Anak Panti Baru

35 21 11
                                    

Jidan menggenggam erat tangan Mia ketika sampai di depan pintu gerbang yang bertuliskan Panti Asuhan Sinar Bunda.

“Kenapa dek? Kamu nggak mau tinggal di sini?”

“Mau kak.”

Mia tersenyum mendengar jawaban Jidan, ia pun kembali melangkah dan mereka berdua memasuki gerbang panti asuhan tersebut.

Wanita paru baya datang menghampiri mereka. “Ada yang bisa dibantu Mba?”

“Iya bu, Saya Mia, yang menelepon kemarin prihal menitipkan adik saya di sini.”

“Oh, Mba Mia, mari masuk mba. Kita bicara di dalam.”

Mia dan Jidan mengikuti wanita tersebut, beberapa anak sedang bermain di halaman, kebanyakan anak perempuan, hanya ada dua anak laki-laki yang tengah bermain bola, usianya mungkin sama seperti Jidan, atau beda satu tahun. Mia tidak pandai dalam hal mengetahui usia seseorang, karena Jidan sendiri baru berusia 6 tahun, namun menurutnya tubuh Jidan lebih besar dari kebanyakan anak seusianya. Yang terpenting bagi Mia setidaknya ada anak laki-laki yang akan menjadi teman Jidan di panti, jadi dia bisa lebih nyaman.

Namun, pandangan dan pemikiran Jidan berbeda. Ia melihat banyak anak laki-laki di sana. Mereka menatap jidan dengan tatapan kosong.

Salah satu anak laki-laki berdiri di samping ayunan kosong, wajahnya pucat, pakainnya lusuh, celananya basah, bercucuran air, anak laki-laki itu melambaikan tangannya. Sontak jidan melepaskan genggaman tangannya dari Mia, berniat untuk membalas lambaian tangan anak laki-laki itu.

Anak lelaki itu tersenyum, lalu berbalik dan berjalan ke arah belakang rumah panti. Jidan berhenti melangkah, ia hendak mengubah arah langkah kakinya untuk mengikuti si anak lelaki itu.

“Dek, Nanti aja mainnya, kita masuk dulu ya.” Mia langsung menarik tangan Jidan dan membawanya menaiki anak tangga depan teras rumah panti.

Setelah dipersialhkan masuk oleh ibu panti, mereka bertiga duduk di kursi saling berhadapan, sementara Jidan duduk di samping Mia. Berselang beberapa detik seorang Wanita tua datang membawakan teh untuk mereka, seolah sang tuan rumah tau akan kedatangan tamu, tanpa menungu langsung diberikan minum.

“Ibu, anak-anak di sini tidak banyak, apakah sedang ada kegiatan di luar atau memang sedikit ya bu?” Mia memberanikan diri bertanya karena dipikirannya panti asuhan seperti yang dia tonton di film-film, banyak anak-anak bermain di halaman, atau suara bising ketika di dalam rumah.

“Iya, mba. Di sini memang sedikit anak pantinya. Allhamdulillah sudah punya keluarga baru. Anak-anak yang udah besar bekerja, dan sesekali mereka kembali untuk melihat anak-anak di sini.”

Mia menganggukkan kepalanya menandakan iya faham dengan apa yang si ibu panti bicarakan. Mia pun mengeluarkan amplop putih kepada ibu panti.

“Ibu, ini titipan dari teman saya. Kakak dari Jidan. Untuk sementara saya titip Jidan di sini. Satu atau dua bulan sampai keadaan kondusif. Saya Juga akan sering mampir ke sini untuk melihat Jidan, jadi mohon bantuannya, kalau ada apa-apa kabari saya.”

Mia menyertakan kartu nama miliknya, di sana tertera nama jelas dan nomor telpon.

“Saya terima ya mba, terimakasih banyak mba Mia. Tidakk usah khawatir, Dek Jidan di sini aman, pasti seneng dia banyak temannya. Ibu jaga seperti anak sendiri.”

Ibu panti pun bangkit dari duduknya, Iya menunjukkan kamar untuk Jidan. Mia mengantar jidan melihat kamarnya sembari membawakan tas pakaian milik Jidan.

Ibu panti membuka pintu kamar, “Ini kamar kamu Jidan, maaf ya, kamu harus berbagi dengan tiga teman kamu.”

“Iya nggak papa Bu.” Jawab Jidan dengan diakhiri senyuman.

Namun, seketika senyum Jidan hilang. Keningnya berkerut, matanya menatap tajam ke ranjang yang berada di sudut ruangan.

“Mba Mia, bisa letakan pakaian Jidan di sini.” Ibu panti membuka lemari berwarna cokelat di samping ranjang ke dua dekat jendela kaca yang memperlihatkan halaman belakang rumah panti.

“Taruh aja kak Mia, biar Jidan yang beresin.”

Mia tersenyum. Mengusap kepala Jidan, “Ra, kamu hebat, mampu mendidik Jidan yang usia sekecil ini menjadi anak baik, penurut dan sabar.” Batinnya.

“Mba Mia, bisa ikut saya sebentar, ada beberapa berkas yang harus ditanda tangani.” Ibu Panti melangkah ke   luar kamar.

Mia pun mengikuti, dan membiarkan Jidan sendiri di kamar tersebut untuk membereskan pakaiannya. “Jidan, kakak tinggal dulu ya, nggak takut sendirian kan?”

“Nggak papa kak,” Jidan menoleh ke sudut ruangan, “Jidan nggak sendirian kok.”

Jidan kembali menoleh ke arah pintu, namun Mia sudah tidak ada di sana.

***

Tumbal Sinar BundaWhere stories live. Discover now