Pemilik Warung

27 20 10
                                    

Sejujurrnya Mia sangat berat hati menitipkan Jidan di panti asuhan. Namun keadaan memaksanya, itu pun tak lepas dari perintah sahabatnya.

Satu hari yang lalu Mia menjemput Jidan ke Sukabumi karena kakak perempuannya--Aurora yang bekerja di rumah sakit sebagai perawat tengah diisolasi karena terpapar covid-19. Dan mereka tidak punya sodara dekat lainnya yang bisa dimintai tolong. Aurora hanya bisa mengandalkan Mia. Namun, Ia pun tidak bisa membawa jidan  tinggal di rumah kost miliknya.

Jidan  anak yang baik dan pintar, mandiri. Namun Mia tak tega meninggalkannya sendirian di rumah, ia pun takut bila Jidan tertular pada nantinya. Setiap hari Mia bekerja di sebuah perusahaan yang membuat dia bertemu dengan banyak orang, itu bisa saja membuat ia terpapar covid olehnyay. Maka dari itu, Mia menuruti Aurora untuk menitipkan sementara Jidan di panti asuhan di daerah Mia tinggal.

Aurora berjanji akan memberikan santunan ke pihak panti setiap bulannya selama adiknya Jidan tinggal di sana. Karena Aurora pikir di panti akan lebih aman, untuk sementara ia menyelesaikan tugas kuliahnya di rumah sakit sampai selesai. Alasan kena covid-19 memang benar tengah dia alami. Namun Aurora tak tega dengan Jidan, maka dengan bantuan  Mia dia melakukannya.

Mia menutup pintu gerbang panti, Ia berlari kecil menuju warung di sebrang jalan. "Numpang sebentar ya Bu."

Mia duduk di bangku pemilik warung sembari menunggu taxi online yang sebelumnya sudah ia pesan.

"Sendirian aja neng? Anaknya mana?"

Pemilik warung bertanya sembari membereskan dagangannya.

"Iya Bu." Jawab Mia sekenanya.

"Saya kira mau adopsi anak."

Mia mengerutkan dahinya, lalu dia menggelengkan kepalanya. "adopsi apaan, yang ada gue nitipin anak di panti." Batin Mia.

"Oh, kirain neng. Soalnya biasanya yang suka beli jajanan warung di sini, ngeborong,  terus pulangnya bawa anak. Kemarin tuh Dateng lagi, cantik banget orangnya neng. Putih, tinggi, kaya artis pisan pokonamah. Kirain datang lagi. Eh ternyata neng yang ke sini cuma beli coki-coki aja tadi ya?"

"Putih, tinggi, kurus, bilang aja bihun Bu." Mia kembali menanggapi dalam hati.

"Bu, saya jalan dulu ya. Makasih."

"Eh iya neng, hati-hati ya. Ibu juga mau pulang ni. Serem kalau kemaleman di sini suka denger anak bayi nangis. Padahal di panti udah nggak ada anak bayi."

Mia bangkit dari duduknya, Ia sangat bersyukur taksi online yang dipesannya sudah tiba. Mia tak nyaman berada di sana berlama-lama terlebih ibu pemilik warung yang terus bertanya sembari menutup warungnya.

Mia menatap ke arah gerbang panti sebelum masuk ke mobil. Gerbang panti terlihat kusam, Viber penutupnya robek-robek, banyak yang bolong. Matanya tertuju sudut pagar, dilihatnya sepasang mata menatap tajam dari celah pagar yang bolong.

Mia berkedip, Ia segera masuk ke mobil dan meminta supir untuk jalan. Bulu tangannya berdiri, Mia mengusap pundaknya. Mia menyadari ada yang aneh, tapi pikirnya bukan keadaan panti yang aneh mungkin dirinya yang merasa aneh karena tidak enak badan.

"Huh, semoga Jidan baik-baik saja."

***

Tumbal Sinar BundaWhere stories live. Discover now