Bab 24

39.8K 1.3K 186
                                    

Pandangan Baby terlihat kosong, ia menatap langit senja yang sedikit mendung, sepertinya hujan sebentar lagi akan turun. Kini Baby sedang duduk seorang diri dikursi yang ada di balkon kamarnya.

Hembusan nafas Baby terdengar berat, ia mengalihkan pandangannya pada genggaman tangannya. Terdapat sebuah benda kecil yang sudah satu minggu ini selalu ia bawa dan tak berhenti ia pandangi. Sebuah alat tes kehamilan menunjukan dua garis yang sangat jelas. Satu minggu yang lalu, bertepatan dengan ia mengetahui tujuan awal Boy mendekatinya, disitu juga Baby menyadari sedikit keanehan.

Bermula ketika Baby melihat tumpukan pembalut yang sudah lama tak ia pakai, Baby baru menyadari jika ia sudah lama tak mendapat tamu bulanannya.

Ketika itu dengan perasaan campur aduk Baby memilih mengeceknya. Pagi itu ketika melihat testpack yang ia gunakan menunjukan dua garis merah, Baby hanya bisa menangis.
Satu minggu yang lalu baru ia ketahui ada nyawa yang tumbuh dalam rahimnya. Jika keadaanya tidak seperti ini pasti Baby akan menyambut penuh bahagia kehadiran calon anaknya, apalagi ia memilikinya dengan laki-laki yang ia cintai.

Sekarang Baby kebingungan bagaimana cara ia menyampaikan semua ini kepada orangtuanya. Apalagi hubungannya dan Boy sedang tidak baik-baik saja. Baby memilih menghindar, rasanya sakit sekali setiap mengingat kalimat yang keluar dengan mudahnya dari mulut Boy.

"Kak..." Baby mengusap tetes air mata yang jatuh membasahi pipinya. Tanpa menoleh Baby mengetahui itu adalah suara sang Bunda.

"Ada Boy di depan. Temuin dulu yu, kasian dia" Sejak tadi Bundanya itu tak berhenti membujuknya untuk menemui Boy yang sedang berkunjung menemuinya, dari balkon kamarnya Baby memang sempat melihat mobil Boy masuk melewati gerbang rumahnya.

"Suruh pulang aja, Bun!" Balas Baby, acuh.

"Kasihan loh Boy sudah dari tadi nunggu" Rena masih mencoba untuk membujuk.

"Enggak mau, Bun" balas Baby, sedikit menjerit sebal. Mendengar namanya saja kini Baby sudah sangat malas, apalagi menemui laki-laki itu secara langsung. Tadi saja di rumah sakit jika tidak terpaksa demi keprofesionalan sebenarnya mana sudi Baby mengobati Boy.

"Jangan kekanakan Baby, kalo ada masalah temui Boy, selesaikan semua" ucap Revan, berkata penuh ketegasan. Pria setengah baya itu berdiri di ambang pintu ikut turun tangan karena sejak tadi istrinya gagal membujuk Baby.

"Aku enggak mau, Pa. Bisa jangan paksa aku!" Lewat tatapan matanya Rena memberi kode berupa gelengan kepala. Memimta suaminya untuk tidak memaksa.

"Oke, Bunda ke bawah dulu" Sebelum keluar tangan Rena mengelus dada sang suami, lewat gerakan bibirnya ia meminta Revan untuk menemani Baby.

Baby bisa mendengar pintu tertutup, ia kira kedua orangtuanya sudah keluar. Ketika ia merasakan usapan di puncak kepalanya, Baby menoleh yang ternyata itu adalah sang Papa.

"Ada apa?" Tanya Revan, selembut mungkin.

"Aku mau putus!"

"Jangan lama-lama marahannya, masalah dalam hubungan itu wajar, dicari sulusinya. Yang diselesaikan masalahnya bukan hubungannya"

"Dia jahat, Papa" Adu Baby, seperti anak kecil memandang sang Papa dengan mata berkaca-kaca. Revan akhirnya ikut duduk disebelah Baby, membawa sang putri masuk dalam dekapannya. Memberi tempat untuk sang putri melampiaskan tangisnya.

"Jahat, Papa" ucap Baby, disela isakkannya.

Setelah semua kebersamaan yang mereka lalui selama beberapa bulan terakhir sejujurnya Baby mencoba mengelak jika sedikit mustahil Boy bisa sebejat itu, namun jelas-jelas ia mendengar sendiri dari mulut Boy. Semua kekhawatirannya dulu terjadi. Hanya saja Baby masih belum menyangka jika memang Boy sejahat yang ada dalam benaknya. Cinta pertamanya menyakitinya terlalu dalam.

Baby Boy [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang