Bab 21. Bagai Pungguk Merindukan Rembulan

948 111 111
                                    

Malam telah meninggi. Kesunyian membumbung, menjadi jembatan antara langit dan bumi.

Kafa kini masih duduk di jendela besar lantai tiga masjid. Sebuah kitab berjudul Mustholah Hadits tergeletak di hadapannya.

Kafa bersyukur, semangat mengajinya terasa di-charge ulang, justru setelah kekecewaan menoreh hatinya. Senyum pemuda itu bersinar tertimpa sinar purnama yang bertengger di antara carik awan.

Fakta yang diketahuinya beberapa hari lalu semacam cara Allah untuk menolongnya agar tak tenggelam dalam harapan semu.

Gadis yang berpendar itu memanglah rembulan. Dia bersinar, anggun nan mulia, namun tinggi tak tergapai.

Kafa seharusnya sudah mengiranya sejak lama. Dengan keindahan dan kemuliaan itu, sudah pasti gadis itu bukan orang sembarangan, dan benar saja, memang dialah Manunal Ahna, Sang Bidadari Al-Dalhar. Putri bungsu kyai Kafabihi Ahmad.

Sekarang Kafa tahu kenapa laki-laki seperti Gus Anam bahkan sampai dibuat tak berdaya.

Kafa merasa malu pada dirinya sendiri. Dulu, ia kerap menertawakan Reza dan Idham yang suka berangan-angan mengenai Ning Una, meski hanya sekedar guyonan.

Rasa malunya kian bertambah saat ingat jika selamai ini ia selalu menyapa dan tersenyum pada Ning Una. Gadis itu mungkin mengira jika dirinya sok akrab.

Ning Una bahkan hanya sesekali menanggapi sapaannya, dia lebih banyak diam dan menghindar. Seperti tak peduli dan membatasi diri. Ah, seharusnya Kafa tahu, jika bukan karena kewajiban, Ning Una mungkin tak berniat berurusan dengan dirinya.

Siapa lah Kafa ini dibandingkan para Gus terkenal di Al-Dalhar yang diam-diam dan terang-terangan mengangguminya?

Benar kata Idham, Gus Anam adalah santri terbaik di Al-Dalhar, dan dia lah yang paling pantas jika suatu saat bersanding dengan Ning Una.

Bisa saja sikap Ning Una yang cenderung menghindar itu karena memang ia sudah berkomitmen dengan seseorang, dan kedua orang tuanya pun sudah menjalin hubungan baik. Bukankah tradisi perjodohan antar anak kyai sudah biasa terjadi di kalangan pesantren. Kafa segera beristighfar, membuang jauh-jauh prasangka itu.

Benar atau tidaknya prasangka itu, Kafa sudah memutuskan untuk mulai membatasi dirinya dengan Ning Una. Ia akan berhenti sok akrab. Mungkin dengan cara itu ia bisa lebih menghormati Ning Una sekaligus menyelamatkan dirinya dari harapan kosong.

Sudah beberapa kali Kafa memilih menghindar dari gadis itu, dan ia semakin yakin saat melihat sikap Ning Una tak berubah. Gadis itu malah bertambah acuh.

Ah, biarlah rembulan itu tetap berpendar di atas sana.

Kafa tak akan berharap untuk bisa menggapainya lagi, ia hanya akan duduk, memandang dari jauh.

Dari sini, dari jendela lantai tiga masjid Al-Dalhar.

Kafa tak tahu, belasan tahun lalu, Badri dan Kafabihi duduk di sana, menatap langit sembari berjanji untuk mempersatukan anak mereka kelak.

🌺🌸🥀🌷

Bu Nyai Fatma mengucap syukur begitu tahu putra sulungnya mulai luluh. Malam itu, selepas menyimak setoran hafalan Al-Qur'an para santriwati Sayyida Al-Hurra, Dzakwan menghubunginya.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now