Chapter 30

1 1 0
                                    

"Kamu yakin aku akan diam saja kalau kita tidur sekamar?" goda Vian.

Pipi Yuna semakin memerah, dia menunduk dengan malu-malu. "Ya ... kamu kan suamiku. Itu hakmu jika kamu ingin melakukan sesuatu."

Vian terperanjat mendengar jawaban Yuna itu. Pria itu lalu menutup mulutnya.

"Se-sepertinya belum bisa. Ng ... kita pelan-pelan saja. Nggak usah buru-buru." Vian berupaya menutupi wajahnya yang mulai memerah.

"Kalau begitu, aku tidur dulu ya, selamat tidur!"

Vian segera berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya. Gawat! Yuna memang terlalu manis. Hampir saja Vian tak bisa menahan diri untuk memeluk wanita itu tadi.

Yuna memandang kepergian Vian lalu memegangi pipinya yang terasa panas. Bodoh sekali! Apa yang dia pikirkan sampai bicara seperti itu! Yuna memaki-maki dirinya sendiri. Dia lalu mengawasi punggung Vian yang menjauh. Walau bagaimanapun pria itu adalah suaminya.

Yuna lalu memasuki kamarnya. Ponselnya seketika berdering ketika Yuna menutup pintu. Nama yang tertera pada layar ponselnya adalah nama Wanda.

"Ya, Wanda," sapa Yuna sambil menempelkan ponsel di telinga kiri. Dia menghampiri ranjang lalu merebahkan tubuhnya dengan nyaman.

"Yun, bagaimana malam pertamamu?" tanya Wanda sambil cekikikan. "Aku baru ingat nih, kalau kalau sekarang jadi pengantin baru lagi kan karena hilang ingatan. Aku jadi penasaran."

"Kami belum melakukannya," ujar Yuna malu-malu.

"Payah!" Wanda mendengkus kecewa.

"Apa kamu meneleponku hanya untuk menanyakan hal vulgar macam itu!" olok Yuna.

Suara tawa Wanda menggema dari seberang telepon. "Maaf-maaf," serunya, "kamu penasaran dengan alasanmu putus dari Zaki, kan? Aku baru ingat sesuatu, mungkin...."

Wanda tak melanjutkan kalimatnya sehingga mengundang rasa penasaran Yuna. "Apa?" desak Yuna.

"Begini. Seminggu setelah pembatalan pernikahan kalian, perusahaan Ayah Zaki dinyatakan bangkrut. Aku sebenarnya nggak tahu karena waktu itu kita sudah tidak berhubungan lagi. Tapi entahlah ... aku hanya ingin membantumu mengingat. Siapa tahu ini ada hubungannya."

Yuna terperanjat mendengar penjelasan Wanda. Otaknya mulai menghasilkan berbagai spekulasi. "Aku mengerti, terima kasih, Wanda," desah Yuna akhirnya.

***

Vian masih duduk di depan laptop dan mengecek email sebelum tidur. Vian teringat kembali pada kata-kata yang ditulis Ulfa pada email terakhirnya pada Tania.

Vian terenyak, dia mencoba memutar kembali ingatannya hari kematian Ulfa. Hari itu Ulfa memang bersikap aneh. Dia hanya ingin tinggal di rumah dan tidak bersemangat ketika Vian mengajaknya pergi ke wahana hiburan yang ada di kota Batu.

"Aku sangat lelah hari ini, Paman. Kalian pergilah bertiga," kata Ulfa, dia lalu melengos pada novel dalam pangkuannya.

Yuna tersenyum kecil lalu menepuk punggung Vian. "Bagaimana kalau kalian pergi memancing saja. Aku dan Ulfa akan menunggu di rumah," usul Yuna.

Vian bergeming lalu mengamati Ulfa yang sibuk membaca dan tak menghiraukan sekelilingnya. Vian pun mendesah. "Baiklah, kami akan membawa ikan yang banyak, ayo, Zi." Vian menepuk bahu Zaki.

Zaki yang sedari tadi memerhatikan Ulfa terperanjat lalu mengangguk. "Iya, ayo."

Vian dan Zaki berlalu keluar rumah menuju tempat pemancingan terdekat dari Villa keluarga mereka. Vian tak pernah menyadari bahwa itulah saat terakhir dia menjumpai Ulfa dalam keadaan hidup.

Vian mendongak menatap foto dirinya dan Ulfa yang dipajangnya di dinding kamar itu. Ulfa yang masih berusia tiga tahun terseyum lebar dalam pelukannya.

"Ada apa sebenarnya, Ulfa? Kenapa kamu nggak mau bercerita pada Paman?" keluh Vian lirih. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya.

***

Terima kasih atas votes dan komennya.

Back Cover of MemoryWhere stories live. Discover now