PROLOG

184K 8.5K 243
                                    

Katanya, bumi Pasundan di ciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Katanya, bumi Pasundan di ciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Tapi, jangan pernah mau jatuh cinta di Bandung. Karena saat kamu cinta, maka kamu akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Ketika sakit, kamu akan sakit sesakit-sakitnya.

Tentang Bandung, dan seseorang di dalamnya. Bandung bukan sekedar kota, tapi juga kenangan. Bandung bukan cuma masalah geografis. Tetapi juga melibatkan perasaan.

Braga kota Bandung, menjadi saksi bisu atas garis nestapa seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun. Remaja laki-laki yang sering kali menggenggam laranya seorang diri, dan melangkah di atas lukanya sendiri.

“Aku terlahir untuk hidup. Hidup bukan untuk terluka, melainkan untuk berperan sebagai penyembuh derita orang.”

Diam, pergi, kemudian menghilang.

𝓛𝓮𝓰𝓮𝓷𝓭𝓪

Senyuman mentari menyapa bumi, menghiasi semesta di hari penuh lara ini. Suasana lapangan SMA BUANA di penuhi oleh keluh kesah siswa dan siswi yang berada di bawah paparan sinar matahari. Suara desahan dan decakan silih berganti, memenuhi ruang oksigen di area lapangan.

Setengah dari siswa yang berbaris di barisan paling belakang mengalihkan perhatiannya pada gadis yang mendadak jatuh pingsan. Saat itu, tidak ada satu orang PMR pun di sekitaran sana. Hingga akhirnya, seorang laki-laki yang sedari tadi berbaris di sebelahnya beranjak untuk membantu, memboyong tubuh gadis itu ke UKS dengan gaya bridal style.

Laki-laki yang memakai topi sekolah itu memperhatikan tiap pahatan garis wajah dari gadis yang sedang menutup mata di atas brankar UKS.

Ada rasa yang tidak bisa di jabarkan muncul begitu melihat wajah cantiknya. Pikirannya justru teringat dengan kalimat-cinta pada pandangan pertama.

Tidak lama, gadis yang sedari tadi di tunggu kesadarannya kini mulai mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan. Dia menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam pupil matanya.

“Udah siuman?” tanya lelaki itu. Sedikit basa basi untuk memulai percakapan.

“Lo siapa?” gadis itu balik bertanya. “Kenapa gue bisa ada disini?” tanyanya, lagi, seraya mencoba memposisikan dirinya untuk duduk.

“Mau di jawab pertanyaan pertama dulu, atau yang kedua dulu?”

Memutar bola matanya malas. “Terserah,” kata gadis tersebut, ketus.

“Di lapangan tadi, lo pingsan.”

Tidak ada suara beberapa detik. Sampai akhirnya, laki-laki itu kembali bersuara, “Mau kenalan sekarang?” tawarnya, sembari mengulurkan sebelah tangan kanannya.

Seorang gadis yang memakai jepit rambut bunga matahari itu menerima uluran tangan tersebut dengan perasaan malas. Dia tidak mau menghabiskan banyak waktu untuk sekedar basa-basi dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali ia lihat.

“Nama gue, Legenda Negeri Angkasa. Kelas 10 IPS 1. Lahir di bumi Pasundan, di tahun kabisat yang di awali hari Kamis dalam kalender gregorian.”

“Udah?”

“Satu lagi, ulang tahun gue, empat tahun sekali. Di tahun 2020 nanti, gue baru akan bertemu kembali dengan tanggal di mana gue lahir ke bumi.” Legenda tersenyum manis, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

“Lo?” Legenda bertanya.

“Moana,” jawabnya, masih dengan nada ketus. Moana melepaskan tautan tangannya sedikit kasar. Moana turun dari brankar, kemudian beranjak pergi meninggalkan Legenda sendirian.

“Hati gue nyangkut,” ucap Legenda sedikit berteriak. Sejenak, langkah Moana terhenti, kepalanya sedikit menengok ke belakang.

Mereka berdua sama-sama bungkam dalam durasi 5 detik. Kemudian, Moana kembali melanjutkan langkah kakinya tanpa memperdulikan Legenda lagi.

“Moana Amoura,” gumam Legenda pelan, ketika sosok Moana sudah hilang dalam jarak pandangnya. Legenda sempat membaca name tag yang menempel di baju Moana ketika gadis itu masih menutup matanya.

“Nggak ada salahnya, kan? Kalau orang jelek dan miskin kayak gue jatuh cinta?”

Legenda terdiam sejenak. Sebelum akhirnya terkekeh kecil.

“Semesta, jika berkenan, nanti bantu untuk dekat, ya?”

𝓛𝓮𝓰𝓮𝓷𝓭𝓪

Di ujung nabastala kota Bandung,
Kita bangun rasa yang tak berujung,
Lalu kita tertawa di puncak gunung,
Dan berbagi lara di bawah mendung.

“Semoga semesta ada di pihak kita, ya, Mon.”

LEGENDA: Garis Nestapa [TERBIT]✓Where stories live. Discover now