4. Misteri Pembunuhan

8.4K 435 6
                                    

4.

Misteri Pembunuhan

Seorang anak laki-laki berwajah penuh mendorong kursi roda yang dia naiki melewati koridor. Setelah sampai di ujung lorong, dia mengetok pintu cokelat itu, dan tanpa menunggu jawaban, dia masuk ke dalam.

“Kamarmu berantakan sekali,” komentar anak laki-laki itu saat melihat ke sekeliling kamar yang kecil itu. Tempat tidur berlapis seprai putih terletak di atas lantai, jendela kamar yang kecil terbuka lebar dengan gorden putih melambai tertiup angin. Di atas lantai putih yang berkilat tergeletak ponsel, laptop, kamera digital, iPod, buku, berlembar-lembar foto dan kabel-kabel yang berantakan.

“Benar-benar orang pintar. Sanking pintarnya, sintingnya nggak ketulungan juga,” gumamnya melemparkan koran sore kepada Derren yang tertidur dalam keadaan terduduk disamping jendela. Kacamatanya melorot sedikit. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya.

“Apa?” Derren bergumam, masih dengan mata tertutup.

“Itu koran sore tentang berita konyol Ayah-mu lagi,” katanya mencoba menutup pintu di belakangnya, tapi sulit karena terhadang kursi rodanya.

Derren membuka koran sore itu dengan malas dan membaca judul besar koran itu: “Daris Korupsi 48,7 M”, “Kerugian Perusahaan Internasional Crystal Pertama Group”, “Daris Jadi Tersangka”, “Pendapat para Pemegang Saham Crystal Pertama Group” dan banyak judul lain.

“Ini bohong,” gumam Derren menutup korannya. “Ayahku tidak korupsi dan Crystal Pertama Group tidak rugi. Aku sudah periksa sendiri keadaan keuangan mereka. Lalu Pemegang Saham Crystal Pertama Group sejarahnya tidak pernah mau memberi pendapat,” tambahnya menopang dagu sementara matanya melihat kearah luar jendela.

“Lalu kenapa tidak kau selidiki saja?” anak laki-laki itu masih sibuk dengan pintu.

“Sudah tapi masih sedikit. Aku harus bertemu mereka secara langsung namun resikonya besar dan sangat berbahaya,” jawabnya. “Holmes, seharusnya kau bangun dari kursi roda jelek itu dan tutup pintunya sekarang juga. Pemandangan yang sangat buruk melihatmu berkutat dengan pintu. Kau kan bisa jalan, tidak lumpuh.”

Deva “Sherlock Holmes” menggelembungkan pipinya sehingga wajahnya yang penuh jadi terlihat seperti balon. Deva bangkit dari kursi rodanya dan segera menutup pintu lalu dia duduk lagi.

“Begitu kan beres,” Derren kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.

“Sejak Ayahmu dituduh sebagai tersangka, kau sama sekali tidak pernah keluar selangkahpun dari kamar ini. Kau merasa takut ya?” tanya Deva setelah sunyi beberapa saat.

“Kau tenang saja. Aku sudah ujian kok jadi aku tidak mungkin tinggal kelas. Apalagi IQ-ku juga diatas rata-rata, mana mau guru membiarkanku tetap di satu kelas. Mereka itu sangat mencintaiku,” jawab Derren pelan masih menatap keluar jendela.

Deva agak kesal melihat tingkah Derren.

“Tanpa kau katakanpun aku tahu kalau kau jenius,” gumam Deva. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Derren dan RaiWhere stories live. Discover now