnya. Gadis itu mendongak dan mendapati pria itu sudah menarik kursinya ke sampingnya, sementara beberapa murid mereka masih sibuk latihan setelah mendapat instruksi dari Nara.

Hari itu mereka pulang agak telat karena harus melatih beberapa siswa yang akan mengikuti lomba senam lantai tingkat kecamatan. Semua orang seakan tetiba sibuk dengan kegiatan masing-masing, bahkan Ruri memiliki segudang alasan ketika diminta untuk menemani Anjani di sekolahan. Akhirnya gadis itu mengalah, menemani Nara melatih para siswa dengan suasana yang canggung.

"Masih marah padaku?" Nara menatapnya tanpa berkedip, ada sejuta penyesalan dan kerinduan di manik mata coklatnya.

"Setidaknya kita bisa bertemu kembali setelah enam tahun kita berpisah. Dan sepertinya keadaanmu jauh lebih baik dari yang selama ini aku bayangkan, meski tanpa aku lagi di sisimu." Anjani ingin sekali menangis, dadanya sesak oleh gumpalan kesedihan dan kemarahan pada Nara. Selama ini ia begitu merindukan pria itu, berharap Nara menghubunginya meski akhirnya semua sia-sia. Tapi sebisa mungkin ia menahan dirinya, Anjani tidak ingin terlihat lemah di depan Nara.

"Maaf saja sepertinya tidak cukup untuk semua hal buruk yang sudah aku lakukan padamu. Tapi aku sangat percaya jika suatu saat kita akan bertemu lagi, dan tuhan ternyata mengabulkan permintaanku." senyum tulus Nara seolah melumerkan batu karang di dada Anjani. Gadis itu tentu saja masih ingat bagaimana dulu mereka membahas mengenai masa depan mereka. Anjani yang ingin menjadi guru SD dan Nara yang ingin sekali menjadi guru olahraga.

"Itu pasti karena cita-cita konyol kita dulu,"

"Aku menerima kepindahanku di sini, karena aku tahu tempat ini sangat dekat dengan rumahmu. Dan aku sangat berharap suatu hari dapat mngunjungi rumahmu, atau bahkan dapat bertemu denganmu sebagai salah satu guru di sekolah ini."

"Tuhan ternyata baik hati sekali padamu."

Nara terlihat tertawa kecil, tawa yang dulu selalu membuat hati Anjani bermekaran indah. Pria itu mataharinya, di mana cahayanya selalu memberinya rasa hangat dan terlindungi. Nara yang mampu membuka hatinya, mengisinya dengan perhatian dan kasih sayang pada cinta remajanya yang mulai tumbuh. Sayangnya, pria itu juga yang menghancurkan segala impiannya, membuatnya berfikir bahwa semua pria memang hanya bisa memberikan janji palsu tanpa mampu berkomitmen dengan hatinya.

"Ayahku meninggal beberapa hari setelah kami tiba di Riau," Anjani terkejut mendengar ucapan Nara, ada kesedihan mendalam pada suara pria itu hingga tanpa sadar Anjani meraih tangan Nara lalu menggenggamnya. "Aku sangat terpukul dan sedih, terlebih ibuku juga pergi meninggalkanku dan adikku beberapa hari kemudian. Ibuku melarikan diri dengan pria lain, bahkan sebelum tanah di makam ayahku kering."

Anjani menyimak cerita Nara dengan penuh perhatian, ternyata selama ini Nara harus bekerja keras agar perkebunan sawit peninggalan ayahnya dapat menghasilkan. Ia harus mampu menghidupi dirinya dan juga mengurus adiknya yang masih kecil. Tidak mudah bagi Nara untuk melakukan segalanya, karena ia tidak memiliki bekal dalam hal perkebunan. Untunglah, di sana ia bertemu dengan orang-orang baik hati yang mau membantunya dengan ikhlas.

"Itu sebabnya aku kehilangan kontak denganmu selama ini, karena aku harus mengurus hidupku sendiri yang begitu berantakan. Sebenarnya aku berniat menghubungimu, tapi kematian ayahku dan pengkhianatan ibuku kepada kami membuatku tidak mampu berfikir apapun kecuali harus bertahan hidup dengan keadaan kami yang baru datang dan tidak memiliki apapun."

Anjani menarik nafas panjang, setidaknya ia mendengar alasan yang masuk akal tentang Nara yang meninggalkannya dalam ketidakpastian. "Tapi sekarang kamu pasti sudah jadi pengusaha kelapa sawit yang kaya raya."

Nara tertawa lagi, kali ini lebih lepas dan tanpa beban. Selama ini tuhan sangat baik hati kepadanya, demikian juga saat ini. Ia tidak pernah berhenti bersyukur karena telah diberi kemudahan untuk melihat kembali gadis yang teramat dicintainya dari dulu hingga sekarang. "Tapi aku sudah memutuskan untuk mengejar seseorang yang selama ini sudah aku sia-siakan."


***


Deg! Anjani ingin melepaskan genggaman tangannya namun Nara menahannya hingga ia tidak mampu berkutik. Andaikan Nara datang lebih cepat beberapa bulan yang lalu, tentu saja ia akan menerima kembali pria itu dengan hati penuh cinta. Tapi sekarang status mereka sudah berbeda, pernikahannya dengan Panji adalah batu sandungan besar dalam hubungan mereka.

"Tapi bagaimana dengan perkebunanmu di sana? Dan siapa yang mengurus adikmu?" Anjani mencoba mengalihkan pembicaraan, namun rasa hangat dari telapak tangan Nara membuat jantungnya kembali berdegup tidak normal. Untuk beberapa lama, mereka saling bertatapan intens. Mereka tahu bahwa perasaan keduanya masih saling bertaut, bahkan Anjani hampir lupa bahwa ia telah dinikahi oleh pria lain.

Bayangan tatapan sinis Panji dan ancaman perjanjian di antara mereka membuatnya tersadar kembali kea lam nyata. Meski pernikahan mereka tidak normal, tapi berselingkuh juga bukan hal yang ingin dilakukannya. Jika ia melakukannya, lalu apa bedanya dirinya dengan Panji? Dengan lembut, ditariknya kedua telapak tangannya lalu Anjani berusaha mengalihkan fokusnya pada murid-muridnya yang tengah sibuk berlatih loncat harimau dengan melompati haling rintang.

"Aku meninggalkan adikku bersama para saudaraku di Riau, dia memilih sekolah di sana. Tapi sepertinya aku datang terlambat bukan?" Nara menatap gadis itu dengan selarik luka menggores dadanya. Bukannya ia tidak tahu pernikahan gadis pujaannya, hanya saja kenyataan itu terlalu menikam nuraninya.

Enam tahun ia tidak memberi kabar apapun pada Anjani, enam tahun juga ia harus bekerja keras mengelola perkebunan peninggalan ayahnya sambil kuliah. Tentu saja ia masih memendam rindu kepada Anjani, satu-satunya gadis yang selalu memenuhi otaknya selama ini. Ia mengajukan mutase kerja agar dapat di tempatkan di Jakarta, setidaknya sekolah tempatnya mengajar dekat dengan rumah gadis itu. Ia memang pindah, namun segalanya sudah terlambat ketika tanpa sengaja Nara melihat foto-foto pernikahan mewah pujaan hatinya di sampul depan koran ibukota.

"Jangan merasa bersalah, karena akulah yang patut disalahkan dalam hubungan kita. Kamu pantas mendapatkan lelaki baik seperti suamimu. Bejanjilah bahwa kita akan tetap berteman seperti dulu, jangan menjauhiku meski apapun yang terjadi!"

Setidaknya itulah yang mampu dijanjikan Anjani dari hubungan mereka. Ia ingin sekali menceritakan latar belakang pernikahannya, betapa hidupnya digantung seperti awan yang tidak mampu naik ataupun turun, hanya mengikuti angin kemanapun ia membawanya. Namun lidahnya serasa kelu, biarkan saja semua berjalan apa adanya. Setidaknya kini ia memiliki tambahan teman untuk saling berbagi rasa gundahnya.


Noh, ternyata bukan hanya Panji yang punya cinta pertama, Anjani jugaaa

Nah loh, bingung nih Panji apa Nara?


Panji dan Anjani ( SUDAH DITERBITKAN )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang