Bab 40

38.3K 5.4K 209
                                    

Suasana di dalam club remang-remang dan sudah penuh sesak oleh tamu undangan. Interiornya terlihat mewah, didominasi warna hitam dan merah. Ada panggung di satu sisi, bar di sisi lain, meja-meja, sofa dan kursi bertebaran di sekeliling ruangan yang cukup luas itu. Musik hingar bingar menghentak, tubuh-tubuh bersimbah keringat bergoyang mengikuti alunannya. Asap rokok mengepul, gelas-gelas minuman bertebaran, pasangan-pasangan bercumbu di sudut-sudut ruangan.

Aku sering menyaksikan pesta dan kehidupan malam di café tempat Bunda bekerja. Namun segalanya terlihat begitu berbeda di sini. Lebih liar, lebih bebas, lebih segalanya. Dan tiba-tiba saja aku merasa canggung dan bingung. Aku menggenggam erat tangan Gray, takut dia akan meninggalkanku sendirian di tempat yang penuh kegilaan dunia ini.

Gray menarikku menuju bar, hampir semua orang yang kami lewati menyapanya, tapi dia hanya mengedikkan dagu, nggak berhenti untuk mengobrol atau berbasa-basi.

Suasana bar cukup ramai, tapi seorang bartender perempuan langsung menghampiri kami begitu melihat Gray. Dia cantik, berambut pirang dengan tubuh seksi. Bagian depan kaosnya menukik sangat rendah hingga mempertontonkan belahan payudaranya.

"Hi, Gray, what can I get you?" Dia menatap Gray sambil membusungkan dada dan tersenyum menggoda, seolah Gray datang sendiri dan tidak sedang menggandeng seorang gadis. Aku mulai terbiasa dengan ini. Gray punya aura yang menarik mata para wanita untuk melihatnya dan buta dengan hal lain di sekitarnya.

"What do you want to drink, Babe?" Gray menyandarkan tubuhnya di meja bar dengan posisi menyamping, mata abu-abunya fokus menatapku, sama sekali nggak melirik ke arah bartender seksi atau payudaranya yang fenomenal.

"Apa aja boleh asal nggak beralkohol," jawabku sekedarnya karena aku nggak bisa memikirkan nama-nama minuman di bawah tatapan sayu Gray.

"Virgin Mary for my girl." Gray memesan, masih sambil menatapku. Aku memutar bola, yakin dia memilih minuman itu hanya untuk menggodaku.

"Macallan twelve neat for me." Gray menambahkan.

Bartender seksi terlihat kecewa karena Gray sama sekali nggak meliriknya. Aku berusaha mengulum senyum puas yang mengancam hadir di bibirku. Berusaha mengusir perasaan teritorial yang menganggap Gray milikku. Menjadi pusat perhatian Gray rasanya luar biasa tapi ini hanya sementara. Dalam enam bulan Gray akan memusatkan perhatiannya pada perempuan lain. Ada terlalu banyak perempuan cantik dan seksi di sekelilingnya. Terlalu muluk rasanya mengharapkan dia hanya menatap pada satu perempuan selamanya.

Seseorang memanggil Gray. Dia menoleh lalu mengangkat satu tangannya sebagai sapaan.

"That's Richard, the birthday boy." Gray menjelaskan padaku.

Aku meringis. Aku nggak tahu ini ulang tahun Richard yang ke berapa, tapi dia sama sekali nggak terlihat seperti boy. Rambutnya sudah mulai menipis, perutnya buncit, walau tentu saja penampilannya perlente. Apalagi dengan dua perempuan cantik berpakaian seksi dan berdada besar yang menggandeng kedua tangannya. Apa semua perempuan di LA berdada besar?

"Apa mereka putri-putrinya?" Pertanyaanku langsung disambut kekehan pelan Gray. Aku menoleh dan melihat matanya berbinar geli.

"What?" Alisku terangkat bingung. Apa yang salah dengan pertanyaanku.

"No, mereka bukan putri-putrinya, Dee." Gray geleng-geleng kepala, tatapannya seolah mengatakan betapa naifnya aku.

Keningku berkerut. Aku melihat Richard berjalan lalu duduk di sebuah sofa. Satu perempuan duduk di pangkuannya, sementara satu lagi duduk di sebelahnya. Tangan Richard sibuk membelai perempuan yang duduk di pangkuannya sementara bibirnya sibuk mencium bibir perempuan yang duduk di sebelahnya.

Broken MelodyWhere stories live. Discover now