36. TIDUR NYENYAK, JIWA YANG TERLUKA

37.7K 4K 138
                                    

Tidak selamanya kamu harus pura-pura. Tapi selamanya kamu harus kuat.

36. TIDUR NYENYAK, JIWA YANG TERLUKA.

Seorang laki-laki memakai celana Chinos panjang putih tulang yang di padu dengan kaos oblong hitam serta memakai ransel hitam itu sedang berusaha mati-matian menahan tangisannya. Laki-laki itu duduk di halte yang tidak jauh dari rumah sakit. Tubuhnya di bungkukkan, dengan kepala yang di tenggelamkan di antara dua tangannya yang menumpu di atas paha.

Laki-laki itu tidak menangis. Dia hanya sedang mencoba mengubur lukanya. Dia hanya sedang berusaha melupakan rasa sakitnya. Meskipun ia tahu, semuanya mustahil.

Sejauh ini, luka lama pun, belum sembuh sepenuhnya.

Di sisi lain, dalam jarak kurang lebih lima meter, Yuda berdiri di pinggir jalan, menatap iba ke arah Putra pertamanya. Perasaan Yuda berkecamuk, hatinya terasa di tikam oleh ribuan belati tajam. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ingin sekali Yuda mendekap tubuh Legenda, mengusap air matanya, kemudian mengatakan, bahwa nanti, semuanya akan baik-baik saja. Nanti, semuanya akan kembali seperti semula. Tapi, Yuda tidak tahu, kapan hal itu akan terjadi. Rasanya, ia semakin terjebak kedalam permainan.

Kedua tangan Yuda mengepal kuat. Merasakan seperti ada dorongan untuk menghampiri Legenda. Satu langkah, sampai tiga langkah Yuda berjalan. Namun tiba-tiba berhenti, merasakan ponsel bergetar dari dalam saku celananya.

Gibran is calling...

Yuda mengedarkan pandangannya, menatap sekeliling. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada Gibran dan istrinya-Mentari yang sedang berdiri di depan mobil. Ponsel yang ada di genggaman tangan Yuda pun segera di tempelkan ke telinga.

"Pergi dari sana. Jangan mendekati Legenda."

Yuda membeku mendengar nada perintah yang terdengar tidak main-main. Tapi, Yuda tidak menghiraukan. Kakinya melangkah lagi, dorongan yang di rasakannya sangat kuat.

"Pergi, atau Legenda akan benar-benar hilang dari hidup kamu."

Yuda kembali menghentikan langkahnya. Diam tidak berkutik di tempat. Lalu, beberapa detik kemudian, Yuda paham apa maksud Gibran.

Tut...

Telepon itu di putuskan sebelah pihak. Yuda membaca pesan yang baru saja di kirimkan oleh Gibran. Tentu saja, tebakannya benar. Kemudian, ketika pandangan Yuda melihat ke arah halte, Yuda tidak menemukan Legenda di sana. Mungkin saja, laki-laki itu menaiki angkutan umum yang baru saja melaju.

𝓛𝓮𝓰𝓮𝓷𝓭𝓪

Dari dulu, hingga sekarang, bagi Legenda tidak ada tempat paling nyaman untuk pulang selain kepada Kakeknya. Meskipun raga kakeknya sudah di timbun tanah, meskipun kakeknya tidak bisa merespon setiap ucapan dan cerita dari Legenda. Tetapi, Legenda selalu merasa bahwa kakeknya selalu mendengarkan setiap keluh kesah yang di lontarkan.

Satu dari dua botol Aqua, Legenda siramkan ke atas gundukan tanah yang ada di hadapannya itu. Setelahnya, Legenda mencabut rumput-rumput serta memungut daun-daun kering yang berserakan disana.

Setelah di rasa sudah bersih, Legenda lantas berucap, "Maaf, Legenda nggak bawa bunga, kek. Tapi, rumah kakek tetep cantik, kok."

Tidak. Kali ini, Legenda tidak akan menangis lagi.

"Andai waktu itu kakek sembuh dan masih ada. Mungkin, sebagian dari dunia Legenda akan baik-baik aja."

LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang