Chapter 39

2 1 0
                                    

Ketika Yuna memasukkan satu pak pembalut ukuran besar, Vian melongo.

"Kamu lagi ada tamu?" tanyanya kepo.

Yuna tersenyum miris lalu mengangguk. "Maaf ya," ucapnya merasa bersalah.

Vian malah tertawa. "Aku malah bersyukur sih," ucapnya sembari mendorong keranjang belanjaan menuju kasir.

Yuna termenung meresapi kata-kata yang baru saja dituturkan suaminya. Bersyukur? Kenapa Vian malah bersyukur? Apa memang cowok itu nggak ada keinginan melakukan itu dengan dia. Seketika Yuna merasa was-was.

Setelah selesai belanja, mereka kembali ke rumah dan mulai memasak untuk makan malam. Dengan piawai Yuna memasukan bumbu-bumbu untuk membuat beaf steak kesukaan Vian yang dipelajarinya dari Bi Ina. Vian membantunya memotong-motong sayuran. Air mata cowok itu berlinang-linang ketika dia mengupas bawang. Yuna sampai sakit perut melihat suaminya yang cengeng itu. Satu jam berlalu akhirnya makan malam siap disantap. Mereka menata meja di balkon belakang rumah. Dari sana terlihat pantai yang ombaknya menggulung-gulung. Langit malam sangat cerah sehingga bintang dapat terlihat dengan jelas.

"Indah sekali pemandangan di sini," kata Yuna. "Tapi apa nggak terlalu dekat sama laut? Kalau kena tsunami gimana?" protesnya tiba-tiba berubah paranoid.

Vian hanya tertawa. "Ya, kalau tsunami sudah takdir," jawabnya enteng.

Yuna memukul lengan suaminya. Mereka lalu kembali menikmati makanan dengan lahap.

"Tidak perlu pergi ke restoran mewah, bahkan makan malam sederhana berdua seperti ini sudah menjadi hal yang patut kita syukuri," kata Vian. Pria itu tersenyum lalu membelai rambut Yuna.

"Aku benar-benar bersyukur kamu selamat, Yuna, terima kasih karena telah menjadi istriku."

Yuna terpegun ketika merasakan jantungnya berdebar-debar lagi. Namun dia masih mengingat lagi kata-kata Vian yanh ambigu di super market tadi. Wanita itu mengerucutkan bibir lalu mengunyah satu potongan daging.

"Benar kamu sudah bersyukur sama aku? Aku kan nggak secantik dan seseksi bule yang tadi!" dengusnya.

"Ya ampun, kamu masih kepikiran bule yang numpang lewat tadi?" Vian menepuk dahinya. "Yuna, orang itu cuman kameo, dia nggak bakal muncul lagi di cerita ini," keluh Vian.

"Terus kenapa kamu malah bersyukur karena aku dapat tamu? Karena kamu jadi nggak usah cari-cari alasan kalau nggak mau hohohihe sama aku?" cerca Yuna.

Via terbengong-bengong lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan kanannya. "Dari mana kamu dapat kesimpulan kayak gitu?" tanya Vian.

"Aku mau juga hohohihe sama kamu, mau banget malah!" tegas Vian. "Tapi sekarang ini kita selayaknya orang asing yang baru saja kenal. Aku hanya nggak mau bikin kamu jadi nggak nyaman."

Vian mendesah melihat istrinya yang diam dan terpana. "Kita harus mulai dari awal sesuai urutan dulu," katanya.

Maka pria itu mengulurkan tangannya pada Yuna. "Mau pegangan tangan dulu untuk hari ini saja?" tawarnya.

Yuna termenung menatap tangan Vian. Yuna bukan anak kemarin sore yang baru saja pacaran. Pegangan tangan dengan cowok seharusnya sudah biasa. Namun, entak mengapa jantungnya berdegup semakin cepat ketika dia menyentuh tangan yang besar dan hangat itu. Perasaan yang sangat nyaman memenuhi hatinya. Sepanjang malam hanya hal itu yang mereka lakukan, bergandengan tangan.

***

Votes dan komen ya guys...

Back Cover of MemoryWhere stories live. Discover now