Bab 12. Sajak Ranah Kinanah

1K 143 16
                                    

Pemuda dengan manik mata gelap itu menerawang dari balik jendela.

Langit pucat pasi bak gulungan kanvas, dengan kuas hujan membasahi tanah gersang.

Bulan November baru saja tiba, artinya akan ada peralihan cuaca, musim panas ke musim dingin. Tidak terlalu ekstrim. Di Cairo, suhu terendah hanya mencapai 4°C , tapi itu cukup untuk membuat orang-orang terserang flu dan demam.

Di daerah lain seperti Alexandria dan Sinai, suhu-nya mungkin bisa lebih rendah lagi.

Dari balik jendela kaca imarah lantai lima-nya, ia bisa melihat denyut kehidupan Hay El-Asir di luar sana. Sebuah distrik padat penduduk yang terletak di Madinat Nasr. Berjarak kurang lebih setengah jam dari sungai Nil dan Tahrir Square.

Distrik ini sering juga disebut tenth district, sebuah distrik primadona tempat tinggal mahasiswa Indonesia seperti dirinya.

Saat musim panas, pemandangan gang sempit di bawah sana akan penuh oleh lalu lalang warga, juga beberapa baqiak yang mengangkut rongsokan, sayur-mayur, dan lain-lain. Di dekat mahattah kecil tempat orang menunggu kendaraan, biasanya ada seorang wanita yang menjajakan roti isy kepada orang-orang yang lalu-lalang.

Tempat ini mungkin kumuh dan sempit, namun penduduk sekitar begitu ramah dan islami.

Dzakwan Ali Fardan, tahun ini usianya genap dua puluh lima tahun. Seorang suksesor Al-Dalhar yang tengah menyelesikan perjuangan Strata dua-nya di jurusan Takhossus Fiqh Syafi'i di Al Azhar University.

"Wih, apa, tuh?"

Dzakwan memalingkan wajah. Dilihatnya, Aris, teman satu Flat-nya tengah mengintip sebuah bingkisan di karpet ruang tamu.

"Ambil, aja, Ris. Gratis, kok."

Mendapat persetujuan itu, Aris meraih sebutir stroberi berukuran besar nan ranum khas Mesir. "Kamu beli?"

Dzakwan menggeleng. Saat musim dingin, buah stroberi memang ada di mana-mana, harganya pun murah, tapi ia jelas belum keluar seharian ini.

"Lalu? Dari gadis Mesir seberang gang itu?" Tebak Aris.

Zahda. Namanya Zahda, seorang mahasiswi Mesir Islami yang menjadi tetangganya. Ia begitu ramah, dan sudah cukup lama kenal dengan Dzakwan.

"Kayaknya dia naksir kamu, deh. Wan."

"Kami cuma teman," jawab Dzakwan seraya sedikit tertawa.

"Dia cantik, loh, Wan. Sholehah lagi, kurang apa coba?!" Goda Aris yang kini beralih menuju teko, menuangkan teh panas.

"Kurang masuk akal nek dia naksir aku."

"Ya, naksir itu kan masuknya ke hati bukan akal," goda Aris lagi kali ini sembari menyesap teh-nya.

Dzakwan hanya tertawa.

"Lagian usiamu udah matang buat nikah, Wan. Apa jangan-jangan kamu udah ada calon di Indonesia?"

"Alhamdulillah."

"Alhamdulillah apa tuh?"

"Alhamdulillah belum."

Aris berdecak sambil pura-pura menggelengkan kepala. "Tapi inceran ada, kan?"

Dzakwan menarik dua sudut bibirnya terlebih dahulu. "Alhamdulillah."

"Belum!" Sambar Aris lagi yang langsung disambut tawa kecil Dzakwan.

Tubuh Aris kemudian menghilang di balik dinding dapur, sementara Dzakwan kini tengah menekuri salah satu kitab Fiqh yang berderet di rak ruang tamu.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now