Bab 15. Pemantik Rasa

1.2K 155 21
                                    

Kafa tak tahu seberapa dalam palung hatinya. Seberapa riuh yang bisa diredamkan sunyi di sana. Arus macam apa yang bergejolak di dasarnya.

Setelah berbagai macam percobaan melupakan, gadis itu justru mengambil separuh ingatan. Pertemuan-pertemuan kecil itu mirip serangkaian puzle yang menuntunnya pada sebuah alamat tak utuh,  jalanan yang memaksa untuk ditempuh.

Siapa dia?

Ning!

Ah, boleh jadi ada puluhan anak kyai di komplek Sayyida Al-Hurra. Artinya ada puluhan gadis dengan panggilan 'Ning' di sana.

Gadis dengan wajah sebening purnama itu pasti lah memiliki nama. Kafa hanya tak tahu di mana ia bisa menemukannya, toh saat itu Kafa tak sempat bertanya padanya. Ah, lebih tepatnya menahan diri untuk tidak menanyakan nama dan identitas gadis itu secara langsung.

Kafa kerap meyakini, untuk saat ini mengenal gadis mana pun hanya akan memberinya lebih banyak muhdorot ketimbang manfa'at. Pemuda beralis tebal itu menekankan dirinya sendiri bahwa saat ini kewajibannya hanyalah ngaji, mengabdi dan menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin.

Bagi Kafa, melakukan hal selain itu adalah sebuah ke-dzholiman. Pada dirinya, pada Ibu, pada Abah, juga pada para Masyaikh. Abah mewasiatkannya ke Al-Dalhar untuk mengaji, Ibu membiayainya untuk belajar, dan para Masyaikh menerimanya di sini sebagai pelajar.

Kafa mengehela napasnya yang terasa sesak memenuhi rongga dada. Diamatinya teks MC beraksara arab di tangannya sekali lagi.

Meski begitu, Kafa menyadari bahwa banyak hal pada dirinya yang secara alami susah untuk dikendalikan.

Hati dan pikiran.

Ia yang menciptakan kekaguman saat pertama kali melihat wajah cantik gadis itu. Ia juga yang menciptakan kekaguman serta penasaran saat tahu gadis itu mencarinya berbulan-bulan untuk memberi sebuah imbalan. Sekarang, ia telah menambah rasa kagum serta penasaran itu dengan sebuah keinginan untuk mengenal lebih jauh sosok gadis tersebut.

"Wis siap bertugas, Mas lurah?"

Bayangan di kepala itu koyak seketika. Saat Kafa menoleh, Idham cengengesan menghampirinya.

Kafa menarik dua sudut bibirnya disertai anggukan pelan. Ah, iya ini adalah tugas pertamanya untuk Al-Dalhar, jadi ia sedikit gugup membayangkan acara nanti malam. Pemuda itu tahu dirinya cenderung pemalu dan tak pandai berbicara di depan umum.

"Udah siap jadi artis?" Gurau Idham lagi.

Kafa hanya menyeringai datar.

"Selama ini, kan sampeyan hanya terkenal di komplek santri putra, aja. Abis acara ini, seluruh santri putri bakal kenal kamu, Kaf."

Mendengar itu, Kafa menggelengkan kepala. Pemuda itu lantas membatin. Apa yang dikatakan Idham itu ada benarnya. Kafa memang sengaja tak pernah ikut organisasi pesantren agar ia tak menonjol dan dikenal banyak orang. Bukan tanpa alasan, dulu saat ia masih duduk di Madrasah Aliyyah di Purwokerto, karena prestasinya, Kafa jadi dikenal seluruh pesantren termasuk santri putri.

Banyak yang kemudian mengiriminya surat juga titipan salam. Bagi Kafa hal tersebut adalah cobaan yang cukup berat. Ia sadar jika dirinya sama seperti santri lain yang menyimpan rasa penasaran terhadap santri putri. Ia sadar jika dirinya bisa saja sewaktu-waktu tertarik oleh salah satu dari mereka.

Padahal Kafa begitu mewanti-wanti hal tersebut dengan berusaha membatasi hubungan dan komunikasi dengan lawan jenis. Seperti prinsipnya sekarang, mengaji menjadi satu-satunya kewajibannya di pondok.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now