First Threat

49.7K 1.8K 159
                                    

Hal pertama yang kulakukan ketika keluar rumah adalah membuang ponselku. Lempar benda yang pernah kugunakan untuk komunikasi ke tempat sampah dengan rasa jijik, meski masih berfungsi dengan sangat baik.

Atas itu, aku harus berterima kasih kepada penerorku. Yang terus-menerus mengirimkan pesan singkat dengan isi yang dapat menyaingi suatu konten bermuatan dewasa. Suatu hal yang cabul, amoral, mesum, asusila, vulgar, dan sama sekali tidak pantas untuk dikirimkan pada gadis baik-baik sepertiku ....

Seketika baik diri juga pemikiranku terhenti. Mulutku tanpa disadari mengeluarkan desah tertahan. Yang muncul bukan karena frustrasi dengan apa yang terjadi, melainkan karena menyadari sebuah kebohongan dari apa yang tengah bergema di kepalaku. Pernyataan mengenai bahwa diriku merupakan gadis baik-baik, itu ... bukanlah kebenaran.

Aku memang berasal dari keluarga dengan latar belakang baik dan patut dengan norma serta agama. Sikapku pun berbanding lurus dengan itu. Tapi adakah seorang gadis baik-baik, merasakan suatu kesenangan yang membungkus rasa panas dalam diri, oleh suatu hal yang melecehkan?

Aku rasa tidak ada.

Dan lebih buruknya, aku yang mengatakan bahwa pesan-pesan yang dikirimkan padaku sangat menjijikkan, tidak bisa mencegah diriku untuk tidak mengintip isi. Membaca kata-kata yang penerorku pilih untuk diriku.

Tanpa bisa dicegah ketika membacanya, tubuhku memanas. Membuat tanganku memberikan sentuhan-sentuhan di sekujur tubuhku untuk menghilangkan rasa gelisah yang tidak nyaman, juga untuk mendatangkan kenikmatan.

Sambil membayangkan bahwa tangan yang kini menyentuh dadaku dan memainkan puncaknya adalah orang yang menerorku. Membayangkan bahwa jari-jari yang tengah memasuki diriku adalah miliknya. Dalam kepalaku, aku dan penerorku melakukan tarian erotis bersama. Begitu intens, seakan hidup kami bergantung pada tindakan itu.

Namun setelahnya aku merasa sangat jijik dengan tindakanku. Menyalahkan penerorku atas segalanya dan membuang ponselku seperti yang kini aku lakukan. Padahal dengan jelas, terlihat, bahwa satu-satunya yang menjijikkan dalam situasi ini adalah diriku sendiri.

___

Sebelum pergi ke tempat kerja, aku menyempatkan diri untuk membeli ponsel baru dan mendaftarkan diri untuk sebuah nomor telepon baru. Ketika aku keluar dari tempat penjualan dengan ponsel yang telah bisa digunakan, dengan segera aku mengirimkan pesan singkat pada Doughall; mengatakan bahwa ponselku hilang dan aku menggantinya dengan yang baru.

Pria yang merupakan tunanganku, yang secara tidak langsung telah kukhianati, dengan cara membayangkan diriku bercinta dengan pria lain—terlebih penerorku sendiri. Aku heran, sampai saat ini tidak ada iblis yang mewujud ke hadapanku, untuk menyeret ke dalam neraka dan mencambukiku karena telah menghianati Doughall.

Dough, pria yang baik dan terhormat. Perhatian, juga tidak pernah sedikit pun membuatku merasa rendah dengan tidak menghormati pilihanku. Seperti misalnya pada saat aku memilih mempertahankan keperawananku, karena ibuku seorang yang sangat religius berpendapat perempuan haruslah tetap perawan sampai hari di mana dia berjalan berdampingan bersama sang Ayah berjalan di sepanjang virgin road[1].

Dough menghargai keputusan itu dan sama sekali tidak mentertawakan atau mengejek pemikiran yang terlewat kaku itu. Tapi apa balasan yang kuberikan padanya? Dengan membayangkan diriku disetubuhi secara kasar dengan pria yang tidak kukenal, hanya karena pesan-pesan cabul yang kuterima.

Sepertinya cambukan tidak pernah cukup untuk aku, perempuan yang tidak tahu diuntung ini. Seharusnya, kaki dan tanganku diikat di masing-masing kaki empat ekor kerbau dan kemudian ditarik hingga tubuhku terpisah.

Tubuhku bergidik ngeri hanya dengan membayangkan itu. Langsung saya kugeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan citra mengerikan yang begitu sempurna di kepalaku. Bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk.

BlackmailWhere stories live. Discover now