PART 7

38K 7K 244
                                    

Ada yang masih bangun nggak nih? Hahaha...Selamat membacaaa...

Laki-laki itu mengangkat kepalanya, matanya masih berkabut lalu membola saat melihatku berurai air mata. Aku rasa sejenak jiwanya sempat melayang entah kemana karena baru menyadari tangisku padahal sedari tadi aku tersedu. Aku memeluk lututku semakin erat, seolah dengan begitu bisa melindungiku dari segala rasa sakit yang dilemparkan dunia padaku.

"I'm sorry...I...I...." Dia bicara terbata, kebingungan harus mengatakan apa. Mungkin sama bingungnya dengan aku sekarang.

Bagaimana mungkin laki-laki yang baru pertama kali kutemui, dalam situasi yang aneh pula, bisa membaca diriku dengan begitu tepat. Bisa menembus lapisan-lapisan perlindungan diri yang kubangun selama bertahun-tahun ini dan melihat langsung ke dasar hatiku terdalam.

Rasanya aku nggak sanggup lebih lama lagi berhadapan dengan mata abu-abunya, maka aku melangkah menuju kamar mandi. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Mataku merah dan sembab, wajahku pucat, pipiku basah dan rambutku berantakan. Secara keseluruhan, aku terlihat kacau. Sama kacaunya dengan hatiku.

Aku menghela napas, mencuci mukaku, menyisir rambutku dengan jemari lalu melangkah keluar dari kamar mandi. Sangat berharap laki-laki itu sudah pergi hingga aku bisa menganggap segala hal yang terjadi malam ini hanya mimpi.

Tapi tentu saja dia masih ada di sana, duduk di atas tempat tidur, dengan punggung bersandar di kepala tempat tidur. Terlihat santai dan nyaman, seolah sudah terbiasa melakukannya. Mungkin dia memang sudah terbiasa.

Aku yakin ini bukan pertama kalinya dia masuk ke kamar ini dan duduk di sana, di atas tempat tidur. Bersama Livia. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menangis seperti tadi di depan pacar Livia? Untuk sesaat aku bahkan lupa dia ada di sini untuk Livia. Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatapnya serius.

"Livia nggak ada di sini, dia.."

"Kenapa kamu menangis?" Suara berat laki-laki itu memotong ucapanku. Mata abu-abunya menatapku lekat.

"Bukan urusan kamu. Listen, lupakan saja apa yang terjadi malam ini, okay? Anggap malam ini nggak pernah terjadi. Livia ada di kamar Tessa, jadi.."

"I can't," potongnya lagi.

"Can't what?"

"Forget about tonight," ucapnya tenang.

Aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku juga nggak akan mungkin bisa melupakan malam yang aneh ini. Tapi tentu saja dia nggak perlu tahu itu.

"Gray, listen..."

"Is it weird that I like it when you say my name?" Dia bertanya dengan wajah serius.

Aku memutar bola mata. Mungkin aku harus memperingatkan Livia kalau pacarnya adalah tipe laki-laki penggoda. Tapi itu artinya aku harus bercerita tentang malam ini pada Livia. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan Jadi lebih baik aku nggak ikut campur urusan Livia apalagi tentang kisah cintanya.

"It is weird. Apa kamu nggak merasa aneh merayu wanita lain di kamar Livia, pacar kamu?" sindirku.

"Aku nggak merayu. It's the truth. Dan Livia bukan pacarku."

"Bukan? Lantas apa yang kamu lakukan di dalam kamarnya tengah malam buta dan masuk lewat jendela pula?" Mataku berpendar sinis.

"She's a friend. Kami sudah berteman sejak kecil. Rumahku ada di sebelah," jelasnya.

"Dan kenapa kamu harus masuk lewat jendela, bukannya lewat pintu depan seperti teman yang normal?" tanyaku lagi. Dia mengedikkan bahu cuek.

"Nggak ada alasan khusus. Hanya saja tadi sudah lewat tengah malam, aku yakin semua orang sudah tidur, dan aku nggak mau mengganggu. Dan...yah...ini hal biasa, maksudku, sejak kecil aku sudah biasa melakukannya," jelasnya santai, seolah memanjat masuk lewat jendela adalah hal wajar dan bukan salah satu tindakan yang melanggar hukum.

Broken MelodyWhere stories live. Discover now