chapter 6: "tipe?"

44 6 4
                                    

  Aku membereskan semua kuas, kanvas dan juga air untuk mencuci kuas. Melukis memang menyenangkan tetapi itu akan mengesalkan saat kau harus membereskan peralatannya.

Nicholas juga mencoba membantuku untuk merapikan semua kuas dan cat cat milikku. 'Pasti banyak wanita yang menginginkannya sebagai kekasih mereka' batinku.

Saat selesai, kami memilih untuk duduk di sebuah sofa. Aku menyiapkan beberapa cemilan untuk mengobrol.

"Ah ngomong ngomong, apakah anda tinggal sendiri?" Tanya Nicholas padaku. "Saya tak melihat orang lain di dalam rumah ini" lanjutnya.

"Yah, begitulah" ucapku tersenyum.
"Seluruh keluarga saya sudah meninggal..... hanya saya yang tersisa" lanjutku tenang.

"Ah, maafkan saya" ucapnya tak enak.
"Tak apa, lagipula aku sudah terbiasa" ucapku yang membuat dirinya mengangguk paham.

"Rumah ini indah" ucap Nicholas sambil melihat struktur rumah. "Sama seperti orang yang menempatinya" lanjutnya membuatku sedikit tertegun malu.

"Rumah ini tak besar" ucapku. "Ini nampak tua, usang dan ketinggalan zaman seperti pemiliknya" lanjutku.

Nicholas tersenyum lembut

"Mungkin orang lain akan berpikir seperti itu saat melihat luarnya." Ucap Nicholas lembut. "Tetapi mereka akan tau betapa nyamannya rumah ini ketika mereka menempatinya" lanjutnya membuatku diam.

"Dan sekalipun rumah ini nampak tak besar, dia tetap berdiri dengan kokoh dan tak akan tumbang hanya karena badai" ucapnya lagi.

Aku baru mau menjawab tetapi aku tersadar, bahwa ini semua bukanlah tentang rumah.

Aku terdiam dan dia tersenyum. "Anda terlalu memuji rumah saya" ucapku setelah beberapa saat terdiam. "Tidak juga, saya hanya membicarakan fakta" ucapnya

Dia kembali duduk disampingku. Jarak kami dapat dibilang cukup dekat.

"Ah karena hari sudah sore, maukah anda makan malam dengan saya?" Tanya Nicholas memecah keheningan

"Makan malam?" Tanyaku lagi. "Ya, di restoran kemarin"" jawabnya tersebut.

Aku menelan salivanku. 'Tidak! Aku harus mencari cara agar tidak makan disitu lagi!' Batinku berteriak mengingat kembali harga harga makanan itu. 

"Larie" panggil Nicholas saat aku sedang bergelut dengan pikiranku. "Anda baik baik saja?" Tanyanya khawatir karena aku tidak menjawab. 

'Itu dia!' Batinku saat menemukan sebuah cara. "Nicholas" panggilku 

"Ya, Larie?" Jawabnya. "Daripada makan di luar, bagaimana jika kita makan di rumah ini?" Ucapku semangat.

"Ya? Tunggu, itu artinya anda akan memasak untuk saya?" Dia nampak terkejut. "Ya, saya akan memasak makan malam untuk anda" ucapku tersenyum

Nicholas teregun atas ucapanku. "Nick?" Panggilku namun tak ada jawaban.

'Apa aku melewati batas?' batinku tak enak. "Ah, tapi jika anda tak mau, kita bisa makan di luar" ucapku mulai berdiri. "Saya akan bersiap siap terlebih dahulu" ucapku hendak pergi.

Tapi, baru selangkah, aku merasa tanganku ditahan. "Tidak" ucapnya mulai berdiri dan menarikku ke kembali ke sofa.

"Saya akan senang jika anda mau memasak untuk saya" ucapnya dengan senyum lembut.

Aku sedikit terkesima dengan wajahnya yang terkena sinar matahari sore. 

Rahangnya yang tegas, mata sebiru langit dan rambut cokelat seperti pohon maple, hidung mancung, seolah olah dia adalah maha karya Tuhan yang paling indah.

Aku menyadari bahwa wajahnya tampak memerah dan itu sedikit mengherankan aku tetapi aku hanya berpikir bahwa mungkin itu efek senja.

"Kalau begitu, kemarilah, saya akan memasak untuk anda" ucapku dan menarik tangannya ke arah dapur.




  Dia mengikutiku dengan baik hingga kami tiba di ruang makan sekaligus dapur. 

Dapur yang tak begitu besar, dengan 4 kursi dimeja makan.

Dia menarik sebuah kursi untuk diduduki dan di saat dia duduk, dia menyadari bahwa bangku di sampingnya sangat berdebu seperti tak terjamah.

"Anda selalu memakai bangku ini ya?" Ucapnya lembut saat menyadari bahwa bangku duduknya bersih dari debu.

"Begitulah" ucapku sambil mulai mengiris bawang dan merebus daging sapi.

Aku kembali fokus dengan masakanku sedangkan Nicholas hanya diam sambil menatapku yang memasak

"Hm? Apa anda memasak Beef Bourguignon?" Tanyanya saat mencium masakan milikku.

"Ya, saya memasak itu" ucapku. Tak lama, aku mulai menyajikan olahan dari daging sapi itu, di piring miliknya dan juga milikku.

Nicholas nampak bersemangat dan hendak menyantap makanan itu. Tetapi, dia segera terhenti saat melihat diriku yang mulai membuat tanda salib dan berdoa. 

Dia segera membuat tanda salib yang sama dan berdoa bersamaku. 

Tak lama, kami selesai berdoa dan Nicholas mulai memakan makanan yang kuhidangkan.

Aku hanya tersenyum melihat dirinya yang makan dengan lahap. 'Sudah lama aku tidak makan dengan orang lain di meja ini' batinku

Di rumah yang selalu sepi ini, aku sedang tidak sendiri tetapi ditemani seseorang yang selalu menerobos masuk dalam hidupku dengan senyumnya.

"Masakan anda sangat enak" ucapnya disela sela makan.

 "Terimakasih untuk itu" ucapku tersenyum sambil mencoba masakanku yang entah mengapa selalu terasa hambar, malah terasa penuh bumbu kali ini. 

Dia tersenyum dan menikmati makanannya. "Anda sangat pandai memasak" ucapnya. "Masakan anda pasti akan laku jika anda membuka restoran" lanjutnya lagi membuat diriku terkekeh

"Biasanya makanan saya selalu terasa hambar" ucapku jujur. "Tapi entah mengapa hari ini makanannya jauh lebih baik" 

"Bahkan jika anda menyediakan makanan hambar untuk saya, saya akan memakannya dan mengatakan bahwa itu enak" ucapnya yang berhasil membuatku merona.

Aku hanya terdiam dan memakan makananku.

"Larie" panggilnya. "Ya?" Jawabku. Dia menarik nafas sebelum mengeluarkan kata kata lagi. "Bolehkah saya bertanya sesuatu?" Tanyanya.

Aku sedikit kebingungan. "Silahkan saja" ucapku.

"Apa anda.." ucapnya terjeda. "Memiliki tipe laki laki milik anda?" Tanyanya yang membuatku terkejut.

"Ya?" Ucapku terkejut.

"Seperti apa tipe laki laki anda?" Tanya dirinya sekali lagi 

Malam itu, Nicholas menanyakan pertanyaan yang akan mengubah hubungan kami yang sekarang.

A CANVASWhere stories live. Discover now