Curse of the Mountain Spirit

1.6K 26 1
                                    

Chapter 9 : Curse

Semakin dekat ke arah barat, Guan Suo yang suka bepergian melalui desa-desa kecil itu sampai pada sebuah desa yang terlihat aneh. Desa itu terlihat sangat sepi, tidak ada seorangpun yang berani keluar rumah. Para penduduk seakan menyembunyikan diri dan meringkuk ketakutan.

Karena sangat lapar, Guan Suo nekad menggedor-gedor sebuah rumah untuk meminta makanan. Pemilik rumah itu adalah pasangan orang tua yang sudah berkeriput dan memutih rambutnya. Mereka tinggal berdua saja.

“Aku lapar, berikan aku makanan.”

Orang tua itu agak takut dengan penampilan Guan Suo, dikira seorang preman. Ia membuka pintu dan menyuruh Guan Suo masuk. Si nenek yang juga ketakutan memberikan persediaan makanan bagi Guan Suo.

Tidak mengerti apapun, Guan Suo makan-minum dengan enaknya. Setelah puas makan, mendadak si nenek menangis dan kakek hanya bisa menghiburnya dengan sedih.

“Ada apa ini?”

Nenek akhirnya bercerita sambil menangis. “Desa kami ini sedang diserang siluman harimau gunung. Sejak dua bulan lalu, siluman itu datang ke desa dan menculik orang. Sejak itu tidak ada yang berani keluar rumah baik siang maupun malam. Kami hanya bisa meringkuk ketakutan di dalam rumah, tidak bisa bekerja, dan menghemat makanan sepanjang hari. Sekarang anda telah menghabiskan seluruh makanan kami untuk tiga hari kedepan. Bahkan air pun dihabiskan.

Anakku sudah mati dimakan siluman harimau itu dan sekarang kami tidak tahu harus bagaimana lagi…kalau anda marah, silahkan bunuh aku, aku tidak perduli.”

Mendengar itu Guan Suo merasa sangat malu dan bersalah. Ia buru-buru bangkit dari kursinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil meminta maaf. “Maaf, saya sangat bodoh, tidak mempertanyakan kejanggalan yang sudah saya rasakan di desa ini. Rupanya ada masalah yang sedang terjadi di sini. Baiklah saya akan menebus kebaikan anda berdua, saya akan bunuh siluman harimau itu. Bila saya tidak kembali juga, maka berarti saya sudah mati.”

“Tidak usah. Lanjutkanlah perjalananmu saja, kami juga sudah tua, hidup kami tidak lama lagi.” Kata kakek dengan bijak.

“Tidak bisa. Anda berdua sudah cukup menderita. Biar aku lakukan sesuatu demi kalian.”

Guan Suo keluar dari rumah itu dan mulai memanjat gunung. Ia sendiri tidak percaya akan keberadaan siluman. Ia termasuk orang yang tidak percaya pada takayul. Setelah dua hari berputar-putar di gunung, malamnya ia bermimpi didatangi kakaknya.

Entah apa yang dikatakan Guan Ping dalam mimpinya, namun yang ia ingat berikutnya adalah muncul sosok Lu Xun sedang berjabat tangan dengan Guan Ping.

Ketika terbangun, Guan Suo cukup terkejut dan sibuk menerka-nerka arti mimpinya. “Kau memintaku untuk memaafkan pembunuh licik itu? Tidak, tidak mungkin!”

Pada saat yang sama, ia mendengar suara hembusan nafas binatang buas di sekitarnya. Seakan sang kakak juga membangunkan dia karena ada bahaya di sekitarnya. Guan Suo tidak menghunus pedang berlumur darah itu, tetap menyematkannya di belakang pinggangnya. Ia telah bersumpah pedang itu adalah untuk persembahan terhadap ayahnya, hanya boleh dilumuri darah Wu.

Ia mewaspadakan instingnya dan menajamkan intuisinya. Dilihatnya harimau betina itu cukup besar untuk ukuran harimau normal. Kini ia mengerti kenapa penduduk menyebutnya siluman. Rupanya karena ukurannya yang abnormal. Pantas saja hewan-hewan kecil di hutan ini cepat habis, barangkali populasi harimau tengah berkembang di tempat ini.

Harimau itu terlihat cukup kelaparan, manusia dan harimau itu saling berpandangan dan bergerak silkular, mengawasi satu sama lain.

Harimau itu akhirnya memutuskan untuk mulai menyerang manusia di hadapannya. Terkaman itu disambut Guan Suo dengan sangat berhati-hati. Beberapa kali mengelak dan menghindari, harimau itu sempat salah gigit dan sebatang dahan pohon remuk dihancurkan rahangnya yang kuat.

Guan Suo melepas ikat kepalanya, bermaksud untuk mencekik harimau itu. Namun usaha pendekatannya mengalami salah langkah sehingga membuat harimau itu menindihnya dan hendak mencabik batang lehernya. Sebelum terkatup, Guan Suo menahan kedua rahang besar itu dengan kedua tangannya sekuat tenaga.

Harimau besar ini memiliki tenaga yang jauh melebihi siapapun yang pernah dihadapinya.

Kedua tangan Guan Suo beradu dengan maut, mencengkram kedua rahang harimau itu agar tidak terkatup dan meremukkan batang lehernya. Kakinya dengan putus asa mencoba untuk mencari cara untuk melukai harimau ini.

Guan Suo merasakan otot-otot lengannya tertarik-tarik dan sudah mencapai batasnya. Kedua rahang harimau itu semakin dekat untuk menghujam lehernya.

Guan Suo meledakkan seluruh kekuatannya sambil meraung keras. Kedua tangannya, masih memegang kedua rahang harimau itu, meregang lebar, melepaskan rahang bawah dari engsel kepala harimau. Tewaslah harimau itu.

Merasakan sakit di bagian leher, Guan Suo meraba lehernya satu kali, kemudian dilihatnya telapak tangannya yang telah berlumuran darah. Ia tidak tahu darah itu berasal dari lehernya, tangannya, atau keduanya. Yang pasti ia berdarah.

Guan Suo mengambil batu api yang selalu dibawanya dan dipercikkannya kededaunan kering, terciptalah api unggun. Dengan cara menyobek, Guan Suo menyayat daging si harimau. Disesalinya keadaannya yang tidak memiliki pisau cadangan. Setelah itu ia memukul tulang tangan harimau itu dengan batu hingga patah dan dibakar pada api unggun yang kini kian membesar.

Puas makan malam, Guan Suo tertidur pulas.

Dalam mimpinya, sesosok makhluk berwujud perempuan menghampirinya.

“Kenapa kau bunuh aku?”

“Kau membunuh warga desa.”

“Aku hanya mencari makan. Mereka yang mendirikan tempat tinggal di bawah rumahku. Aku sudah tinggal di sini selama seratus tahun.”

“Harimau membunuh manusia, manusia dirugikan, maka dia juga membunuh harimau. Kurasa tidak ada yang salah. Kalau tadi aku tidak bersikeras, aku-lah yang akan menghampirimu dalam mimpi dan protes kenapa kau membunuhku.”

“Manusia kurang ajar. Aku akan mengadu pada langit. Aku bersumpah hidupmu takkan bahagia!”

Mendadak sebuah perasaan sedih menghantui Guan Suo. Guan Suo merasakan kedua kakinya lemas, memaksanya berlutut, ia menangis. Menangis pilu, kepiluan tiada tara yang baru kali ini ia rasakan. “Ambil apapun dariku … asal jangan dia…”

Dan gadis yang selama ini selalu muncul dalam mimpinya, berderai air mata, dengan suara pilu mengatakan ucapan perpisahan. “Aku tidak bisa. Teruslah berjalan.”

Seekor naga hitam datang dan menerkamnya.

“Xing Cai……!!” Guan Suo terjaga seketika.

Ia tidak tahu pasti apa yang baru saja diimpikan, namun mampu dirasakan olehnya, betapa jantungnya berdebar kencang seakan ingin meledak. Mendadak keringat membasahi tubuhnya, Guan Suo melirik pada harimau besar yang tadi dibunuhnya. Sudah tinggal sisa-sisanya saja.

Diambilnya batu besar dan dihancurkan kepalanya hingga remuk.

Hari masih malam, Guan Suo mengambil potongan rahang bawah si harimau dan segera berlari pergi menuruni bukit untuk kembali ke desa, membawa benda yang bisa membuktikan bahwa ia telah membunuh siluman harimau itu.

Seluruh warga desa berterima kasih padanya dan menawarinya beragam harta benda yang mereka punya. Namun Guan Suo sangat terburu-buru, perasaannya tidak tenang. Ia sangat ingin bertemu dengan Xing Cai dan memastikan dia baik-baik saja. Mengetahui keterburu-buruannya itu, penduduk desa memberikan Guan Suo seekor kuda yang terbaik mereka miliki untuk mempercepat perjalanannya.

Saat seorang pelukis desa mencoba melukiskan Guan Suo, ia tersenyum sendiri melihat hasil lukisannya cukup mirip dengan lukisan Guan Yu. Sejak itu di desa kecil tersebut beredar cerita mengenai Guan Yu yang turun ke dunia untuk menyelamatkan mereka dari siluman harimau.

Dynasty Warriors fanfic : Folk-taleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang