Terungkap

27 20 24
                                    

Suara burung gagak terdengar jelas di telinga Jidan. Ia membuka matanya dengan perlahan, samar-samar di lihatnya sosol Bhuvi tengah berdiri di hadapannya. Pandangan Bhuvi tertuju ke arah lain, ia menunjuk arah pandangannya tersebut. Jidan mengikuti arah yang ditunjukan Bhuvi.

Jidan menajamkan penglihatannya, tubuhnya seketika bergetar, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tak percaya denga apa yang dilihatnya.

Dua tubuh anak laki-laki tanpa pakaian terbujur kaku. Tiga ekor burung gagak tak berhenti berkicau, sesekali mereka mereka mematuk tubuh yang tak bernyawa itu. Bahkan salah satu perut anak itu kini telah robek, ususnya terlihat berantakan.

Jidan masih menutup mulutnya, ia menahan segala rasa yang ada. Perutnya mulai terpelintir, pusing, mual, air matanya mengalir begitu saja. Ia kembali bersembunyi di balik sumur ketika mendengar suara ibu panti yang mendekat.

“Huss-huss, kalian nggak kenyang apa setiap minggu makan daging, pergi sana.”

“Sudah Nyai, ayo angkat mayatnya, masukan ke dalam sumur, nanti juga burungnya pergi.” Nenek tua memegangi kaki mayat itu, menunggu ibu panti membantunya.

Bunyi tubuh mayat yang dilempar ke dalam sumur masih terdengar meski tak begitu keras, pertanda bahwa sumur tersebut tak lagi dalam dan tak ada air di dalamnya.

“Taburkan bunga saja, jangan aliri air. Kita masih punya satu gadis cantik untuk ritual malam ini. Ini cukup untuk mengembalikan masa mudaku.”

Nenek tua itu pergi lebih dulu, ia membiarkan ibu panti mengerjakan apa yang diperintahkannya. Ibu panti menuruti semua titah dari nenek tua rekan kerjanya, namun dalam hatinya ia memaki, tak rela nenek tua yang mendapatkan hadiah dari bunda untuk ritual selanjutnya.

Meski begitu, ibu panti tetap melakukan apa yang diperintahkan nenek tua, ia terlalu takut untuk memberontak, karena jika sekali saja dia menolak, maka bunda akan menjadi malaikat mautnya di esok hari.

Di sisi lain, Jidan akhirnya bisa bernapas lega setelah ia memuntahkan hampir semua makanan yang sudah dicerna sedari pagi dari perutnya.

Ia menyeka mulutnya, menatap tajam dengan sedikit kebencian bercampur amarah pada Bhuvi yang hanya diam mematung. Jidan mengepalkan tangannya, tubuhnya tiba-tiba terjatuh ketika hendak mendorong Bhuvi.

Jidan bangkit, ia kembali mendekati Bhuvi, meninjunya, tapi tak mengenai apapun. Tubuh Bhuvi berbalik, kini menghadap pada Jidan.
Jidan mengibaskan tanganya, tetapi badannya masih sama, Ia tidak bisa menyentuh tubuh Bhuvi.

“Kamu tidak akan bisa menyentuhku Jidan, aku salah satu dari mereka, tubuhku ada di dalam sana.”

“Apa, kenapa kamu nggak bisa aku sentuh, Bhuvi?

“Aku dan mereka adalah Tumbal sinar Bunda, jika kamu masih selamat setelah hari ini, jadilah saksi dan selamatkan orang yang masih bisa kamu selamatkan.” Bhuvi berbisik di telinga Jidan. Lalu dia menghilang.

Di sisi lain, tubuh seorang gadis terbaring di meja. Ia dibalut dengan kain putih dari kaki sampai dada. Hijab yang menutupi kepalanya dilepas, memperlihatkan rambut hitam berkilau meski hanya terkena cahaya lilin. Kening, alis tebal, kelopak mata, hidung mancung serasi dengan pipi chabi, bibir indah dengan warna merah muda, semua bagian wajahnya disentuh satu persatu oleh nenek tua. Sementara ibu panti hanya melihat penuh iri sembari memegangi baki berisi bunga.

“Sebentar lagi wajah cantikmu akan menjadi miliku cah ayu.” Nenek tua bergumam dan diakhiri seringaian menyeramkan.

Diambilnya baki dari tangan ibu panti, bunga yang biasanya untuk ditabur pada tanah kuburan, namun saat ini dia taburkan pada gadis di hadapannya. Mulutnya komat kamit merapalkan mantra sembari menaburkan bunga. Lalu dia berbalik, meraih baki lainnya dari samping meja. Mengambil pisau berukuran kecil, sekilas nampak seperti pisau dapur, namun tidak tumpul. Bahkan ketika mata pisau itu menyentuh kulit telunjuk keriput dari nenek tua, langsung mengeluarkan darah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 25, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tumbal Sinar BundaWhere stories live. Discover now