Seventh Threat

3.3K 155 7
                                    


Collin Frauken

Aku mengulang nama itu dalam hati. Tidak lupa untuk memberikan catatan pada diriku sendiri untuk tidak melupakan nama itu lagi. Terlebih jika pemilik nama merupakan adik dari teman baik Doughall dan lebih penting lagi, rekan kerjaku. Meski tidak dalam divisi yang sama.

Untuk menghilangkan kecanggungan yang tercipta di antara kami dikarenakan diriku sendiri, aku pun mengulang kembali sapaan yang sebelumnya terputus. "Apakah makan malammu menyenangkan, Collin?"

Entah karena keterkejutan atau dikarenakan ketidakbiasaanya dalam bersosialisasi, aku melihat rona merah merebak di wajah Collin bersamaan dengan selesainya kata terakhir kuucap. Yang tidak lain adalah nama pria itu sendiri.

Kali ini Collin-lah yang terbata untuk menyusun kata demi membalas ucapanku. Aku yakin reaksi itu bukan dikarenakan ia lupa akan namaku, seperti yang sebelumnya kulakukan. Tidak ingin berbesar kepala, tapi aku menaruh curiga yang membuatnya bersikap seperti itu adalah aku sendiri. Sifat narsistikku yang datang tiba-tiba tanpa diundang, membuat kesimpulan bahwa Collin memiliki rasa lebih padaku.

Dalam hati aku memutarkan mata atas pikiran tersebut, dan menahan diri untuk mengeluarkan tawa demi menertawakan diri sendiri atas kesimpulan bodoh itu. Hanya saja, situasi yang terjadi selanjutnya membuatku tidak lagi merasa asumsiku bodoh dan perlu ditertawakan.

Karena Collin seperti membenarkan hal itu dengan berkata, "Nona West, mungkin Anda tidak tahu. Tapi kita bekerja di tempat yang sama."

Jika perkataan Collin tersebut memiliki tujuan untuk melakukan teguran padaku, aku mungkin merasa sedikit tidak nyaman saat mendengarnya, namun hanya berhenti sampai di situ. Cara Collin yang mengucapkan kalimat tersebut dengan nada dihiasi oleh rasa malu dan harap, membuat siapa pun yang mendengar tahu, itu bukanlah sebuah teguran. Lebih menyerupai dengan pengingat akan suatu hal yang menghubungkan kami.

Ide gila akan halnya Collin yang kupikir diciptakan oleh sisi narsistikku, berubah menjadi sebuah intuinisi. Jika memang kali ini aku ingin tertawa, itu bukan lagi dikarenakan kebodohan atas besar kepala yang menjadi. Melainkan sebuah ironi.

Namun tentu saja aku tidak tiba-tiba terbahak dan menjadi pusat perhatian dalam sekejap serta membuat orang yang melihat mempertanyakan kewarasanku. Sebaliknya, aku mengangguk sebagai isyarat membenarkan perkataan yang sebelumnya Collin ucapkan.

"Tentu saja aku mengetahui hal itu. Kadang, aku berpapasan denganmu di kantor." Aku mengatakan itu, bukan dikarenakan sebuah basa-basi atau omongan kosong. Aku memang melupakan nama Collin, namun aku mengetahui bahwa ia bekerja dalam kantor—lebih tepatnya perusahaan, yang sama denganku.

Mengenai Collin, ada suatu hal tentangnya yang kukategorikan sebagai keanehan. Seperti citraku akan ia saat berjumpa dengan saat Collin bersama sang ayah dan kakak. Untuk seseorang dengan rupa menarik dan berambut merah, Collin benar-benar minim dalam menyatakan keberadaannya. Membuat orang lupa ia berada di ruang yang sama jika mengatakan apa pun. Tapi secara bersamaan, memberikan kesan kuat, yang membuat orang tidak lupa saat berpapasan dengannya.

Seperti keadaanku saat ini. Aku benar-benar sama sekali tidak dapat mengingat namanya, namun aku bisa dengan jelas tahu bahwa kami berkerja dalam kantor yang sama.

Aku benar-benar bersyukur Collin tidak dapat membaca pikiranku, hingga ia tidak tahu bahwa aku memikirkan suatu hal yang bisa dikategorikan sebagai tindakkan tidak sopan dengan mempertanyakan keberadaannya. Karena jika ia bisa, pastilah Collin tidak mengeluarkan senyum menawan, yang ia keluarkan sebagai reaksi atas perkataanku.

"Ha, ha, ha," Collin mengeluarkan tawa kecil yang begitu renyah sebagai pengiring dari senyuman yang sebelumnya ia keluarkan.

Aku rasa ajaib, bagaimana sebuah tindakan kecil dapat memberikan banyak perubahan. Collin yang sampai detik lalu kuanggap minimnya tanda keberadaan, kini seperti cahaya lampu yang diciptakan oleh mercusuar di tengah badai. Andai saja mataku tidak terlatih dengan senyuman Doughall yang dapat membutakan, aku mungkin sudah tersilaukan dengan senyuman Collin.

"Kamu sering berkunjung ke sini, Collin?" Aku mencoba membuka pembicaraan, tentunya dengan maksud lain yang mengiringi.

Masih dengan nada malu-malu yang mengikuti, Collin menjawab, "Iya. Kadang aku pergi bersama ayah dan kakakku, seperti hari ini. Namun lebih sering hanya dengan kakakku."

Aku tersenyum mendengar itu. Meski ingin sekali reaksiku disebabkan oleh kedekatan Collin dengan ayah dan kakaknya, namun kenyataannya lebih kepada Collin terpancing pada umpan yang kulemparkan. Tentu saja kesempatan itu langsung kuambil dengan baik. "Aku pun sama sepertimu, sering berkunjung ke tempat ini, Collin. D, ah, maksudku Doughall, sangat menyukai tempat ini dan sering membawaku ke sini."

Iya. Pertanyaanku bukanlah usahaku untuk menyambung percakapan dengan Collin, namun untuk membawa Doughall dalam percakapan kami. Meski baru beberapa menit Doughall meninggalkan kami, aku merasa perlu untuk membawa tunanganku dalam percakapan kami.

Meski aku tidak bertujuan untuk memamerkan hubunganku, namun mungkin sedikit banyak itulah yang kulakukan saat ini. Dengan sengaja, namun halus tidak ketara, aku mengingatkan Collin bahwa aku sudah memiliki tunangan yang bahkan aku merasa tidak patut untuknya.

Jika memang benar dugaanku akan Collin memiliki rasa lebih terhadapku, aku harap dengan ini ia melupakan apa yang ada di hatinya. Memang bukan hakku untuk memutuskan apakah seseorang harus berhenti akan suatu rasa yang bahkan tidak akan menjadi apa pun, namun aku akan sangat bersyukur jika Collin tahu tempatnya dalam hal ini.

Aku tidak ingin berurusan dengan Allan versi dua. Di mana pria itu tahu bahwa aku sudah memiliki tunangan, namun tidak hentinya mengirimkan sinyal ketertarikan yang bagiku salah tujuan.

"Iya, aku tahu." Collin mengatakan itu dengan senyum sendu di bibir dan mata yang menyorotkan bahwa ia mengetahui dengan baik akan aku yang bertunangan dengan Doughall. Tentu saja, jika ingatanku tidak mengecohku, Collin tahu karena ia bersama dengan sang kakak datang ke pesta pertunanganku.

Melihat itu, hatiku seperti ditusuk oleh benda tajam yang tidak kasat mata. Namun meski dengan rasa bersalah karena secara sengaja membuat pria di hadapanku berekspresi seperti itu, sedikit banyak aku merasa bersyukur.

Entah pada akhirnya Collin melupakan rasa yang mungkin ada padaku atau tidak, aku berani bertaruh bahwa ia tidak akan menjadi Allan versi dua ataupun peneror brengsek yang akhir-akhir ini mengganguku. Mengingat sosok yang tidak diinginkan, membuatku ingin menampar diri sendiri.

Hanya saja, dikarenakan tidak ingin menjadi aktraksi di lobi depan sebuah restoran, aku hanya berkata berulang kali dalam hati; Lupakan, Bianca, lupakan. Jangan biarkan malammu rusak.

Dikarenakan Collin yang mengerti akan peringatan yang kulemparkan, setelahnya aku berbincang santai tanpa beban. Meski sebenarnya pembicaraan kami berputar ke topik tidak penting, namun cukup membuatku melewatkan waktu tanpa terasa hingga akhirnya tiga orang yang sebelumnya menghilang ke ruang lain kembali.

"Hai, B, maaf membuatmu menunggu," kata Doughall yang baru saja datang.

Aku langsung mengucapkan, "Tidak masalah, D. Aku melewatkan waktuku dengan menyenangkan karena Collin menemaniku berbincang."

Tidak ada sama sekali niat untuk membuat Doughall cemburu dengan mengucapkan itu. Doughall yang dengan jelas pria berintelegensi tinggi, tentu saja mengetahui hal itu. Karena dengan santainya ia tersenyum pada Collin dan berkata, "Terima kasih sudah menemani Bianca, Collin."

Collin dengan sedikit canggung membalas, "Sama sekali bukan masalah, Tuan Atreal."

Setelah aku dan Doughall mengucapkan salam perpisahan pada ketiga pria bermarga Frauken, kami pun pergi seperti rencana kami semula sebelum Dennis mencegat kami. Saat aku akan memasuki mobil, tanpa sengaja pandanganku jatuh pada sosok Collin yang berada di depan pintu. Berdiri di sana, berpandangan denganku dengan senyum yang tidak bisa aku pahami di bibirnya.

Namun aku yang bersiap pergi, tidak berniat menelaah lebih jauh akan hal itu.


Blackmail – Seventh Threat | 09 Desember 2021

BlackmailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang