Third Threat

4.9K 320 25
                                    

Warna krim adalah hal yang pertama kali memenuhi pandanganku yang buram, saat aku membuka mata. Itu adalah warna langit-langit kamarku. Pada biasanya, saat terbangun yang menyambutku adalah  kelambu rajut dengan motif detail bunga yang terpasang di tempat tidurku. Kali ini, sebuah pengecualian. Bukan dikarenakan malam sebelumnya aku melakukan perombakan besar pada kamarku, namun dikarenakan saat ini aku terbangun bukan di atas tempat tidur seperti biasanya. Melainkan sebuah lantai marmer dingin.

Sekujur tubuhku yang kaku dikarenakan berbaring pada tempat yang keras membenarkan itu.

Bukan hanya terbangun dan menatap langit-langit yang menjadi pengalamanku yang tidak biasa di pagi ini. Tapi juga tidur tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh dengan bagian bawahku, tepatnya daerah kewanitaan, dalam keadaan tidak menyenangkan.

Di mana helaian yang berwarna sama seperti rambutku yang ada di sana, menempel lekat baik satu sama lain ataupun pada bagian tubuhku yang terdekat. Menimbulkan rasa gatal tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh cairan cintaku yang menyering.

Tidak lupa dengan pecahan gelas sampanye yang harus kubersihan yang serpihan terbesar tergeletak dalam jangkauan tangan. Yang semula kupergunakan sebagai senjata untuk melindungiku dari penyelinap yang menerobos masuk rumahku.

Entah aku harus bersyukur atau tidak akan kenyataan penerorku tidak memasuki rumahku. Atau aku harus mengutukinya dengan nama-nama buruk yang aku tahu, karena meski tidak menerobos masuk ke dalam wilayah pribadiku, ia berhasil membuatku terbangun dalam keadaan tidak menyenangkan.

"Ya, memang terkutuk bajingan itu."

Berserapah, tapi aku sendiri yang melakukan hal itu merasa bahwa makian yang kulemparkan suatu hal yang dilakukan dengan setengah hati.

Dan mungkin itu benar.

Seberapa inginnya aku menyalahkan penerorku atas kondisiku saat ini, sebagian diriku yang logis, sinis dan memiliki kejujuran yang bagiku tidak pada tempatnya, terus mencemooh dan membeberkan fakta yang membuatku tidak bisa melakukan itu. Penerorku bersalah atas banyak hal. Tapi mengenai keadaanku saat ini, aku memiliki campur tangan yang sama besarnya.

Pada malam sebelumnya, di bawah ancaman, aku melakukan sebuah pertunjukan solo yang disajikan langsung untuk penerorku. Setelah orgasme pertama yang kurasakan dan menyuarakan sebuah janj—em ..., maksudku ancaman, mengenai dirinya akan meniduriku dalam waktu dekat dengan suara sintesis serak, penerorku memutuskan koneksi panggilan kami. Meninggalkanku menatap layar yang memuat halaman depan. 

Atas sebuah alasan aku tidak tahu, atau lebih tepat tidak ingin aku cari tahu. Bahkan setelah ancaman telah meninggalku dan tidak memaksa aku untuk lagi memainkan kewanitaanku sendiri, aku terus menyentuh diriku hingga serangkaian orgasme kurasakan. Membuat tubuhku lemas dan malas untuk merangkak naik ke tempat tidur meski hanya berjarak beberapa kaki.

Mengingat hal itu membuat bagian bawahku menghangat.

Aku merasakan cairan baru ikut bergabung dan melembabkan bagian yang telah menyering. Aku menurunkan tanganku. Berniat untuk menyentuh bagian yang kini terasa lembab, dengan alasan ingin memeriksa kebenaran.

Sebelum niatku berjalan sepenuhnya. Aku dikejutkan dengan suara bel yang memenuhi rumah. Jangankan untuk melakukan pemeriksaan dadakan yang bisa memberikanku rasa nikmat. Sikapku segera berubah seketika dan kalang kabut menutupi hal yang semula ingin kulakukan dan dengan liar melemparkan pandangan ke tiap sudut ruangan untuk menyambar hal paling terdekat yang bisa kugunakan untuk menutupi tubuhku yang telanjang. Beruntung, jubah mandiku yang kutanggalkan pada malam sebelumnya berada dalam jangkauan.

Aku tidak sebegitu bodoh untuk berlari dan menuruni tangga dengan keadaanku yang tidak begitu layak untuk menjawab panggilan tersebut. Hanya berjalan sedikit tergesa melintasi ruangan, mencuri pandang dari jendela untuk mengetahuiku siapa pengunjung tidak diundang yang mengganggu pagi di akhir pekanku.

BlackmailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang