Second Threat

29.8K 1.1K 142
                                    

Dengan jari yang gemetar, aku menyentuh layar ponsel. Menggeserkan ikon gagang telepon berwarna hijau, yang artinya aku—siap atau tidak—akan berhadapan langsung dengan penerorku. Meski tidak bertatap langsung.

"Ha-halooo ...," dengan terpatah juga lirih, aku mengucapkan sapaan itu, sebelum kemudian berganti menjadi sebuah seruan, "siapa ini!?" Ketakutan masih mewarnai suaraku, namun hati yang penuh tekad untuk membuka kedok siapa orang yang di balik segala ancaman dan terror yang baru saja menghantuiku, namun terasa bagai berabad-abad telah terlewat.

"Ha, ha, ha, menurutmu aku ini siapa, Bianca?"

Suara yang melantunkan pertanyaan itu, terdengar dingin, kaku, dengan segala ketidakwajaran. Membuatku seketika tahu, bahwa itu adalah suara sintetis yang dihasilkan alat penyamar suara. Mendengarnya membuat bulu kudukku meremang karena takut. Karena pikiranku seketika memproyeksikan potongan-potongan film horor. Di mana target diterror oleh penelepon misterius, yang detik kemudian sang peneror telah berada di belakangnya.

Dengan refleks aku menoleh ke arah pintu di belakangku, kemudian berganti pandangan ke arah jendela yang masih tertutup. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain selain diriku. Tapi hal itu tidak membuatku merasa aman. Malah sebaliknya, aku semakin merasa was-was.

Dengan tubuh yang bagai sebuah jelly, aku merangkak ke arah dinding dan menyandarkan diri di sana. Kemudian mengambil pecahan gagang gelas sampanye yang kujatuhkan. Menggengamnya erat-erat sebagai senjata, seakan nyawaku bergantung pada tangkai kaca yang tipis dan rapuh itu.

"Kamu sudah melihat hadiah yang kukirim?" tanya penerorku menggema dari ponsel yang masih kugenggam di tanganku yang lain, "kamu suka? Kalau aku suka sekali. Kamu terlihat sangat cantik di sana. Dengan mata sayu, pipi merona, dan mungkin eluhan manja yang keluar dari bibirku yang merayu untuk sebuah ciuman.

"Sayang, aku tidak melihatnya secara langsung ataupun memiliki rekaman kejadian. Meski di foto itu kamu cantik sekali, tapi aku ingin melihatnya adengan itu dengan mata kepalaku sendiri. Bianca, bagaimana kalau kamu memperlihatkannya padaku?"

Kemarahanku cukup tersulut saat dia menanyakan foto tidak-aman-ku yang dia kirimkan, seperti seorang yang tengah mendiskusikan rasa es krim yang baru saja dimakan dengan seorang teman. Kemudian ditambah dengan dia mengomentarinya bagai menilai sebuah karya. Lalu ditutup dengan permintaan kurang ajar serta amoral.

Persetan dengan rasa takut.

"Tunggu sampai neraka membeku!! Baru aku akan melakukan apa yang kamu minta!! Hah! Bahkan neraka membeku pun aku tidak akan melakukan apa yang kamu minta!! Sinting!! Kalau kamu mau bermimpi, aku sarankan untuk melakukannya di bawah selimut!! Dasar bajingan!!" Temperamenku yang jarang sekali muncul keluar. Semua karena orang sinting yang merupakan penerorku.

Sebelum aku melanjutkan umpatan yang sudah berada di ujung lidah, suara dari seberang sana menyela. "Kupikir saat ini neraka telah membeku dan berubah menjadi habitat bagi unicorn. Karena impianku, aku yakin akan kamu wujudkan."

"Saat kamu mati?" Rasa amarah yang belum hilang membuatku menjadi sinis dan tidak tahan untuk mengeluarkan sarkasme, atas kalimatnya yang menurutku hanya bisa dikeluarkan seorang pecandu dalam keadaan teler oleh penenang dosis tinggi.

"Ha, ha, ha .... Tidak," jawabnya. Yang meski dinadakan dengan tidak natural oleh suara sintetis, tapi aku dapat menangkap rasa gembira dalam suaranya. Seolah cemoohanku adalah sebuah hiburan baginya. "Tapi bagaimana jika foto yang kukirimkan hanyalah sebuah hidangan pembuka?

"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku memiliki foto, rekaman, bahkan berkas serta catatan-catatan nakal yang kamu tulis?"

Amarahku seketika lenyap tidak bersisa, berganti dengan rasa takut yang semulanya bersembunyi karena kalah atas kemarahanku. Tiap pangkal jariku terasa dingin, seakan darah sudah tidak lagi mengalir di bagian itu. Ketakutanku beralasan. Karena aku memang melakukan hal-hal nakal yang tidak sesuai dengan citraku sebagai gadis baik dari keluarga terpandang.

BlackmailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang