Bhuvi?

61 25 26
                                    


“Saya mau anak itu selanjutnya.” Tunjuk seorang Wanita muda.

“Bhuvi, Bun?”

“Iya, Bhuvi. Aromanya sangat wangi, bagaimana kalau sekarang saja kubawa anak itu.” Matanya menatap nyalang, ia tersenyum miring. Lalu memasukan bunga melati ke mulutnya, mengunyah dengan rakus, merauknya, lagi-lagi dan lagi hingga wadah di pangkuannya yang berisi penuh dengan bunga melati habis seketika berpindah ke mulut wanita muda itu.

“Ampun Bunda, jangan sekarang. Bhuvi belum siap.”

Wanita muda itu bangkit. “Aku tidak mau tau, selanjutnya Bhuvi. Jika bukan dia, maka ibu panti yang menggantikannya.” Wanita muda itu menyeringai, pandangannya tak lagi tertuju pada Bhuvi. Ia menutup gorden jendela hingga membuat ruangan tersebut semakin remang, hanya cahaya lilin yang menyinari di sana. Wanita muda itu pun keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh ibu panti.

Wanita muda itu berpamitan kepada ibu panti dengan ramah, raut wajahnya begitu cerah, bersinar, siapapun yang memandangnya pasti jatuh hati. Anak-anak panti menyukainya, setiap ia datang, pulangnya selalu membawa satu anak dari panti. Membuat anak panti lainnya merasa iri, ingin diadosi olehnya. Terlebih ketika ia memberikan satu jajanan warung kepada salah satu anak panti, sudah bisa dipastikan selanjutnya anak yang menerima jajanan akan dijemput oleh wanita muda tersebut.

Namun, hanya Bhuvi yang tidak pernah tertarik pada wanita itu. Ia selalu sembunyi ketika wanita itu datang. Bagi Bhuvi, sinar Bunda tak indah, namun memancarkan aura menyeramkan, membuat ia merinding setiap kedatangganya. Mungkin bagi anak lain, Wanita yang dipanggil Bunda tersebut bak malaikat baik, namun bagi Bhuvi, wanita itu seperti malaikat maut yang akan menjemput.

Sore itu, satu anak laki-laki, tak lain adalah teman sekamar Bhuvi pergi bersama Bunda. Namun wajahnya tampak muram ketika wanita itu berbisik kepadanya.

Anak lelaki itu melihat ke arah Bhuvi yang tengah mengintip di balik jendela kaca, yang berada di ruang tamu. Bhuvi tersentak ketika menyadari ia terlihat. Bhuvi berbalik, namun tiba-tiba anak lelaki itu berada di sampingnya. Menggengamkan coki-coki kepada Bhuvi.
Bhuvi tak bisa berkata apa-apa, lidahnya kelu. Tanganya tak bisa ia lepaskan. Coki-coki itu masih berada ditangannya. Tangan anak laki-laki itupun memegangi pergelangan tangan Bhuvi.

Anak laki-laki itu menagis, ia tak mau melepaskan tangan Bhuvi, bahkan ketika lengannya ditarik paksa oleh bunda, dia hanya menangis tapi tak berkata apapun.

Ketika tangan anak itu lepas. Bhuvi berteriak, “Jangan pergi!”

***

Tumbal Sinar BundaWhere stories live. Discover now