Bab 27. Mengambil Langkah

1.8K 109 81
                                    

Hiruk pikuk Haul Al-Maghfurlah Kyai Fardan semakin berdenyut menjelang hari-hari puncak.

Tujuh tempat yang dialokasikan menjadi dapur sudah tampak ramai dengan para peladen, baik dari kalangan santri, abdi ndalem maupun masyarakat sekitar Al-Dalhar.

Asap-asap mengepul berbaur dengan aroma harum masakan di udara. Bahan-bahan masakan itu telah disiapkan oleh panitia pawon sejak sebulan lalu, meski begitu, waktu memasaknya baru di mulai empat hari menjelang hari puncak.

"Jadi inget, waktu SD, aku lemparin kambing buat acara haul pakai batu gara-gara aku hampir kena seruduk. Akang-akang santri udah pada panik nyelamatin aku, eh Kakak kandung sendiri malah nanyain keadaan kambingnya," cetus Nisrin dengan jemari sibuk membentuk kotak nasi.

Tsania, Naora, Una, dan Farida tertawa lepas.

"Mungkin waktu itu harga kambing lagi mahal," timpal Naora kemudian.

"Lah, terus aku lebih murah, gitu, Mbak?"

Sekali lagi gelak tawa terdengar memenuhi langit-langit aula outdoor Sayyida Al-Hurra.

Seseorang tiba-tiba memanggil mereka dari arah belakang. Tawa para santriwati itu menguap seketika saat tahu bahwa orang tersebut adalah Bu Nyai-nya.

"Mbak-mbak, Ibu minta tolong anterin makan siang buat akang-akang santri ke ndalem-nya Kyai Zainal, nggih," ujar Bu Nyai Fatma yang langsung dijawab takzim dan serempak oleh mereka.

Una berjalan beriringan dengan Naora ketika secara kebetulan harus berpapasan dengan dua personel hadroh Al-Dalhar yang hendak cek sound di panggung.

"Gus Anam, Mbak Na," bisik Naora membuat Una mendongak seketika.

"Sapa, Mbak," bisik Naora lagi sembari cengengesan.

Una hanya berdecak kesal, mempercepat langkah.

Ketika dua gadis itu berpapasan langkah dengan Gus Anam dan kawannya, Naora merasa ada yang janggal. Ia pun segera menyejajarkan langkahnya dengan Una yang sudah lebih dulu di depan.

"Biasanya Gus Anam ramah nyapa sampeyan, kok tumben sekarang cuek, Mbak?"

Una hanya memasang wajah acuh. "Kenapa ndak sampeyan tanyain, aja ke orangnya, Ra?"

Naora hanya menghela napas. Dan memilih kembali menggoda Una. "Kalian putus, ya?"

Mata Una berkilat.

"Becanda, Mbak," timpal Naora buru-buru sambil memamerkan gigi-giginya.

Gus Anam marah? Mungkin, saja. Pemuda itu mungkin kecewa, kesal, dan merasa malu di saat yang sama. Una tidak bermaksud bersikap jahat, tapi mungkin begitulah cara terbaik agar pemuda itu tak berharap banyak padanya. Lagi pula, selama ini Una tidak pernah menjanjikan serta memberikan harapan padanya.

Beberapa malam yang lalu, setelah sekian lama hilang, Gus Anam kembal mengirimnya pesan lewat Whatsapp. Ia berterus terang jika dirinya baru saja pergi ke Bahrul Falah untuk menanyakan Una pada Sang ayah. Gus Anam juga menjelaskan jika Kyai Kafabihi tidak bisa menjanjikan apapun, apalagi Una masih menyelesaikan hafalan Al-Qur'annya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now