Bab 16. Sketsa Waktu

1.1K 128 23
                                    

Kyai Kafabihi meletakan cangkir kopi di mejanya. Malam mulai meninggi, sepotong rembulan dengan bundaran nyaris sempurna tersangkut di antara carikan awan.

Lelaki itu menengadah. Dari balkon lantai dua rumahnya, beliau bisa menyaksikan Bahrul Falah terhampar luas. Kerlip lampu berpijar di antara puluhan bangunan yang berjajar, sebagian puncaknya menjulang menggapai rembulan.

Tonggak estafet Bahrul Falah telah sampai di generasi ke empat; para cicit Kyai Soleh. Dan kini, Kyai Kafabihi Ahmad sebagai anak tertua dari cucu pertama Kyai Soleh  mengemban amanah sebagai pimpinan tertinggi pesantren.

Di antara siluet bangunan itu, kubah raksasa berwarna emas adalah pemandangan paling fantastis dari atas sini. 
Cahaya berkilauan, seakan purnama tengah mendarat di sana. Jaraknya sekitar seratus meter dari sebuah gang besar berlapis paving block depan rumahnya.

Bagunan itu adalah Masjid Jami' Bahrul Falah. Bangunan pertama yang berdiri di pesantren. Dibangun oleh Kyai Soleh, kakek buyutnya puluhan tahun lalu.

Tiba-tiba, seseorang dari balik punggungnya berjalan pelan dan menyentuh bahunya dengan lembut.

Kyai Kafabihi mendongak. Senyum kecil menghias wajahnya yang terlihat muram.

"Lagi mikirin apa, toh, Bah?"

Lelaki itu sekali lagi hanya menanggapi dengan senyuman simpul. Ummi Nafis menghela napas, menyeret kursi di sebelahnya.

"Semua udah kehendak Gusti Allah, Bah."

Tatapan mata Kyai Kafabihi menyorot lirih menuju istrinya, lantas anggukan tipis menjadi satu-satunya tanggapan yang ia berikan.

"Besok Abah jadi ke Jakarta?" tanya Ummi Nafis memecah hening yang melintas beberapa detik lalu. Ia teringat soal undangan untuk suaminya dari istana negara. Undangan untuk memimpin do'a di sana.

"Insyaallah, Mi."

"Biha sama Ashfal, kan juga jadinya besok ke Jakarta."

Kyai Kafabihi menoleh. Keningnya berkerut. "Loh, bukannya mereka berangkat hari selasa?"

"Ndak jadi, Bah. Acara nikahannya, kan hari Selasa, jadi biar bisa istirahat dulu di hotel."

"Oh."

Setelah itu, keheningan kembali menjalar di udara. Pendaran rembulan berlarian di helaian rambut putih Sang Kyai. Udara malam menelisik di sela pori-pori.

"Aku mau istirahat dulu, Mi."

Setelah menepuk pelan pundak Ummi Nafis, Kyai Kafabihi mendorong kursinya kemudian menyeret langkahnya memasuki rumah, menuju kamar.

Ummi Nafis hanya mengawasi kepergiannya dalam diam. Beliau tahu betul badai macam apa yang tengah berkecamuk di dada suaminya itu.

Setelah acara perayaan Maulid Nabi di Al-Dalhar malam itu, Kyai Kafabihi benar-benar menemui anaknya Kyai Badri. Ummi Nafis melihat dengan haru bagaimana Kyai Kafabihi memeluk pemuda itu dengan erat. Seolah tengah melepas rindu dengan sahabat paling dicintainya.

Pertemuan itu tak lama, karena begitu pemuda itu memberi tahu jika Kyai Badri sudah meninggal, Kyai Kafabihi terlihat shock.

Bahkan sepanjang perjalanan pulang ke Surabaya, Kyai Kafabihi hanya diam. Ummi Nafis berulang kali berusaha menguatkannya.

Kejadian itu sudah berlalu hampir seminggu yang lalu. Namun kesedihan di wajah Sang Kyai tak kunjung hilang.

Suatu malam, Kyai Kafabihi tiba-tiba berkata pada Ummi Nafis.

"Aku ingin sekali menunaikan janji dengan Badri itu, Mi. Tapi bagaimana, aku udah terlanjur menyetujui permintaan Bu Nyai Fatma. Ndak mungkin aku membatalkannya."

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now