Bermain Detektif

27 22 5
                                    

Di pagi hari, anak-anak panti berkumpul di ruang makan. Raut wajah mereka terlihat senang dengan menu makanan yang tersaji di meja. Bisa dibilang ini menu sarapan termewah yang pernah Jidan lihat selama berada di panti.

Jidan melirik Bhuvi yang berada di sampingnya. Memberikan isyarat untuk ikut bergabung menikmati sarapan pagi bersama yang lain. Namun, Bhuvi menggelengkan kepalanya.

“Bukan karena makanan yang membuat mereka senang, menu sarapan itu pertanda bahwa Bunda akan datang.”

“Bunda?”

Jidan menatap wajah pucat Bhuvi, menunggu jawaban darinya. Sementara Ibu panti melihat Jidan hanya berdiri sembari melihat ke arah lorong, ia pun melangkah untuk menghampirinya.

“Kamu makan aja, nanti kalau Bunda datang, kamu temuin aku di belakang rumah panti, dekat sumur.”

Setelah mengatakan hal itu, Bhuvi tergesa pergi meninggalkan Jidan. Sementara Jidan masih mencerna perkataan Bhuvi, ibu panti datang menghampirinya, menuntunnya untuk makan bersama.

Setelah selesai makan, aktifitas anak-anak panti berjalan seperti biasa, kecuali Jidan dan Bhuvi menjadi mata-mata ibu panti dan nenek tua. Mereka terlihat sibuk menyiapkan sesuatu, membawa beberapa kantung pelastik hitam ke salah satu kamar.

“Ibu panti bawa apa?”

“Bunga.” Jawab Bhuvi singkat dengan nada datar sama seperti ekspresi wajahnya.

“Bunga apa?”

“Melati dan bunga kuburan.”

“Kamboja?” tebaknya. “Buat apa?” tanyanya lagi.

“Bukan, untuk Bunda dan aku.”

“Kamu suka bunga? Teteh Aurora juga suka bunga, di halaman rumah banyak macam jenis bunga, aku sering bantu teteh nyiram, soalnya teteh sibuk kerja, kalau kamu mau, nanti kalau teteh aku jemput ke sini biar dibawain.” Dengan raut wajah polosnya Jidan antusias menceritakan mengenai tanamann milik kakaknya.

Raut wajah Bhuvi masih sama, tatapannya datar. Bhuvi ingin memberitahu banyak hal mengenai rumah panti dan seluruh penghuninya, tetapi ada banyak batasan diantara dia dan Jidan. Secerdas apapun sosok Jidan, ia tetaplah seorang anak-anak yang masih memiliki sifat polos dalam menanggapi banyak hal, terlebih hal baru di tempat baru pula.

Jidan menganggap yang dia lakukan adalah sebuah permainan detektif. Menuruti setiap perkataan Bhuvi, pikirnya Bhuvi lebih mengetahui aturan mainnya di dalam permaian yang tengah mereka berdua mainkan. Jidan masih belum menyadari bahwa nyawanya juga ikut terancam.

Matahari sudah tak lagi terik, kumpulan awan mulai menyatu, seolah siap untuk menyerbu bumi dengan ribuan tetesan hujan. Sosok Bunda pun tiba, seperti biasa dia datang mengenakan setelan dres hitam lengan panjang, terlihat serasi dengan sepatu ber hak sepuluh centi yang berwarna hitam pula.

Gerimis di hari kamis, menambah aura mistis. Kali ini bunda tidak datang sendiri. Dari dalam  mobil keluar banyak anak-anak bertelanjang dada, hanya mengenakan kain putih yang melilit seperti celana, mereka mengikuti langkah kaki bunda menuju teras panti.

Hanya Jidan dan Bhuvi yang melihat mereka. Bhuvi segera menarik tangan Jidan meninggalkan ruang tamu tempat ia mengintip dari jendela kaca.

Bhuvi membawa Jidan ke sumur belakang rumah panti, ia menyuruh Jidan menutupi tubuh mereka berdua mengenakan kain putih yang kotor dengan banyak tanah merah menempel di seteiap bagian kain tersebut. Jidan tidak bertanya apapun kepada Bhuvi, dia menuruti apa yang diperintahkan, bahkan ketika hujan semakin deras menghunjam, mereka berdua tetap di sana. Duduk bersandar pada sumur dengan ditutup kain sampai Jidan tertidur.

***

Tumbal Sinar Bundaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें