Chapter 37

1 1 0
                                    

Tania tak bisa berkonsentrasi terhadap pekerjaannya. Dia mengetuk-ngetuk meja dengan kesal karena membayangkan Vian sedang bersenang-senang dengan istrinya. Gadis itu lantas meraih ponsel dan menghubungi salah seorang teman. Dia punya kenalan di kepolisian. Siapa tahu saja orang itu bisa membantunya dalam penyelidikan.

"Halo, Yudha, ini aku Tania," sapa Tania begitu ponselnya terhubung.

"Oh, hai Tania, bagaimana kabarmu?" sapa cowok dibalik telepon itu ramah.

"Aku nggak mau berbasa-basi," tegas Tania. "Aku butuh bantuanmu untuk menyelidiki sesuatu."

"Menyelidiki apa?"

"Kasus pembunuhan," kata Tania. "Bisa kita bertemu siang ini. Akan kujelaskan semuanya."

Senyuman Tania terkembang. Dia begitu yakin bahwa dia pasti bisa membuktikan bahwa Yuna bersalah.

***

Bali. Saat mendengar kata itu dari suaminya, Yuna jelas mengira mereka akan pergi ke sebuah resort mewah milik Wijaya Grup. Nyatanya, setelah dari Ngurahrai, mereka menyewa mobil lalu mengendarainya sendiri selama hampir satu jam ke tempat antah-berantah. Yuna sampai tertidur saking bosannya dengan perjalanan yang tak tahu kapan berakhir. Vian pun tak mau menjelaskan detailnya mereka mau ke mana.

"Kejutan aja," kekeh Vian.

Akhirnya Yuna menghibur diri dengan menikmati lagu-lagu Raisa dan terlelap. Ketika bangun, Yuna terdampar di sini. Sebuah rumah kecil sederhana yang berdiri tegak di bibir pantai. Dari balkon rumah saja pantai yang cantik sudah terlihat. Pemandangan yang begitu memanjakan mata. Terlebih, tempat ini begitu sepi sehingga rasanya mereka hanya berdua yang berada di sana.

"Ini di mana?" tanya Yuna setelah mengamati sekeliling.

"Suatu tempat di Bali," jawab Vian.

Pria itu kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah sederhana bertipe tiga enam itu. Rumah itu tampak cukup rapi dan bersih meskipun tidak berpenghuni. Tidak banyak perabot sehingga rumah kecil itu terlihat cukup luas dan lenggang.

"Ini villa milik keluargamu?" tebak Yuna.

"Ini rumah milik orang tuaku. Kami tinggal di sini sampai umurku tujuh tahun," terang Vian. "Ada banyak kenangan indah di sini. Setiap kali aku stress, aku suka datang ke sini. Ketika datang ke sini. Aku merasa seolah kembali ke masa-masa itu. Ketika kedua orang tuaku masih hidup."

Yuna tertegun. Dia menangkap nada sendu dalam suara suaminya, ketika pria itu menceritakan tentang keluarganya.

"Dulu aku masih punya Ulfa," kata Vian. "Sekarang aku benar-benar sendiri. Hanya kamu yang kumiliki. Jangan tinggalkan aku, Yuna."

Dada Yuna seketika serasa sesak. Dia mendekati Vian lalu memeluk pria itu. Vian tak pernah sekalipun menunjukkan kesedihan. Namun Yuna yakin di dalam hatinya, pria itu sangat kehilangan. Bagaimanapun Ulfa adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Vian masih harus menerima kenyataan pahit bahwa istrinya kehilangan ingatan dan melupakan segala hal tentang dirinya. Mengapa Yuna tak dapat memahami perasaan suaminya. Mengapa dia malah sibuk dengan hatinya sendiri yang masih belum bisa melupakan mantan pacarnya yang sudah putus dua tahun yang lalu?

Air mata Yuna menggenang. Dia menyadari betapa bodoh dirinya sehingga tak menyadari penderitaan suaminya. Mereka adalah suami-istri. Yuna harusnya lebih peka pada perasaan pria itu.

"Maaf," ucapan itu meluncur saja dari bibir Yuna.

"Aku tidak ingin mendengar kata maaf darimu," kata Vian sembari mengeratkan dekapannya ke pinggang Yuna.

"Aku hanya ingin kita bisa bersama selamanya. Seperti janji yang kamu ucapkan dulu. Meskipun kamu mungkin tidak mengingatnya."

Lubang di dada Yuna makin menganga lebar. Betapa bodoh dirinya karena selama ini hanya memikirkan diri sendiri. "Maafkan aku, maaf sudah melupakan semua kenangan kita," lirihnya.

"Kenangan itu bisa kita ukir kembali. Selama kamu masih mau menerima aku sebagai suamimu."

Yuna mengeratkan pelukannya pada suaminya. Malam itu bertekad dia akan menghapus Zaki dari hatinya dan menggantikannya dengan Vian. Meskipun mungkin sangat sulit. Dia akan berusaha sekuat tenaga.

***

Back Cover of MemoryWhere stories live. Discover now