Bab 3. Sang Penolong

1.4K 168 10
                                    

Selepas ashar, seperti permintaan dari Bu Nyai Fatma, Ning Una sudah selesai memanaskan motor matic-nya yang terparkir di halaman komplek Sayyida Al-Hurra.

"Mau keluar, ya, Ning? nitip sego kucing ikan teri-nya angkringan tenda biru, sih." Tsania mencuat dari balik lawang aula dengan mimik muka sedikit memelas.

"Ning Una mau nganter Ibu, mbok?" Retno santriwati dari Cilacap yang menyahut.

Una mengulum senyum.

"Eh iya po? Ya, wis gak jadi, deh." Tsania nyengir, minta maaf lalu kembali ke dalam aula dengan langkah cepat.

Tak berselang lama, Bu Nyai Fatma keluar dari ndalem. Menyapa Una, lantas mengajaknya berangkat.
Di atas motor, beliau berbisik. "Mbok sekalian beli lauk buat nanti malam."

Una tersenyum di balik kaca helmnya."Nggih."

Bu Nyai sudah hafal betul kebiasaan santri-santrinya yang kalau sore suka mencari lauk buat makan nanti malam. Mengingat santri putri tidak boleh keluar dari pondok selepas Maghrib, kecuali karena beberapa alasan seperti pulang kuliah kemalaman, ke puskesmas dan hal lain yang urgent.

Di sepanjang jalan depan pesantren yang dipenuhi berbagai macam toko, warung makan sampai angkringan, sudah mulai berseliweran santri baik putra maupun putri.

Ada yang jalan kaki, ada juga yang naik motor. Una mengenali beberapa santri putri yang memakai jas warna biru dongker.

Jasnya komplek tahfidzh putri Asiyah.

Ah, hampir tiap komplek pesantren memiliki seragam almamater-nya sendiri. Namun, hanya beberapa komplek yang memang selalu kompak, tiap keluar pakai seragamnya.

Komplek Sayyida Al-Hurra punya jas warna hijau army, dan mereka juga selalu kompak memakainya tiap keluar. Tapi kali ini, Una tidak mengenakannya karena sedang dijemur.

Ada puluhan komplek di pesantren Al-Dalhar, dan setiap komplek dipimpin oleh pengasuhnya masing-masing.

Kompleknya juga bermacam-macam. Mulai dari komplek santri SMP, SMA, Mts, MA. Ada juga komplek Takhasus, mahasiswa, Tahfidhz, salaf, dan lain-lain.

Dengan pimpinan tertinggi pesantren sekarang yakni Mbah K.H Manan Dalhar Al-Hafidhz (putra bungsu pendiri pesantren) berada di madrasah Huffadzh 1. Komplek paling prestisius, dan terletak di pusat, bersebelahan dengan masjid Jami'.

Pusatnya para santri penghafal Al-Qur'an terbaik di pesantren yang sanadnya sampai ke Rasulullah saw.

Sanad Al-Qur'an dan Qiro'ah sab'ah di Al-Dalhar jelas, akarnya dari K.H Munawwir Krapyak, yang merupakan satu-satunya kyai yang memiliki sanad tersebut di Indonesia.

"Ke ATM dekat alkid, aja, kalau, gitu," saran bu nyai Fatma.

Karena beberapa ATM terdekat penuh, mau tak mau harus mencari ATM lain menuju ke arah alun-alun kidul.

Sepanjang jalan, bu nyai bercerita tentang banyak hal, mulai dari jalanan yang sekarang dipenuhi toko, padahal zaman dulu sepi banget. Sampai cerita tentang kisah masa muda abahnya Una, yang pada akhirnya membawanya pada kisah seorang yang tak terpisahkan darinya, yakni Badri.

"Sayangnya, baik aku maupun abahmu ndak pernah tahu lagi kabar Mas Badri semenja ia boyong. Ia seperti menghilang."

Una hanya menimpali sesekali. Kisah persahabatan Abah dengan kyai Badri itu selalu berhasil membuat Una terharu. Apalagi, Abah sering sekali menceritakan kisah itu, dan setiap kali beliau bercerita, Una selalu menemukan kesedihan dan kerinduan yang berenang di mata Abah.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening Where stories live. Discover now