Destiny With Bangtan (COMPLET...

By sangneul7

34.6K 3.2K 279

TULISANNYA BERPROSES! Baca aja dulu 😁 Regina, seorang gadis biasa dengan berbagai masalah pelik yang mengeli... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
EPILOG

25

613 54 0
By sangneul7

Semilir angin musim gugur mulai berhembus dengan hawa dinginnya menusuk tulang. Menyergap kesegalah arah tanpa terkecuali. Merangsek masuk ketiap celah yang ada. Gina mulai menyilangkan kedua tangannya di depan dada guna menepis dinginnya udara. Kunciran rambut yang biasa tersemayam di kepalanya pun sudah ia lepaskan agar rambut hitam nan tebal sepunggunhnya itu dapat menutupi lehernya yang terekspose oleh udara dingin.

Ditengah gelapnya malam, berbalut piyama hijau muda serta bawahan celana abu bercorak gambar gajah Gina melangkahkan tungkainya menyusuri jalanan panjang penuh keheningan menuju kos tempat tinggalnya. Ia baru pulang dari berbelanja beberapa  stok makanan di minimarket. Awalnya Gina hanya berniat mendatangi minimarket yang terdekat saja sebab itu ia berpakaian seadanya, toh pikirnya itu tak jauh dan tak akan memakan waktu lama, namun nyatanya minimarket yang ia datangi itu justru kehabisan stok Indomie, sedang Gina menginginkan produk itu, yeah jadinya Gina harus melangkah lebih jauh dengan pakaian seadanya ke minimarket yang menyediakan sesuatu yang dicarinya.

Seperti biasa, jalanan menuju tempat tinggal Gina selalu sepi dan agak remang remang. Gina pun mulai bersenandung untuk mengusir kesunyian. Tidak buruk. Senandungnya terdengar lebih indah dari nyanyian yang biasa ia lakukan.

Tepat ketika Gina mulai memasuki belokan terakhir, ia mendadak terhenti dengan rasa kejut luar biasa. Di bawah cahaya lampu jalan yang berpendar pendar akibat korslet ataupun karena hal lainnya, seseorang mendadak muncul, meloncat keluar dari sisi jalan yang amat teramat gelap. Berdiri tepat di depan Gina, yang hanya terpisahkan dua atau tiga langkah. Penampilannya teramat aneh. Rambut acak-acakan, mantel hijau lumut kebesaran setinggi lutut, kaki telanjang serta seringai nakal yang terpatri di wajah.

Gina meneguk salifanya susah payah. Rasa-rasanya ada yang tidak beres. Dan tentu saja, belum usai keterkejutannya barusan kini pria itu kembali memberi Gina kejutan lain.

Prak

Dalam hitungan detik pria tadi membuka mantelnya dalam sekali hentakan. Kedua tangannya terentang menyibak mantel penuh percaya diri, memamerkan bagian tubuhnya yang terekspos tanpa balutan dan belang.

Gina sukses melongo dibuatnya. Katub bibirnya terbuka tatkala obsidiannya kini menangkap sesuatu yang menjuntai di antara kedua paha pria tadi.

Sial.

Apa-apaan ini?

Kirain di Indonesia saja ada yang kek gini. Dulu Gina juga pernah nemu pria gila yang seperti ini, memamerkan batang miliknya dengan wajah tertutup helm sambil duduk di atas motor agar mereka bisa dengan mudah kabur nantinya.

Ternyata di korea lebih parah lagi, lebih berani, lebih gila. Orang gilanya ngehampirin langsung di depan mata tanpa proteksi helm maupun motor.

Sungguh, hal seperti ini biasanya hanya Gina temui di drakor yang sering ditontonnya, tapi sekarang—Astaga, Gina tak percaya ini benar-benar terjadi padanya secara langsung.

Buru buru Gina memperbaiki raut wajahnya yang sempat terkejut tadi. Tidak, Gina tidak akan membiarkan pria itu melayang tinggi dengan senyum kebanggaannya itu. Gina akan buat perhitungan karena berani-berani muncul dan mengagetkannya. Gelak tawa pun Gina layangkan dalam sekejap mata, begitu nyaring di tengah sunyinya malam. Sontak membuat pria itu mengernyit bingung.

"Ahjussi igeneun mwoya?" tunjuk Gina pada benda menjuntai tadi. "Apa itu semcam tumor?" tawanya meremehkan, mengejek. (Apa itu?)

"Oh, tidak, tidak. Aku tau itu apa." Gina menggeleng kemudian tertawa lagi, perutnya ia pegang.

"Tapi, kenapa bentuknya begitu? Astaga, sudah dekil, bantet lagi," kekehnya melayangkan tatapan menilai pada benda menjuntai tadi. "Mirip kentang yang biasa kumasak saat bikin sup," sambungnya dipenuhi tawa mengejek. Tak ayal membuat Senyum kebanggaan pria itu seketika menghilang bak ditelan bumi.

"Ceogiyo, ajusshi! Ah, bukan, bukan. Harabeoji! Milikmu itu sudah tak layak lihat lagi, lebih baik kau simpan saja sendiri gak usah dipamer pamerin. Atau bawah ke salon dulu gih biar glow up dikit, direparasi gitu, soalnya udah parah banget kelihatannya," sarkas Gina. Seolah tak getir dengan apa yang dihadapinya, Gina kembali meloloskan kekehannya. (Permisi/om/kakek)

Ngeliat yang ginian mah Gina udah biasa.

"Mwo?" Pria itu akhirnya bersuara pelan, rentangan tangan penuh percaya dirinya tadi ia turunkan perlahan, lantas kembali menutup diri dengan mantelnya.

Gina menghentikan tawanya, mengatur nafasnya perlahan."Tunggu sebentar, jadi kau rupanya—pria gila yang meresahkan itu? yang bikin gadis gadis di kosku takut keluar malam. Jadi itu karena kau?" tunjuknya tanpa segan. Tak ayal memaksa pria tadi tuk beringsut mundur ketika Gina merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya.

Seakan tau apa yang akan Gina lakukan pria itu lekas berbalik dan dalam hitungan detik ia sudah berlari menjauh.

"Yakh!!! Berhenti!!!" Entah apa yang merasukinya, Gina justru ikut berlari mengejar pria itu.

"Yakh!!! Kau harus dibawa ke kantor polisi!" teriaknya selagi berlari. Terus mengejar pria gila itu yang semakin kencang larinya. Entah Gina yang kelewat berani atau otaknya yang terlampau lambat tuk berpikir, sebab yang dikejarnya itu adalah seorang pria yang gila. Bagaimana jika orang itu justru berbalik melawan dan malah melukainya? Apalagi ia sama sekali tidak bisa bela diri. Lantas mengapa ia begitu berani mengejar dan ingin menangkap pria itu?

Sungguh, Gina tidak memikirkan itu semua, ia malah terus berlari sampai akhirnya jatuh tersandung hingga lututnya terparut gratis di kerasnya aspal jalanan.

Sedangkan pria tadi sudah lepas dari jangkauan mata Gina.

"Awww..." Gina meringis kesakitan saat merasakan perih di lututnya. Celananya robek hingga terlihat jelas cairan merah kental merembes pelan. Lututnya luka, itu sudah pasti. Celana kain tipisnya yang ia beli dengan harga mahal karena serupa dengan milik Taehyung itu  tidak akan mampu menang melawan kasarnya tekstur jalanan.

***

"Yeay pulang!" seru Seokjin bersemangat. Hari ini mereka bisa pulang cepat setelah menyelesaikan syuting lebih awal, yaitu pukul delapan malam. Itu sudah terbilang cepat loh, kemarin saja mereka baru bisa pulang saat jam dua pagi dan berangkat lagi hari ini jam enam pagi.

Ketujuhnya saling jalan beriringan menuju basement. Rasa-rasanya hari ini melelahkan sekali. Mereka ingin segera tiba di dorm dan lekas beristirahat.

"Ah, aku rindu dorm," ungkap Jimin lesuh.

"Makanya kalau sudah waktu tidur yah tidur," oceh Yoongi sembari berjalan cepat mendahului yang lainnya.

"Iya, seharian ini kau menguap terus." Hoseok menimpali.

Jimin melirik ke arah Namjoon. "Ah, ini karena Namjoon hyung mengajakku me time bareng."

"Yakh Jimin-ah, aku tidak pernah mengajakmu, kau datang sendiri," kata Namjoon tak terima dirinya difitnah terang terangan. Karena memang nyatanya Jimin sendiri yang datang dan ikut bergabung ke kamar Namjoon saat ia mendengar suara aneh dari dalam kamar itu.

"Aish... hyung, kenapa kalian tidak mengajakku?" Kali ini Jungkook yang bersuara.

Namjoon mendengus pelan. "Anak kecil nggak usah ikutan, cuman bikin rusuh saja."

"Iya kau nonton Spongebob saja." Taehyung memberi saran, sedang Jungkook memberengut pasrah.

"Hyung, panggil aku kalau kau punya koleksi terbaru, eoh." Jimin mengedipkan matanya seolah menggoda Namjoon agar mau berbagi koleksinya.

Yeah, selain ngoleksi buku, bearbrick, dan musik, Namjoon juga punya koleksi yang lain.

Namjoon tidak menggubris dan terus melangkahkan kaki jenjangnya menuju basement, menyusul Yoongi yang sudah lebih dulu bersandar nyaman di tempatnya. Hingga akhirnya mobil Van yang dikendarai manajer Sejin itu melesat jauh menuju tujuan, dorm Bangtan.

Setibanya mereka di dorm, hal yang pertama mereka notice adalah Gina yang sedang duduk melantai di ruang tengah sambil mengerjakan tugas kuliahnya.

Sadar akan kehadiran penghuninya, Gina pun berdiri tuk menyapa yang juga dibalas dengan seruan sapaan dari member lainnya yang secara perlahan beranjak masuk ke kamar masing-masing.

Sedang Yoongi menghampiri Gina sesaat tuk sekedar melayangkan senyuman manis bersamaan dengan gestur tubuh yang seolah berucap tunggu, aku mandi dulu, yang kemudian dibalas anggukkan dari sang lawan, lantas kembali meniti langkah menuju kamar.

Sesaat Gina kembali mendudukan diri dan berniat melanjutkan pergelutannya bersama buku-buku, sebelum kemunculan Jungkook yang mendadak mengusiknya. Pria itu kini sudah terduduk manis di depan Gina yang hanya terpisahkan oleh meja kaca yang digunakan Gina tuk belajar.

"Wae?" Gina bertanya.

"Aniyo," jawab Jungkook dengan wajah innocent nya, lalu mulai berpangku dagu.

Gina tak ingin menghiraukan presensi Jungkook yang kini berada di depannya, tak ingin juga ambil pusing tentang apa yang dilakukan Jungkook, maupun niat terselubung apa yang dipikirkan pria itu. Gina hanya ingin menyelesaikan tugasnya secepat mungkin agar ia bisa bernafas lega sepulangnya ke kos nanti. Namun, rasanya aneh. Gina seolah tak nyaman. Firasatnya mengatakan bahwa seseorang tengah memerhatikan dirinya dalam keheningan.

Sekali lagi Gina mengangkat pandangan, menilik Jungkook penuh tanya dengan sorot tajam. Menerka nerka dalam kepala perihal keusilan apalagi yang akan Jungkook lakukan padanya.

"Mwo?" tanya Jungkook tanpa suara, posisinya masih memangku dagu, terlihat santai tanpa memperdulikan sorot tajam yang ditujukan padanya.

"Kenapa kau disini?" selidik Gina.

"Memangnya gak boleh yah aku di sini? Inikan tempat tinggalku, jadi terserah dong aku mau dimana saja."

Gina menjingkatkan bahu seolah acuh. "Yasudah terserah kau saja." Putusnya kembali memandangi juga membubuhkan beberapa goresan di tiap hamparan kertas yang ada, dengan Jungkook yang masih setia bersimpuh nyaman di hadapannya.

Gina sebenarnya bisa saja mengacuhkan presensi Jungkook ini andai saja ia bukan seorang penggemar. Ah, tidak. Meskipun Gina bukan seorang penggemar sekalipun ia tetap akan merasa kurang nyaman bila Jungkook terus menatapnya seperti itu. Gina yakin, pria itu sedang menatapnya kini. Sangat yakin. Tanpa dilihatpun Gina bisa merasakannya.

Berusaha menahan gejolak rasa tak nyaman, Gina coba fokus pada kegiatannya, akan tetapi sorot mata Jungkook yang memang kini tengah memperhatikannya menghancurkan segalanya. Gina tak kuat lagi. Segera ia  meluruskan pandangan, menyorot Jungkook dengan raut protes. "Bisa kau berhenti?"

"Apa?" Jungkook bertanya seolah tak melakukan apapun.

"Berhenti memandangiku, itu mengganggu."

Lagi-lagi Jungkook menyungging senyum licik, memang begini aslinya seorang Jungkook, jahilnya bukan main. " Kenapa? Tatapanku membuat Noona gugup yah?" tebaknya lalu terdiam sejenak.

"Ah! seoulma..." Mata Jungkook memicing penuh curiga, lalu melepaskan sanggahan dagunya dan sedikit mencondongkan tubuhnya mendekati Gina, mengikis jarak mereka yang hanya terpisahkan oleh meja kaca berukuran kurang dari satu meter itu. "Noona menyukaiku?" Suara rendah serupa bisikan halus mengalun lembut menggelitik pendengaran. Kontan membuat Gina terkesiap di tempat dengan remangan suara Jungkook yang terngiang. (Mungkinkah)

Yaampun! Pertanyaan apa sih yang Jungkook lontarkan itu? Sudah jelas Gina menyukainya, menyukai dalam artian seorang penggemar, dan Jungkook sangat tau tentang itu. Lantas untuk apa Jungkook bertanya lagi?

"Yakh, museun soriya?!" seru Gina mengelak. Raut wajahnya terlihat begitu kaku. (Apa yang kau bicarakan?)

Susah payah Jungkook menahan tawanya usai mendapati reaksi Gina itu. Lantas mengurai jarak sebelum tawanya benar-benar pecah. Sungguh, menggoda Gina rasanya seperti healing kala rasa lelah membelenggu.

"Oh, kau tidak menyukaiku rupanya. Lalu siapa yang kau sukai? Ah, tidak, maksudku, siapa biasmu?" tanyanya santai. Jungkook sangat penasaran akan satu hal ini, kendati nalarnya sudah menerka bahwa bias Gina itu Yoongi, namun Jungkook perlu mendengarnya langsung dari ranum gadis itu.

"Mwo?" Gina berucap lirih. Parasnya seketika berubah datar, blank.

"Biasmu siapa? Aku ingin tau," tuntut Jungkook mengabaikan wajah pias Gina.

"Yakh, aku ini kdrama lovers," elaknya membela diri, menyembunyikan kebenaran. Lantas mengalihkan wajah menghindari tatapan selidik Jungkook tadi.

"Baiklah, kalau begitu pertanyaannya aku ganti. Siapa yang paling Noona sukai dari kami?"

Seharusnya Gina bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah, namun entah mengapa bibirnya jadi keluh, jadi salting sendiri, lantas hanya bisa kembali menunduk, menatap fokus pada hamparan buku dan mulai berpura-pura sibuk belajar seolah tak mendengar pertanyaan Jungkook barusan.

"Noona...," panggil Jungkook menanti jawaban.

"Jangan menggangguku. Aku sedang belajar," sahutnya mengabaikan.

Tak tinggal diam Jungkook pun merampas buku yang digunakan Gina. "Jawab pertanyaan ku dulu."

"Kembalikan, Jungkook-ah," pintanya berusaha merebut.

Jungkook berdiri. "Jawab dulu baru kukembalikan."

"Haisss..." Gina mendesis, ikut berdiri guna merebut kembali bukunya dari bocah nakal tukang jahil itu.

Jungkook mengangkat tinggi tinggi buku di tangannya sembari berkacak pinggang, seolah berkata ambil saja kalau bisa.

Sumpah demi vitamin peningginya Jimin yang Gina temukan di atas nakas, Jungkook itu tinggi sekali, Gina sungguh kepayahan dibuatnya.

Mulai dari menarik narik lengan berotot Jungkook sampai meloncat loncat pun Gina tetap tak bisa menggapai bukunya. Sial. Untuk pertama kalinya Gina merutuki tinggi badan Jungkook yang menjulang bak menara Eiffel itu. Sudah tinggi, kekar lagi, Gina mana bisa menang, dan emang gak pernah menang sih. Kendati demikian kata menyerah belum tertangkup dalam benaknya kini, hingga ia kembali bergelayut di lengan Jungkook sembari meloncat-loncat. Sekat tipis yang ada tak lagi dihiraukan.

Jungkook pun kini asik memindah mindahkan buku itu dari tangan kiri ke kanan. Apalagi kalau bukan mempermainkan Gina. Wajahnya mengukir senyuman lebar, menampilkan gigi kelincinya yang berhasil meloloskan kikikan kecil tatkala maniknya mendapati raut kesal Gina yang masih berusaha menggapai bukunya.

"Akh..." Semuanya seketika terhenti tatkala Gina meringis sembari memegang tungkai bawahnya secara mendadak. Tak ayal membuat Jungkook terkesiap dengan sorot heran juga rasa khawatir yang mulai menyambangi benaknya sewaktu raut wajah Gina berubah bak sedang menahan sakit.

Beriring rasa perih yang menginvasi lututnya, Gina pun memilih kembali mendudukan diri di lantai guna memeriksa luka yang didapatnya semalam, sewaktu mengejar orang gila.

"Wae geurae?" Jungkook masih terpaku di tempatnya sampai akhirnya ia melihat Gina menggulung celana yang perlahan-lahan menyingsing hingga lutut dan memperlihatkan balutan perban yang sudah berubah warna menjadi merah. (Ada apa?)

Tak perlu menunggu detik berganti Jungkook lantas melengos pergi secara tiba-tiba dan kembali membawa sesuatu di tangannya. Lekas menghampiri Gina yang perlahan mulai menurunkan kembali gulungan celananya.

"Jungkook-ah..." Gina terpekur kala Jungkook tiba-tiba mengambil alih dengan menggulung celananya kembali hingga memperlihatkan balutan perbannya lagi.

"Bukankah perbannya harus diganti?" Jungkook menyorot serius ke arah Gina, begitu pun dengan nada suaranya yang terdengar tegas. Lantas jemarinya berganti tuk membuka kotak P3K yang diletakkan di sisinya.

"Tidak apa Jungkook-ah, aku bisa menggantinya di kos nanti," tolaknya ramah sembari berusaha menutupi lukanya kembali.

"Jangan bergerak!" sanggah Jungkook mengacuhkan kalimat Gina barusan. Kini jari jemarinya bergerak perlahan membuka plester yang membalut.

"Biar aku yang melakukan---"

"Noona diam saja!" Jungkook menyela tegas tanpa mengalihkan pandangan dari kesibukannya kini. Dan Entah mengapa Jungkook mendadak mendominasi segalanya. Kalau sudah begini Gina pun tak berani bersuara, memilih menutup rapat katup bibirnya dengan seluruh atensi menyorot heran pada Jungkook yang dengan telaten menggangti perban lukanya.

Wait! Jungkook mengganti perban lukanya? Astaga, keburuntungan apalagi ini? Apa ini bayaran atas kejadian yang menimpanya semalam? Atau mungkin pertanda kalau ia akan mendapat kesialan lagi setelahnya? Karena Gina percaya, tidak ada yang cuma-cuma dalam hidupnya sekarang.

Dan juga, bagaimana bisa seorang Jungkook melakukan ini? Maksudnya, Jungkook itu jahil dan Gina begini karena ulah kejahilan Jungkook tadi. Jadi, apa iya Jungkook berniat menjahilinya lagi? Ah, atau mungkin Jungkook sadar diri dan melakukan ini sebagai bentuk rasa bersalahnya?

"Awww..." Gina kembali meringis tatkala Jungkook mengusapkan kasa yang telah dibasahi cairan rivanol pada lukanya yang berukuran sebesar uang koin itu.

Gina ingin berprasangka buruk bila Jungkook melakukan itu dengan sengaja untuk menjahilinya, namun setelah ringisannya tadi usapan Jungkook berubah memelan, lebih lembut, Jungkook bahkan meniup niup agar perihnya tak begitu terasa saat kasa menyentuh luka.

Astaga, seketika Gina merasa telah menjadi orang paling jahat sekarang.

Helaian demi helaian kasa silih berganti mengusap luka Gina. Kini obat merah Jungkook bubuhkan pada luka tersebut tanpa mengeluarkan sedikit pun suara.

Selagi Jungkook fokus mengobati lukanya, Gina justru terpana akan laku Jungkook sekarang. Kedua maniknya memandangi Jungkook lekat-lekat dengan binar kekaguman. Dan entah bagaimana hatinya menghangat detik itu juga, beriring degupan jantungnya yang kian meningkat. Apa ini pengaruh dari lukanya yang perih lantas mendistraksi kerja jantungnya? Atau justru karena Jungkook?

"Selesai,"  kata Jungkook memburai lamunan. Tanpa Gina sadari ternyata Jungkook sudah selesai mengganti perban lukanya, hasilnya begitu rapi, Gina tak tau Jungkook handal juga rupanya.

"Ah, gumawo." Gina berucap sungkan.

Jungkook tak membalas, justru sibuk membereskan alat-alat P3K yang digunakannya tadi, sampai akhirnya Jungkook memanggil lirih, "Noona..." Ada jeda beberapa saat ketika Jungkook mengangkat pandangannya dan menatap Gina penuh sirat tak terbaca. "Jangan sampai terluka lagi," tuturnya tiba-tiba.

"Mworago?" Gina bukannya tidak dengar, hanya saja ia ingin memastikan rungunya tidak salah menangkap kalimat pacu jantung yang didengarnya tadi.

"Aku bilang jangan sampai terluka lagi. Karena kalau Noona terluka, nanti tidak ada lagi yang bisa kujahili," jelas Jungkook.

Pernyataan itu sukses membuat Gina memberengut tak senang, udah kegeeran duluan sih, pikirnya Jungkook mengkhawatirkan nya, eh tau-taunya cuman takut kehilangan mangsa. Memang salah Gina berpikiran begitu, memangnya dia siapa hingga pantas dikhawatirkan Jungkook?

"Cih, dasar!"

***

Layar ponsel Gina menampilkan pukul sepuluh malam saat dirinya turun dari taksi yang mengantar kepulangannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Yoongi.

Iya, Yoongi.

Tepat kala Jungkook selesai mengganti perbannya, mendadak Yoongi muncul dan menemukan Gina masih berselonjor cantik dengan balutan luka yang terekspos. Yoongi jelas khawatir dan itu wajar. Lantas menanyai Gina perihal apa yang terjadi. Setelahnya berakhir memesankan Gina taksi untuk mengantar pulang, karena hanya itu yang bisa dilakukannya.

Setibanya, Gina harus bersusah payah lagi melangkahkan kaki menaiki tangga tuk sampai di kamarnya yang berada di atap.

"Gina-ya!" seru Eunjo menyambut dengan piyama Shooky yang dia kenakan.

"Kau belum tidur?" Gina melangkah pelan menghampiri Eunjo yang terlonjak dari dudukannya di kursi berbentuk meja makan yang sering mereka gunakan.

"Sedikit lagi, aku menunggumu," jawabnya antusias.

"Tumben, biasanya sudah ngorok jam segini. Kenapa menungguku?"

"Aku perlu bantuan."

"Bantuan apa?"

"Besok temani aku yah," pintanya dengan wajah berseri-seri.

"Temani ke mana? Kalau kencan buta lagi aku gak mau."

Terakhir kali Eunjo minta ditemani yah itu, minta ditemani pergi ke kencan buta. Pastinya Gina menolak. Bisa berabe urusan kalau dia pergi dan ketahuan Yoongi nanti. Yoongi kan serba tahu.

"Ih bukan itu. Besok temani aku ke acara fansign," kata Eunjo bersemangat. Iya nih, Eunjo lagi hoky banget, beli satu album bisa menang fansign. Apalagi namanya kalau bukan hoky, iya nggak.

"Fansign? Wah gila. Seriusan?" tanya Gina ikutan semangat. "Tapi, fansign nya siapa? Exo? atau Seventeen?" tanya Gina kembali, mengingat temannya ini multi fandom.

"Bukan. Bukan grup. Dia penyayi solo, namanya Jackson."

Seketika wajah Gina berubah jadi pucat pasi.

"Aku tidak bisa," tolaknya langsung.

"Ahhh... Ayolah Gina." Eunjo merengek dengan mengayun-ayunkan tangan Gina.

"Aku ada kelas besok pagi." Pikir Gina acaranya pagi. Ia masih berusaha menolak dengan halus.

"Acaranya bukan pagi."

"Aku harus part time sorenya."

"Acaranya malam."

Gina tetap menggeleng. "Tidak bisa."

"Nanti kutraktir makan dua hari deh." Eunjo memberi penawaran yang sulit untuk ditolak.

"Tidak." Ternyata Gina tidak tergoda.

"Sekali ini saja, eoh?" Eunjo berusaha membujuk dengan wajah imutnya. Namun, sepertinya itu tidak berhasil. Gina tetap menggelang, menghela nafas berat, lalu memberi Eunjo tatapan yang mengatakan kalau ia benar-benar tidak bisa. "Maaf, Eunjo-ya," ucapnya.

"Baiklah." Eunjo melepas genggaman tangan Gina, menyerah, kemudian pergi meninggalkan Gina dengan perasaan sedih.

Gina hanya bisa memaku tatap pada punggung Eunjo yang perlahan mengecil dan menghilang. Bukannya tidak bisa, tapi Gina tidak mau. Itu dua hal yang berbeda bukan.

***

Hay hay hay

Jadi gimana nih?

Kurang nendang yah? Yeah emang gitu, ceritanya ringan ringan kok, gak sanggup aku nulis yg berat. Jadi pilihan ditangan anda 😉

Yowes, next chapter hint tentang masalah gina bakal terkuak, so tungguin yeah 😉

Continue Reading

You'll Also Like

244K 36.6K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
12K 613 11
tidak ada deskipsi ... langsung aja ... semoga suka
170K 14K 36
Min yoongi namja nerd yang identitasnya misterius yang tidak ada yang tau apa latar belakang min yoongi. - - - - Min Yoongi (Suga) Rank : #1 minyoo...
153K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...