04.a Pengalaman Pertama

516 46 0
                                    

Tubuh Arumi meremang, mata mereka yang saling menatap melalui cermin secara perlahan diselimuti kabut. Reigan menuntun Arumi untuk bangkit dari duduknya, melangkah ke arah ranjang dan mendudukkannya di sana.

"Bolehkah?" tanya Reigan seraya menatap Arumi tepat di matanya. 

Lidah Arumi terasa kelu. Meski pria itu tidak berbicara secara gamblang, tetapi ia paham ke arah mana pertanyaan tersebut dilontarkan.

Arumi kemudian hanya mengangguk. Mengizinkan Reigan untuk melakukan hal itu kepadanya malam ini. Meski merasa takut dan malu, Arumi  tidak memiliki alasan untuk menolak keinginannya. Pria itu adalah suaminya, ia berhak atas Arumi malam ini.

Mendapat persetujuan, Reigan kemudian menarik semua pakaian luar yang Arumi kenakan, hingga kemudian yang tersisa pada tubuh perempuan itu adalah pakaian dalam yang membungkus dada dan tubuh bagian bawahnya.

Reigan membaringkan tubuh Arumi. Setelah itu menanggalkan pakaiannya sendiri, kemudian mengurung tubuh Arumi yang kini terbaring pasrah dengan kedua kakinya. Tubuhnya membungkuk ke arah Arumi, sementara tangannya Reigan gunakan untuk merangkum wajah perempuan itu.

Arumi secara impulsif menutup mata kala Reigan mendekatkan wajah mereka. Kala bibir pria itu mendarat di bibirnya, Arumi sedikit menahan napas. Tubuhnya agak kaku kala pria itu mulai memberikan sesapan-sesapan ringan pada bibirnya, mempermainkan bibirnya secara aktif.

Ketika mulai terbiasa, Arumi membalas setiap kecupan yang Reigan berikan.

Rangsangan demi rangsangan diberikan satu sama lain. Tubuh mereka sudah cukup berkeringat.

Arumi mencengkram kedua lengan Reigan dengan masing-masing tangannya saat pria itu memulai inti dari kegiatan yang sedang mereka lakukan. Mata Arumi terpejam erat, jantungnya berdegup kencang ketika sebuah benda terasa mulai menerobos tubuh bagian bawahnya.

Reigan terdiam beberapa saat, baru setelah Arumi agak terbiasa, pria itu kemudian mulai bergerak.

Ketika pria itu memacu semakin cepat, Arumi hanya bisa semakin mengencangkan cengkraman pada lengan pria itu seraya menatap wajahnya. 

Reigan mungkin tidak tahu, air mata yang ia keluarkan saat ini bukan hanya karena rasa sakit teramat sangat yang dirasakan tubuh bagian bawahnya, tetapi juga merasa ... entahlah Arumi harus menyebut apa air matanya kali ini.

Namun kalau boleh Arumi deskripsikan, rasanya seperti benda yang selama ini menghimpit dadanya menghilang begitu saja sehingga kini ia bisa bernapas dengan leluasa. Arumi merasa lega dan bahagia. Lega karena prinsip yang dirinya pegang selama ini untuk tidak berhubungan badan sebelum menikah berjalan dengan baik, dan bahagia karena pengalaman pertamanya bersama dengan orang yang ia kehendaki. 

Bukan karena pria itu adalah Reigan, tetapi karena pria itu adalah suaminya.

Arumi bukan bermaksud sok suci, bukan bermaksud bereaksi berlebihan juga. Bukan juga karena ia tidak bisa menahan hasrat untuk melakukan hal itu sebelum menikah, tidak sama sekali. Arumi rasa, menjalankan prinsip yang dirinya pegang justru adalah sesuatu yang mudah ... kalau saja, Arumi tidak hidup di lingkungan yang menganggap ia sama murahnya dengan sang ibu.

Arumi anggap sangat susah, sebab orang-orang telanjur mengecap Arumi sebagai perempuan murahan yang bisa mereka sembarangan sentuh sesukanya. 

Dulu ketika ia masih menduduki bangku sekolah menengah pertama … iya, Arumi bahkan setelah dewasa selalu berpikir bahwa mereka masih sekecil itu dan merasa mustahil melakukannya. Namun dulu, mereka sudah melakukan hal-hal yang tidak senonoh kepadanya.

Orang-orang yang dulu melakukan hal itu kepadanya, mungkin di usia yang sedewasa ini mereka  sudah melupakan apa yang pernah mereka lakukan, tetapi jelas tidak untuk Arumi. Arumi tidak pernah lupa, bagaimana sakitnya saat mereka menyentuh dadanya, menyentuh pinggangnya, atau bahkan dengan sengaja pernah hampir mencium bibirnya, yang paling parah menarik roknya ke atas kemudian mengelus pahanya.

Mereka berperilaku seolah berhak atas tubuh Arumi. Membuat Arumi pernah merasa benci dengan tubuhnya.

Itu adalah perbuatan Alysa. Siapa lagi? Alysa membicarakan dirinya ke semua orang, bahwa dirinya adalah anak haram hasil perselingkuhan ayahnya dan pelacur. 

Dulu Arumi tidak bisa menyanggah pemberitaan ini, karena menurutnya memang betul begitu kenyataannya. 

Semua orang jadi membenci Arumi setelah Alysa meminta mereka membayangkan bagaimana kalau mereka menjadi Alysa. 

Kemudian bahwa katanya, setiap malam ia selalu menjual diri ikut dengan ibunya. Padahal Arumi saja tidak pernah sama sekali bertemu dengan perempuan brengsek itu. Sebab sejak dirinya masih bayi merah, sudah dibuang ke rumah ayah dan istri sahnya. 

Bocah-bocah kecil yang nalarnya mungkin masih belum berjalan itu dengan mudah mempercayai. Apalagi saat masih SMP, ia tumbuh dengan tinggi serta sedikit berisi.

Yang membuatnya tidak pernah habis pikir, mereka percaya bahwa Arumi pelacur hanya karena ukuran payudaranya tidak seperti anak SMP kebanyakan.

Arumi pikir setelah lulus sekolah menengah pertama, penderitaan dan pelecehan yang selama itu ia dapat akan berakhir jika masuk SMA. Nyatanya Arumi salah.

Arumi pikir, dengan tidak satu sekolah dengan Alysa, ia akan berhenti menderita. Namun ia salah besar, pelecehan itu tetap berlanjut dan desas-desus ia anak haram masih terdengar dengan jelas.

Sia-sia dirinya memohon kepada ayahnya untuk tidak dimasukan ke sekolah yang sama.

Arumi tidak tahu Alysa mendapat akses dari mana untuk tetap mengganggunya, Alysa masih bisa menjelekkannya meski mereka sudah tidak satu sekolah. 

Arumi tahu karena seseorang memberitahukan kepadanya bahwa memang Alysa lah yang menyebarkan berita itu. Kehidupan sekolahnya tidak berbeda jauh dengan dengan saat ia masih SMP, di SMA bahkan jauh lebih parah.

Arumi tidak mau mengingat-ingat masa kelam itu lagi. Sekarang ia sudah berhasil menjaga dirinya, melakukan pengalaman pertama bersama suaminya, dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada suaminya. 

Sudah tidak ada yang membuat Arumi khawatir lagi.

Bertahun-tahun Arumi tidak pernah bertemu dengan mereka yang melecehkannya, Arumi yakin ia tidak akan pernah bertemu dengan mereka sampai ia mati.

Mereka terengah, napas mereka saling memburu satu sama lain sebelum akhirnya Reigan ambruk di sisi Arumi. Meski seluruh tubuhnya terasa remuk, Arumi tetap mengubah posisinya, yang tadinya telentang menjadi berbaring miring menghadap sang suami. Arumi menatap Reigan yang masih mengatur napas.

"Aku boleh peluk kamu mas?" Arumi meminta izin.

"Tentu saja!"

Jawaban Reigan membuat Arumi tersenyum lebar. Ia kemudian merapatkan tubuh kepada pria itu meski masih dibanjiri keringat.

Arumi meletakan sebelah tangan di dada Reigan. Sementara wajahnya sengaja disembunyikan di antara lipatan tangan pria itu dan dadanya yang tidak ditumbuhi rambut sama sekali.

Setelah mengobrol ringan beberapa saat, keduanya kemudian terlelap.

***

We Are CheatersWhere stories live. Discover now