Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

847K 90.3K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 18: Who did this to her?

14.5K 1.8K 36
By storiesbyyola

AKSA

"For god's sake! Ini masih hari Senin, harus banget kita ngumpul-ngumpul sampai malam di saat besok mesti ngantor lagi?" Aku langsung menyambar ketika Lisa dan Adam sudah sampai, dengan dua tangan penuh dengan paper bag, sengaja tidak memberikan mereka kesempatan untuk menyapa. "Gue besok masih harus ngantor jam sembilan. Nggak kayak lo berdua yang cuti sampai minggu depan."

Namun, mereka sama sekali tidak tersinggung dengan keluhan yang kuutarakan. Mungkin efek setelah honeymoon ke Swiss dua minggu yang lalu, dilanjut dengan weekend getaway ke Singapura akhir minggu lalu. Lisa yang biasanya akan mengomel ketika menghadapi situasi seperti ini, justru hanya tertawa dan menjulurkan lidahnya. Seperti anak TK yang sedang meledek temannya. Malam ini, Lisa mengajak kami bertemu untuk memberikan oleh-oleh dari Swiss dan Singapura.

"Ya, kalau lo mau pulang silakan aja," imbuh Lisa setelah duduk di kursi kosong yang ada di depanku. Dia menaruh paper bag yang tadi dia bawa dan mengangsurkannya kepadaku dan Haris. "Ini oleh-oleh kalian. Yang sibuk dan mesti lembur, boleh langsung balik." Lisa menggodaku dengan alisnya yang bergerak, lalu beralih ke arah Haris. "Yang mau stay buat dinner boleh banget. Gue sama Adam yang bayar."

Haris terpukau. "Wow. Serius dibayarin?"

"Thank you." Aku cengengesan sambil meraih oleh-oleh itu, mengintip ke dalamnya. Isinya kebanyakan cokelat. I'm not a fan of chocolate. Kemungkinan oleh-oleh ini akan habis dimakan Anye dan Mama. "Kalau dibayarin, sih, gue rela stay di sini sampai pagi. Lumayan bisa dinner gratis di restoran kayak begini."

Kapan lagi bisa makan italian food gratis di restoran yang harga satu porsi makanannya setara jatah makan siangku selama dua hari?

Lisa memutar kedua bola mata, memasang wajah malas. "Pergi sana!"

"Kalau ada alasan buat stay, kenapa harus pergi?" Aku menyeringai di akhir kalimat. Beruntung kami duduk berhadapan sehingga aku tidak perlu menjadi korban dari pukulan-pukulan mautnya. "Gimana Swiss?"

"Begitu-begitu aja," ujar Adam acuh tak acuh.

"Halah!" celetuk Haris diiringi tawa bebas. "Kebanyakan di hotel, ya, daripada sightseeing? Bisa-bisanya liburan ke Swiss dibilang begitu-begitu aja. Swiss itu bukan puncak yang bisa lo kunjungi seminggu sekali."

Aku menutup wajah dengan sebelah tangan, menyembunyikan tawa yang nyaris keluar dari bibir. Wajah Lisa memerah sementara Adam terlihat salah tingkah, tapi dilihat dari cengiran di wajahnya, aku bisa menarik kesimpulan kalau ucapan Haris ada benarnya. Sedangkan Haris? Yeah, seperti biasa, laki-laki itu hanya memasang tampang tidak berdosa.

"Urusan ranjang orang nggak usah dibahas di tengah forum." Aku menegur Haris, yang seperti biasa, rem mulutnya blong. Bahkan, aku ragu mulutnya itu punya fitur rem. Bertahun-tahun berteman dengannya membuatku sadar kalau terkadang dia itu harus dikendalikan sebelum menyinggung orang lain atau memicu perang dunia ketiga.

"Kok tumben nggak lembur, Sa?" tanya Adam, mengalihkan pembicaraan.

"Proyek gue kebetulan udah selesai jadinya kerjaan nggak begitu banyak."

Aku meringis begitu mengingat minggu kemarin selalu lembur sampai pagi di kantor karena deadline semakin dekat. Seluruh timku nyaris tumbang di akhir minggu kemarin akibat proyek merger salah satu perusahaan properti yang lumayan menyita waktu.

"Pantesan bisa tenggo," gumam Adam.

"Gue juga berani lembur sampai pagi kalau uang lemburnya segede Aksa. Apalagi makan malam dan taksi di-reimburse kantor," celetuk Haris. "Apalah daya gue yang lembur sampai malam tapi uang lembur turunnya susah banget."

"Aksa kalau mau ambil KPR dengan tenor pendek juga bisa mengingat gajinya per bulan udah dua digit," komentar Adam ringan. "Belum lagi bonusnya."

Aku tersenyum kecut dan memilih tidak menanggapi mereka. Gajiku memang besar. Kantorku juga tidak pernah ragu untuk memberikan bonus atas kerja keras kami selama proyek berlangsung. Tapi, bukan berarti aku kelebihan uang. Kalau tabunganku mencukupi, tidak mungkin aku pulang pergi Sudirman-Depok setiap hari. Kalau tidak mengambil KPR, minimal aku sudah menyewa apartemen supaya tidak perlu menempuh jarak jauh untuk sampai ke kantor. Walaupun juga tidak kekurangan, ada hal-hal lain yang harus diprioritaskan daripada harus memenuhi keinginan pribadi. Seperti menabung untuk menikah, misalnya.

Ya, tapi nggak ada gunanya juga aku mengungkapkan hal itu mereka.

Jadi, biarkan saja mereka menganggapku punya banyak uang untuk dihambur-hamburkan. Siapa tahu omongan mereka bisa jadi doa tersendiri.

"Ngobrolnya di-pause dulu. Gue lapar banget belum makan," sela Lisa di tengah-tengah pembicaraan.

Lisa memanggil pelayan dan menyuruh kami segera memesan. Malam ini hanya kami berempat yang berkumpul. Kevin sedang dinas ke luar kota sementara Dinda enggan untuk mampir ke Senopati karena kantornya berada di daerah Jakarta Barat. Terlalu jauh dan malas menempuh macet di jam pulang kantor.

Di umur segini, memang susah untuk mengharapkan bisa berkumpul lengkap—kecuali di hari-hari penting. Itupun, hanya terjadi setahun sekali. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, terutama pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Sekitar sepuluh menit setelah kami memesan, seorang pelayan mengantarkan minuman kami terlebih dahulu. Lisa sibuk bercerita mengenai tempat-tempat yang mereka kunjungi selama di Swiss dan Singapura—ternyata mereka tidak menghabiskan bulan madu hanya di hotel. Adam sesekali menanggapi dan merekomendasikan kami untuk berkunjung ke negara itu juga. Entah untuk liburan atau honeymoon.

Cara Adam berbicara membuatku tersadar kalau dia sedang meledekku dan Haris—yang sampai sekarang masih belum punya rencana untuk settle down.

"Omong-omong, minggu lalu gue abis lunch sama Luna," ungkap Haris tiba-tiba.

Aku terkesiap lalu menoleh kepada Haris dengan mata yang sudah melotot, mempertanyakan apa niat terselubungnya membahas tentang Luna di depan Lisa dan Adam. Padahal dia punya banyak waktu untuk memberitahuku hal itu sebelum Lisa dan Adam datang.

Mendengar kembarannya disebut, Lisa bertanya bingung. "Kok bisa?"

"Dia punya proyek gitu sama kantor gue," jelas Haris singkat. "Ketemunya juga kebetulan banget. Dia lagi nunggu taksi di area kantor, terus udah jam makan siang, sekalian aja gue ajak lunch bareng."

"Kalian emangnya dekat?" tanya Lisa lagi.

"Lumayan." Haris menyengir. "Gue masih keep in touch sama dia setelah liburan ke Malang."

Berbeda dengan Lisa yang terkejut dengan fakta itu dan terus mengajukan pertanyaan lain mengenai kedekatan Haris dan Luna, aku hanya mendengarkan dalam diam. Tidak berkomentar apa-apa karena aku sudah tahu. Termasuk alasan tersembunyi kenapa dia melakukan hal itu.

Waktu itu, bertahun-tahun yang lalu, aku tidak ingat persis tepatnya kapan, Haris tiba-tiba mengirimkan sebuah chat kepadaku beberapa bulan setelah aku resmi berkuliah di Melbourne. Isi chat itu adalah percakapannya dan Luna melalui direct message Instagram. Tidak ada yang spesial. Haris menanyakan bagaimana kabar perempuan itu serta kesibukannya kemudian mengirim screenshoot perbincangan itu kepadaku.

Aku masih mengingat jelas pesan yang dikirimkan Haris kepadaku di antara beberapa screenshot percakapannya dengan Luna. Dia bilang, Luna asik juga buat diajak ngobrol. Pantesan lo nempelin dia mulu selama di Malang. Kala itu, untuk alasan yang tidak mereka ketahui tepatnya, aku malah membalas pesan Haris dengan sebuah kalimat tersirat: what happened in Malang, stay in Malang.

Yah... nggak perlu menjadi jenius untuk bisa mengartikan kalimat itu. Haris langsung sadar kalau hubunganku dan Luna berakhir buruk dan mulai saat itu, dia mengikrarkan diri sebagai mata-mata. Dia mulai rajin mengirimkan screenshoot percakapannya dan Luna. Meski aku sudah mengatakan hal itu tidak perlu, Haris masih bersikeras untuk melakukannya. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa Haris begitu keras kepala.

"For your information, Luna juga mau ke sini," ucap Lisa.

Kali ini, aku tersedak air putih yang sedang kuminum hingga hidungku perih. Aku batuk beberapa kali dengan tangan yang sibuk memukul dada. Lisa berseru heboh, bertanya-tanya kenapa aku bisa tersedak sedangkan Haris malah membuang wajahnya. Tapi, aku tahu itu upayanya untuk menahan tawa.

Sialan.

"Lo itu bukan anak kecil yang minum aja sampai keselek," gerutu Lisa.

Aku berdecak. "Sejak kapan ada aturan kalau yang boleh keselek itu cuma anak kecil?"

"Ya, lagian, lo aneh banget. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba keselek."

"Mana ada keselek yang direncanakan, Lisa?!"

Aku memutar bola mata dengan kesal. Ketika perhatianku beralih kepada Adam, wajahku berubah menjadi kaku. Dia menatapku lurus—agak menghunusku dengan tatapan tajam dan menelisik—membuatku sontak terdiam dengan tubuh yang tiba-tiba tidak bisa digerakkan.

Apa reaksiku tadi terlalu berlebihan dan mencurigakan?

Buru-buru aku mengalihkan pandangan. Namun, keputusan itu rupanya bukan keputusan yang tepat. Manik mataku justru menemukan sosok Luna yang sedang berjalan ke meja kami. Ketika wanita itu menyadari kehadiranku, bola matanya langsung membulat. Langkahnya sempat terhenti sebelum dia berjalan begitu pelan menuju kami.

Melihat ekspresinya, sepertinya bukan hanya aku yang tidak mengetahui perihal kehadirannya di pertemuan ini. Dia juga tampak tidak menyangka aku ada di sini. Setelah pertemuan kami dua minggu lalu di Plaza Senayan, aku tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya secepat ini.

"Hai. Udah lama?" sapa Luna kepada kami semua—terkecuali aku. Karena, dia benar-benar berusaha untuk tidak bersitatap denganku. Aku pikir, setelah pertemuan terakhir kami, Luna sudah bisa berdamai dan bersikap biasa. Tapi, sepertinya keinginanku terlalu muluk. "Maaf telat. Tadi ada kerjaan yang mesti dikelarin dulu dan macet banget."

Luna langsung berpelukan erat dengan Lisa sebelum menanyakan kabar Adam dan Haris. Sejenak, dia terdiam dengan alis yang saling bertautan. Detik selanjutnya, Luna membuatku nyaris menganga lebar ketika duduk di sampingku. Masih berusaha mencerna situasi, aku melihat kursi di samping Adam. Yang ternyata terisi oleh paper bag.

Pantas saja Luna sempat kebingungan dan mengalami pergulatan batin.

Luna pasti tidak mau duduk di sampingku, tapi di sisi lain tidak ada bangku kosong lain. Sepertinya dia tidak mau membuat semua orang bertanya-tanya dan menciptakan keributan perihal tempat duduk.

"Apa kabar, Lun?" tanyaku, sedikit kaku. "Sibuk banget, ya?"

Luna mengangguk dan menjawab seadanya. "Lumayan."

Aku sudah menyangka kalau Luna tidak akan membuat semua ini mudah. Walaupun dua minggu lalu kami mengobrol banyak, aku tahu situasi canggung seperti ini akan melingkupi kami kembali selama Luna belum mendapatkan penjelasan mengenai sikapku kepadanya tujuh tahun yang lalu. Tapi, melihatnya sekarang sudah bahagia dengan Damar, sepertinya dia sudah tidak membutuhkan penjelasan itu lagi. Bahkan, saat kami bertemu terakhir kali, dia tidak pernah menyinggung hal tersebut. Dia tidak membahas kejadian tujuh tahun yang lalu, juga tidak bertanya mengenai Amanda yang saat itu sempat makan siang bersamaku.

Aku berniat mengajaknya berbicara sebelum kuurungkan begitu melihat dia mengelus pergelangan tangannya yang memerah. Ketika pandanganku beralih ke wajahnya, aku langsung menemukan guratan kesedihan yang berusaha dia tutupi saat berbicara dengan semua orang yang ada di meja ini.

Firasatku seketika mengatakan bahwa ada yang salah dengannya. Apalagi di bawah meja, Luna terus-terusan berusaha menutupi jejak merah itu dengan menarik lengan blusnya ke bawah. Beberapa kali, dia mengelus pergelangan tangannya juga. Aku sudah hampir bersuara dan menyentuh ujung sikunya, tetapi pertanyaan yang sudah berada di ujung lidah kembali tertelan ketika Luna menoleh.

"Kenapa?" tanyanya, melirikku.

Aku menelan ludah susah payah, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa."

Aku kembali mengarahkan tatapanku ke depan sambil menghela napas.Perasaan cemas yang memenuhi benakku tidak bisa dihilangkan begitu saja mestiLuna sudah tertawa ketika meladeni cerita-cerita konyol Lisa dan Adam selama diSwiss. Lagi-lagi, aku menundukkan kepala dengan fokus yang tertuju kepadapergelangan tangan Luna. Berbagai kemungkinan terburuk sudah melintas dipikiranku. Who did this to her?

Continue Reading

You'll Also Like

556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
987K 89.1K 51
Jika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagai...
44.6K 5.6K 190
πŸ…²πŸ…ΎπŸ…ΌπŸ…ΏπŸ…»πŸ…΄πŸ†ƒπŸ…΄πŸ…³ Buku Sequel dari : 1. Trio Evil : The Seven Elemental & Mercy Geng 2. Trio Evil 2 : War, Love & Conflict 3. Ramadhan Activity (Co...
1.1M 116K 36
Tentang Dendi Paramayoga yang mencoba menjalani hidup dengan luka yang masih terbuka dan masih menyimpan rasa pada mantannya yang sudah menikah. Tent...