Ninth Threat

3.1K 166 15
                                    

Saat Doughall mendengar kalimat undangan tersirat yang kulemparkan, ia hanya diam dan memandangku selama beberapa saat. Mungkin tindakan itu Doughall lakukan dikarenakan ketidakpercayaan dan ingin menyakinkan bahwa aku menyadari apa yang kukatakan dan implikasinya.

Aku yang tentunya sangat menyadari apa yang kukatakan, balik menatap Doughall dengan tatapan lurus penuh kenyakinan. Lalu menyarangkan sebuah ciuman di bibir Doughall untuk mempertegas hal itu. Ciuman yang kuberikan, sangatlah berbeda dengan ciuman yang sebelumnya kami hentikan. Ketidakpengalamanku dalam hal ini, kucurigai sebagai penyebab perbedaan itu.

Aku tidak menunggu Doughall untuk memberikan reaksi saat akhirnya ciuman kami berakhir. Memilih untuk menggenggam pergelangan Doughall, dan menuntunnya ke dalam rumahku. Aku beruntung Doughall berkerjasama atas hal ini. Karena aku dapat memastikan, pastilah sangat sulit untuk menyeret Doughall yang bertubuh dua puluh sentimeter lebih tinggi dariku untuk masuk ke dalam.

Di perjalan kami menuju kamarku, baik aku ataupun Doughall, tidak mengatakan apa pun. Suara jejak kami yang ringan di kesunyian, satu-satunya yang dapat didengar saat itu.

Saat kami akhirnya berada dalam kamarku, Doughall meletakkan tangannya di bahuku. Mencengkram bagian itu dengan lembut dan membalikkan tubuhku hingga aku berhadapan dengannya. Aku tidak bisa mengatakan tidak terduga, mungkin lebih tepat jika dikatakan tanpa peringatan, Doughall menciumku.

Aku tidak menolak hal itu, karena memang hal yang kuantisipasikan. Sama seperti saat kami berada di teras, aku pun mengalungkan kembali lenganku di leher Doughall. Dan membuka mulutku untuk menyambut penuh ciuman itu. Jika ada yang berbeda dengan ciuman panas yang sebelumnya kami lakukan, kali ini Doughall tidak ragu untuk melakukan eksplorasi pada bagian dalam mulutku dengan lidahnya.

Larut dalam ciuman kami, aku merasa beberapa bagian tubuhku menjadi sensitif, merespon atas apa yang terjadi dan aku merasa bagian bawah tubuhku pun melembap. Sedikit banyak aku merasa heran dengan reaksiku. Yang begitu bergairah sama halnya seperti saat berada dalam teror yang bersifat seksual, hanya dikarenakan sebuah ciuman.

Mungkin dikarenakan aku terlarut dalam suasana yang ada, mungkin dikarenakan aku merasakan stimulasi secara langsung, atau mungkin karena Doughall-lah yang melakukan ciuman ini. Lebih jelasnya, aku tidak tahu di antara hal tersebut, manalah yang bertanggung jawab atas respons yang diciptakan oleh tubuhku. Namun jika pun ketiganyalah yang menyebabkan, aku sama sekali tidak merasa heran.

Aku dan Doughall terus berciuman. Kadang bibir kami terpisah, untuk memberikan jeda yang kami gunakan untuk mengambil napas. Namun setelah beberapa helaan, bibir kami menyatu kembali seperti sejak awal tidak berpisah.

Beberapa waktu kami berciuman, aku merasakan tangan Doughall yang semula berada di pinggangku, berpindah tempat. Menjelajahi permukaan kulitku di beberapa tempat. Sampai akhirnya, jari Doughall berada di punggungku. Dengan satu gerakan lurus, yang diikuti oleh suara desiran panjang, Doughall menurunkan retsleting gaunku hingga terbuka sepenuhnya.

Doughall menghentikan ciuman kami dan menjaga jarak. Lalu dengan kedua tangannya, ia meraih bagian bahu gaun yang kukenakan dan menurunkannya. Dengan perlahan memperlihatkan pakaian dalam yang kukenakan.

Kondisi tersebut membuatku merasa panas menyerbak pada wajah dan sekujur tubuhku. Aku tidak heran jika rona merah mewarnai bagian-bagian tersebut. Otakku yang menghasilkan pemikiran sarkastik, merasa lucu atas ironi terjadi. Menganggap sikap maluku yang bukan buatan, sangatlah menggelikan.

Mengingat satu hari sebelumnya aku, dengan alasan di bawah ancaman, sepenuhnya telanjang dan memperlihatkan bagian terahasiaku pada orang yang bahkan aku tidak ketahui sosoknya. Tapi aku merasakan sekujur tubuhku memerah dengan sangat di bawah tatapan Doughall, meski pakaian dalamku masih menutupi bagian tertentu.

BlackmailWhere stories live. Discover now