Chapter 1

34 4 0
                                    

Bau antiseptik yang semerbak serasa menusuk hidung. Yuna memberengut lalu membuka netranya perlahan. Sejenak mengawasi seberkas cahaya disertai bayang-bayang orang yang berada di sekitar ranjang tempat ia di baringkan.

"Dia sadar! Dia sudah sadar!" terdengar teriakan histeris beberapa orang.

"Yuna! Yuna!" Suara lembut itu terdengar asing bagi Yuna.

Yuna mengerjap-ngerjap untuk menangkap cahaya lebih banyak, agar matanya dapat melihat lebih jelas. bayangan yang semula kabur, mulai terlihat jelas, dan membentuk sosok seorang pria dengan wajah indo. Garis wajahnya terlihat tegas dan dewasa. Yuna yakin pria itu usianya terpaut cukup jauh dari dirinya. Mungkin 40? Namun wajahnya masih terlihat tampan, walaupun garis-garis samar menghiasi dahi dan matanya. Siapa pria ini? Ketika Yuna sedang berpikir, orang itu menggenggam tangannya.

"Yuna, kamu nggak apa-apa, Yuna? Terima kasih, Tuhan! Terima kasih kamu akhirnya sadar. " Pria itu mencium punggung tangan Yuna penuh syukur.

Yuna mengerutkan dahinya bingung. Dia tak paham mengapa orang ini mengecup tangannya, tapi Yuna juga tak punya tenaga untuk merebut tangannya dari genggaman tangan pria itu.

Dia lalu memandang sekeliling dengan bingung. Banyak orang-orang berbaju putih berkerumun di dekat ranjangnya. Tak ada satupun yang dikenalnya, kecuali satu orang. Mata Yuna seketika terpana pada sosok tersebut. Itu Zaki, kekasihnya, calon suaminya. Dengan suaranya yang parau dia menyebut nama pria itu perlahan. Tangannya terjulur untuk menggapai laki-laki yang dicintainya itu.

"Za ... ki ... Zaki..., " panggil Yuna.

Pria tinggi beralis tebal yang berdiri di pojok ruangan itu tampak tertegun karena panggilannya. Semua mata dalam ruangan ICU itu tertuju padanya. Lelaki itu tersenyum gugup.

" Mendekatlah, Zaki, " kata si pria indo. Laki-laki bernama Zaki itu menurut, dia mendekati ranjang Yuna dengan gelisah.

"Anda baik-baik saja?" tanya Zaki.
Yuna tak menjawab, meskipun dalam hati dia bingung mengapa Zaki berbicara padanya dalam bahasa formal. Tangan kirinya yang bebas meraih tangan Zaki mulai menggenggam nya erat-erat, lalu wanita itu tertidur.

***

Vian duduk tertegun di depan ruangan Dokter Idris yang menangani istrinya. Malam telah larut, sehingga lorong rumah sakit begitu sepi. Hanya ada beberapa perawat yang tampak lalu lalang untuk memeriksa kondisi pasien. Suara sepatu mereka bahkan terdengar begitu nyaring ketika melewati lorong. Vian mendesah. Pria itu berharap apa yang baru saja didengarnya dari dokter itu salah, atau pendengarannya yang kurang baik. Tidak mungkin. Tidak mungkin hal ini terjadi padanya! Vian mengingat kembali percakapan dengan Dokter Idris tadi.

"Amnesia?" tanya Vian.

"Ya, amnesia disosiatif, istri anda tak dapat mengingat kejadian selama dua tahun terakhir. Setelah saya melakukan analisa, saya menyimpulkan bahwa ingatan terakhirnya adalah tanggal 9 Desember 2016," jelas Dokter Idris.

Vian menutup mulutnya, tak percaya dengan penjelasan dokter yang masih kerabat dekatnya itu. "Apakah bisa disembuhkan, Dok?" tanya Vian.

"Bisa ya, bisa tidak, tergantung pada diri pasien. Jika dia mengalami trauma, ingatan tersebut akan sulit kembali."

Tubuh Vian serasa lemas. Dia menghela napas lelah. Pantas saja Yuna sama sekali tak mengenali dirinya. Vian menatap Zaki yang baru saja keluar dari kamar tempat Yuna dirawat. Istrinya tak mau melepaskan tangan lelaki beralis tebal itu sedari tadi sehingga dia terpaksa bertahan di samping Yuna. Pria itu mengangguk saat melihat Vian. Vian menepuk kursi di sebelahnya, memberi isyarat agar Zaki duduk di sana. Laki-laki itu paham lalu duduk di sana.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Vian.

"Dia baik-baik saja, sekarang sedang tidur," kata Zaki.

Vian menatap lurus suami keponakannya itu dengan tajam. Zaki mengerjap, dia tak kurasa menatap mata Vian yang menghakiminya. "Zaki, apa sebenarnya hubunganmu dengan istriku?" tanya Vian. Dia tak mengerti mengapa reaksi istrinya justru terlihat tenang ketika melihat Zaki tadi. Dia bahkan tak pernah tahu kalau keduanya saling kenal. Vian masih ingat bagaimana ketika pertama kali di mempertemukan mereka dalam acara keluarga. Zaki dan Yuna saling sapa seperti orang asing. Bahkan mereka hanya berinteraksi seperlunya saja. Tidak pernah sekadar beramah-tamah atau berbasa-sasi. Lalu mengapa mendadak sekarang mereka terlihat seperti teman lama, justru setelah Yuna kehilangan ingatannya. Bukankah ini aneh? Pasti ada hal yang disembunyikan darinya.

Zaki menelan ludah kemudian menggumam. "Maaf, bukannya kami bermaksud membohongimu," jelasnya, " dulu kami memang pernah menjalin hubungan, tapi itu dua tahun yang lalu. Sekarang sudah nggak ada perasaan apapun diantara kami."

Vian tak menyahut, dia hanya diam sambil menengadah. Dia sudah menduga hal ini dari reaksi Yuna ketika sadar tadi. Mendengarnya seharusnya tidak membuat Vian terkejut. Dia sebenarnya tak sakit hati jika seandainya Zaki dan Yuna memang pernah memiliki hubungan. Toh hal itu sudah lama berlalu. Zaki mungkin menutupi hal ini mungkin untuk menjaga perasaan Ulfa yang mudah cemburu. Namun mengapa Yuna harus menyembunyikan hal ini darinya?

Kalimat yang diucapkan almarhum Ulfa, keponakannya, dua minggu lalu membayang dalam ingatan Vian.

"Paman, tidak tahu apa-apa tentang dia!"

"Lalu kamu tahu apa tentang dia?" Tentang Vian kala itu. "Aku tahu lebih banyak dari, Paman."

Ya. Kini rasanya ucapan Ulfa itu benar. Vian menyadari kekeliruannya. Ada banyak hal yang tidak diketahui nyadar istrinya itu. Lalu apa maksud Ulfa mengatakan tahu bahwa di mengenal Yuna lebih baik daripada dirinya? Apakah artinya Ulfa sudah mengetahui hubungan Yuna dan Zaki? Apakah gadis itu merasa cemburu? Vian tak dapat menanyakan hal itu lagi pada Ulfa sekarang, dan dia sungguh menyesal karena tak pernah peduli. Jenazah Ulfa telah dikebumikan dua hari yang lalu.

"Anda nggak menengok nya, Paman?" tegur Zaki yang membuyarkan lamunan Vian.

Vian menggeleng perlahan. "Dia tak mengenali ku," keluh Vian, "mungkin ada baiknya membiarkannya sendiri dulu."

Vian menyandarkan punggungnya kedinding lalu menutup mata. Beristirahat sejenak dari kenyataan yang begitu kejam ini. Dia berharap esok ketika bangun semua yang dialaminya hanyalah mimpi. Hanya dalam 2 hari, dua hal paling berharga dalam hidupnya telah direbut begitu saja. Ingatan Yuna tentang dirinya dan juga keponakannya yang telah merenggang nyawa.

***

Hai guys... ini naskah lama yang sebenarnya dulu udah pernah diupload di sini cuman judulnya beda. Kalian kepo nggak sama ceritanya? Stay tune ya kalo kepo.

Back Cover of MemoryWhere stories live. Discover now