Bab 6. Getaran Rasa

1.2K 155 2
                                    

Jum'at pagi jadwal ro'an alias bersih-bersih. Para santri putri Sayyida Al-Hurra sudah kompak pakai kaos komplek warna merah.

Sesuai jadwal, mereka berbagi tugas. Ada yang menyapu halaman, ada yang ngepel aula, ada yang bersihin kamar mandi dan lain-lain.

Kamar 003, kamarnya Una kebagian membersihkan halaman dan tepi gang depan komplek. Tsania Tampak sibuk mengumpulkan sampah, Zahieq menyapu dengan sapu lidi, sedang Una mencabut rumput liar. Sebenarnya ada satu lagi penghuni kamar 003 yakni Marwa, tapi ia sedang cuti kuliah dan pulang kampung. Malah katanya, dia tidak bakal balik lagi alias kabur.

Setelah selesai dengan pekerjaan masing-masing, mereka pun beristirahat. Duduk-duduk di bangku sekitar pondok sembari menyetop tukang rujak es krim keliling.

Ketika asyik menyantap segar berbalut creamy-nya rujak es krim, tiba-tiba seorang santri putra berjalan masuk ke area komplek, beriringan dengan langkah kyai Zainal, kakak kandung bu nyai Fatma.

Sontak saja pemandangan itu segera menyedot perhatian para santriwati yang sedang istirahat di selasar aula.

Seseorang itu semakin dekat, dan cukup membuat sedikit kegaduhan di lantai atas yang diam-diam pada keluar balkon karena penasaran. Kepala-kepala bersembulan, senyum-senyum berkemekaran.

Tak dapat dibohongi, tatapan para santriwati begitu dibuat terpana pada sosok santri putra yang tengah berjalan beriringan dengan kyai Zainal itu.

Wajahnya yang tampan, tubuhnya yang tinggi tegap berwibawa, dan cara tersenyumnya yang manis.

Una dan Zahieq tidak sadar saat kedua orang itu mendekat ke arahnya.

"Ning Una?" panggil Kyai Zainal.

"Dalem?" Una segera menoleh, dan sedikit kaget saat dilihatnya kyai Zainal sudah berdiri di hadapannya bersama seorang lelaki yang tersenyum ke arahnya.

Una tergesa meletakan rujak es krimnya dan segera berdiri.

"Ini Gus Anam ada perlu sama sampeyan sebentar. Monggo, Gus." Setelah secara singkat menyilahkan, kyai Zainal pun lantas pergi begitu saja melangkah menuju ujung gang.

"Ning," sapanya.

Una mengangguk ramah.

"Maaf, nggih ganggu waktu istirahatnya sebentar." Pemuda itu berbasa-basi. Senyumannya terus menggantung. Meski tak dapat dibohongi, mimik mukanya juga terlihat sedikit gugup.

"Nggih, ndak apa-apa."

"Sebelumnya, aku Anam dari komplek Huffadh 1. Sampeyan mungkin udah ndak asing dengan nama saya," lanjut gus Anam, seolah berusaha mencairkan suasana. Tentu saja Una tidak asing, selain namanya sudah terkenal seantero Al-Dalhar, nama itu juga yang selalu menitipkan salam padanya sejak kelas 1 MA.

"Oh nggih, wonten nopo, nggih, Mas?" tanya Una kemudian dengan ramah setelah tersenyum seperlunya. Zahieq ternyata sudah hilang sejak beberapa detik yang lalu.

"Begini, Ning," kata Gus Anam lagi,"Ada undangan dari masjid kampung, untuk Muqoddaman Al-Qur'an besok. Butuh santri putra sama santri putri."

Una yang langsung paham dengan maksudnya karena memang bukan kali pertama undangan seperti itu datang, segera menjawab."Oh nggih, butuh berapa orang, Mas?"

"Untuk santri putri butuh kurang lebih lima orang, Ning." Gus Anam hampir tak bisa menahan diri untuk tidak menatap mata sosok gadis di hadapannya.

Una yang sadar akan hal itu sampai dibuat salah tingkah dan risih sendiri, berulang kali ia mengalihkan pandang ke sekitar.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now