Chapter 25

1 1 0
                                    

Tania membolak-balik halaman dokumen AMDAL, namun pikirannya tak bisa fokus. Benaknya terus melayang pada Yuna dan Zaki, serta email terakhir dari Ulfa. Wanita itu tak dapat menahan diri untuk terus berspekulasi.

Pasti ada sesuatu di antara mereka! Bagaimana jika kematian Ulfa adalah rencana mereka? Tubuh Tania gemetar membayangkan kemungkinan itu. Bisa saja setelah ini Vian akan menjadi korban selanjutnya. Tania bangkit dan bergegas menaiki lift menuju ruang kerja Vian. Ceo yang sedang menandatangani beberapa berkas itu menyambutnya dengan ramah.

"Ada apa, Tania? Apa ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?" tanya Vian.

Tania menggeleng. Dia merogoh sakunya lalu meletakkan selembar kertas di atas meja Vian. Vian mengerutkan kening menatap kertas itu. "Apa ini?" tanya Vian.

"Ini dua email terakhir yang dikirimkan Ulfa padaku, dia mengirimkannya tanggal dua puluh delapan dan tiga puluh November 2018."

Vian terperanjat, dia segera mengambil kertas tersebut. Kerutan-kerutan tercetak di dahinya setelah membaca kertas tersebut.

"Apa maksudnya semua ini?" tanya Vian bingung.

"Aku nggak bisa berhenti memikirkan hal ini, Paman. Mungkin ... Ulfa meninggal karena dibunuh," jawab Tania dengan gamang.

***

Kamar Yuna adalah sebuah ruangan seluas lima kali enam meter dengan sebuah kamar mandi dalam. Ada satu ranjang ukuran double, sebuah TV dengan sebuah sofa kecil di hadapannya, sebuah lemari pakaian dan meja rias. Di sebelah timur, ada beranda yang memperlihatkan pemandangan berupa kolam renang dan taman.

Yuna duduk di depan TV sembari menganti-ganti salurannya, namun perhatian sebenarnya sama sekali bukan pada layar kaca tersebut. Yuna sedang memikirkan kembali perlakuan Zaki padanya tadi. Hati Yuna serasa diiris-iris jika mengingat peristiwa itu. Ponsel Yuna tiba-tiba bergetar. Yuna melirik benda itu dan melihat nama Wanda di sana. Dia segera meraih ponsel tersebut dan menerima panggilannya.

"Ya, Wanda? Ada apa?" tanya Yuna.

"Nggak apa, aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Apa kamu sudah bisa mengingat sesuatu?" tanya Wanda, suaranya terdengar cemas.

"Sama sekali belum," keluh Yuna, "hari ini aku mau menemui temanmu yang bekerja di perusahaan IT itu. Meminta batuannya untuk mendapatkan catatan pesan whatsappku yang hilang, tapi ternyata sulit. Dia bilang, datanya kemungkinan sudah overwrite. Dia hanya berjanji mengembalikan data setahun saja."

"Sabar saja, Yun. Nanti juga kamu pasti akan ingat," hibur Wanda.

Yuna menyandarkan punggungnya sembari menatap langit-langit kamarnya. "Aku lelah dengan semua ini. Aku merasa menjadi orang bodoh karena nggak tahu apa-apa."

Yuna menelan ludah lalu melanjutkan kalimatnya. "Hari ini aku bertanya lagi pada Zaki tentang alasan kami putus, tapi dia lagi-lagi nggak mau jawab."

Suara Yuna berubah menjadi serak dan bergetar. Dia tak dapat lagi membendung rasa sedihnya. Air matanya pun mulai menggenang.

"Apa salahnya jika aku ingin tahu? Kenapa dia harus bersikap sekasar itu," erang Yuna.

Yuna bisa mendengar desahan napas Wanda dari seberang telepon. Setelah terdiam sejenak, wanita itu buka suara.

"Yuna, untuk apa sebenarnya kamu terus mengorek masa lalu? Apa yang sudah terjadi nggak akan berubah. Toh, hal itu juga nggak ada pengaruhnya dengan kehidupanmu sekarang."

Yuna terpekur karena nasihat dari Wanda tersebut. Wanda benar.

"Kamu sekarang sudah punya suami, Yuna. Lebih baik kamu menatap masa depan ketimbang melihat masa lalu. Lupakanlah Zaki. Walau bagaimanapun, kalian nggak mungkinbersama."

Pandangan mata Yuna mulai kabur akibat air mata. Perlahan Yuna mulai terisak. "Aku nggak bisa. Aku juga ingin melupakannya, tapi aku nggak bisa. Rasa ini masih ada dalam hatiku dan aku nggak bisa menghapusnya begitu saja."

"Kamu bisa, Yun. Aku tahu kamu bisa! Ingat, bahwa waktu dapat menyembuhkan luka, suatu saat nanti kamu pasti bisa mengenang semua peristiwa yang kamu alami ini dalam tawa."

Yuna tersenyum kecil. Wanda memang seorang motivator handal. Itulah yang membuat Yuna senang bersahabat dengan pria itu sejak dulu. "Seandainya saja ada tombol reset di dalam hatiku aku pasti sudah menekannya," desah Yuna.

Wanda tertawa. "Bukankah kamu memang sudah menekannya? Buktinya sekarang kamu hilang ingatan." Wanda mengingatkan.

"Benar juga," kata Yuna.

Yuna dan Wanda lalu bercanda dan tertawa. Obrolan yang asyik dengan Wanda membuatnya lupa sementara waktu pada Zaki dan permasalahan hidupnya.

***

Sedekah votes dan komen ya guys

Back Cover of MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang