Keputusan

5 0 0
                                    

-tidak semua keputusan menyakitkan adalah bentuk kebencian melainkan untuk kebaikan-Sukma.

Sudah tiga hari semenjak kejadian di coffe shop itu, dan semua telepon masuk dari Mas Abil maupun Kak Afka aku abaikan.

Tiga hari ini aku mengambil jeda dari mereka, dan untungnya Mas Abil cukup mengerti dengan tidak nekat mendatangiku ke kost. Karena sudah pasti aku akan menemuinya meskipun sedang sangat kesal.

Ponselku berdering, sebuah nama Raga tertera di layar ponsel. Aku membetulkan mukenah yang sedikit menampilkan rambut di sisi dahiku.
Kemudian ku geser tombol biru di tengah layar. Wajah tengil Raga muncul disana.

"Hai sukma, gimana udah sehat?"

Aku mendengus, mengingat aku yang sedang tidak sakit tapi Raga menanyaiku seakan-akan sebaliknya.

"Aku enggak inget kapan aku bilang sakit"

Raga tertawa renyah sambil sesekali menyuap makanan yang aku rasa adalah makanan sejuta anak kost, mie instan.

"Ya kan pikiran dan hatinya lagi enggak sehat atuh neng" jawabnya disela tawanya.

Meskipun tengil, Raga memang teman yang sangat bisa diajak ngobrol dan curhat. Tadi malam aku mencurahkan semua isi hatiku kepada Raga, dan dia dengan bijak mendengar dan memberikan saran yang sangat membantu.

Dan berkat Raga, Hari ini aku telah menemukan jawaban keputusan apa yang harus aku ambil. Dan ya Raga memang selalu punya cara membuat nyaman dan menyebalkan dalam satu waktu.

"Emm aku takut keputusan aku malah bikin keadaan tambah kacau ga" keluhku yang memang masih gamang atas keputusan yang sudah aku ambil.

"Wes talah Suk, aku wes ngomong to, iku wis sing terbaik, harus yakin!"
Jawab Raga dengan logat bahasa Jawa yang memang sesekali menjadi bahasa komunikasi kami.

"Tapi aku wedi ga, Mas Abil, Kak Afka semuanya aku sayang dan gak pengen bikin mereka kecewa"

"Ya terserah kamu sukma, gini deh sekarang yakinin hati kamu dulu, tentang keputusan kamu baru kamu hubungi mereka"

"Tapi aku jek kesel"

"Mas abil?"

"Heem"

"Ya kan aku sudah bilang, itu terserah kamu. Lagian kenapa sih kamu ini enggak bisa lepas banget sama Mas Abil itu" tanya Raga. Kulihat dia sedang menuruni tangga dan menuju dapur. Suara air dari kran yang dinyalakan cukup terdengar keras. Dan aku memilih diam sambil menunggu Raga menyelesaikan pekerjaan nya.

"Halo, Sukma kamu enggak lagi boker kan? Kok diem?"

Aku mendengus lagi, anak ini selalu punya kosa kata yang tidak pernah habis untuk membuat orang kesal. Dasar!

"Aku nunggu kamu selesai cuci piring, ya kali aku boker pakek mukenah" jawabku sedikit sewot.

Raga lagi-lagi tertawa. Kali ini cukup terbahak sampai sampai suara teriakan dari kamar sebelah cukup terdengar untuk menyuruh Raga berhenti tertawa.

"Biasa si Bugi lagi iri, gak bisa bahagia kayak aku. Oke oke jadi gimana?"

"Ya gimana, ya gitu"

"Aku enggak akan paham hanya dengan jawaban ya gimana, ya gitu. Gimana sih kamu jurusan pendidikan sastra tapi bahasanya begitu, aku kan bingung"

"Ya pokoknya aku udah kayak terikat banget sama mas Abil, dia itu yang bantuin aku, yang jaga aku pokoknya aku gak bisa jauh dari mas Abil"

"Semacam asisten pribadi?"

"Ya enggak gitu juga, pokonya aku enggak bisa jauh dari mas Abil. Simpelnya gitu"

"Kamu suka sama Mas Abil apa kak Afka itu sih, jawaban kamu menunjukkan kamu tergila-gila sama Mas Abil itu loh"

Aku terdiam, Raga enggak akan paham apa yang aku rasakan, karena kadang aku sendiri juga mempertanyakan perasaan aku yang tidak bisa jauh dengan mas Abil, tapi aku yakin Mas Abil hanyalah Mas yang aku anggap sebagai kakak kandungku sendiri. Bukan yang lain seperti yang Raga pikirkan.

"Dulu suka, tapi sekarang udah enggak. Tapi aku enggak bisa lepas dari Mas Abil karena dia udah aku anggap sebagai kakak kandungku sendiri"

"Ya enggak gitu gitu amat sukma, yang bneran saudara kandung aja enggak sampai segitunya kok"

"Yaudah sih, kok kamu yang jadi sewot"

"Bukan sewot neng tapi aku ngingetin aja, takutnya nanti kamu sakit lagi karena segala sesuatu yang berlebihan itu bakalan jadi sakit"

Aku lagi-lagi terdiam dengan pernyataan Raga, mencerna kembali kata-katanya. Kalau segala sesuatu yang berlebihan akan mendatangkan sakit, lalu apakah mas Abil akan meninggalkan aku dan menyisakan rasa sakit? Enggak enggak! Mas Abil sudah janji akan selalu ada buat aku, seperti kakak yang selalu ada untuk adiknya. Pasti!

"Woyyy! Bengong aja, tuh idung tambah gede"

"Bodo!"

Aku mematikan ponsel tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Ah Raga selalu bisa membuat darahku naik hingga kepala. Dasar manusia tengil! Amit amit jabang bayi tujuh turunan semoga enggak punya keturunan tengil. Bisa pecah ni kepala karena emosi. Agh!!!

*******

Hari ini jadwalku pergi ke Fakultas untuk menyerahkan beberapa persyaratan sidang skripsiku. Setelah dari fakultas aku sudah membuat janji dengan Kak Afka di kantin Fakultas pendidikan. Untuk itu aku segera menyelesaikan tugasku di Fakultas dan segera menuju kantin karena Kak Afka sudah ada di sana.

Aku berjalan bersama dengan Sani yang baru saja selesai bimbingan. Kami sempat bercerita sebelum akhirnya Sani pamit pulang duluan karena ada urusan. Dan disinilah aku sekarang. Di kantin Fakultas yang untungnya lumayan sepi mengingat hari ini adalah hari Jum'at. Karena biasanya hari Jum'at adalah salah satu hari efektif yang tidak seramai hari efektif lainnya.

Aku melihat dengan jelas seorang pria yang duduk di sebuah kursi panjang disebelah pojok dekat gerobak siomay Bu Dadang.

Aku memantapkan hati menghampiri kak Afka dengan perasaan gelisah dan sedikit tegang.

"Hai kak" sapaku sambil duduk di kursi yang langsung berhadapan dengannya.

"Hai Sukma" Jawab kak Afka tersenyum sambil meletakkan ponselnya kedalam saku kemeja kotak-kotak yang hari ini ia kenakan.

" Maaf ya lama menunggu, tadi masih ketemu temen" kataku jujur.

Kak Afka hanya mengiyakannya dengan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum memaklumi.

Aku tidak ingin basa-basi, jadi aku putuskan untuk langsung mengatakan tujuan mengajak kak Afka bertemu.

"Kak, Tentang tawaran kakak kemarin aku sudah putuskan..."

"Aku putuskan untuk tidak ikut kak Afka pulang ke Probolinggo, aku minta maaf"

Kulihat dengan jelas raut wajahnya yang langsung berubah masam. Aku tau mungkin aku terkesan jahat. Tapi aku sudah putuskan ini yang terbaik untuk Kak Afka dan aku sendiri tentunya.

Aku tidak mau kembali terjebak rasa, mengingat sudah dengan susah payah aku menata hati untuk kembali baik baik saja meskipun perasaan itu tidak sepenuhnya pudar.

Dan tentang orang tua Kak Afka, aku akan dengan sekuat tenaga turut mendoakan agar Ayah segera di berikan kesembuhan. Aku hanya tidak ingin memberikan harapan berlebih kepada Ayah mengingat kondisi kesehatannya sedang tidak baik, khawatir kondisi ayah akan semakin memburuk ketika tau kalau aku tidak akan pernah lagi bersama kak Afka.

Dan inilah keputusanku.
Mungkin menyakitkan untuk Kak Afka, tapi aku yakin ini adalah keputusan terbaik.

********

Haiiiiii aku balik lagi.
aku pernah ada di posisi ini, mengambil keputusan yang terkesan sangat egois. Tapi harus dilakukan.
Gimana dengan kalian? Pernah mengalami juga?

Salam cinta dari author yang sekarang lagi nunggu acara dimulai tapi tak kunjung mulai, padahal udah karet bangett 3 jam huhu.

Jangan lupa bintang pojok kiri yaa :*

DESTINYWhere stories live. Discover now