Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

978K 99K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 14: I didn't have a girlfriend

18.6K 2.2K 75
By storiesbyyola

LUNA

Aku menggigit bibir, berusaha menahan berbagai emosi yang bercokol di hati untuk tidak terkeluarkan begitu saja. Kesal, kecewa, marah, senang, dan penuh antisipasi semua bercampur menjadi satu hingga aku tidak tahu perasaan mana yang lebih berat kurasakan. Bagaimana pun juga, di ruangan ini masih ada Lisa dan Adam. Aku tidak ingin rahasia yang sudah kusimpan rapat bertahun-tahun dari mereka terbongkar begitu saja karena aku tidak bisa mengendalikan diri.

Bukannya aku tidak sadar Lisa dan Adam menatapku dan Aksa bergantian, penuh dengan rasa penasaran. Namun, aku tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada mereka.

Aku membalikkan tubuh, menatap Aksa tepat di manik mata. Agar laki-laki itu sadar kalau aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Aku juga ingin membuktikan, terlepas dari apa yang dia lakukan kepadaku dulu, aku masih sanggup berdiri kokoh hingga saat ini. Masih terlihat baik-baik saja. Terlihat jauh lebih baik dari tujuh tahun yang lalu.

"Kirain lo udah lupa sama gue," ujarku dengan senyum miring. "Mengingat kita nggak pernah ketemu atau chat-an lagi setelah lo pergi ke Australia."

Untuk sejenak, Aksa terpaku. Sebelum akhirnya, laki-laki itu menarik kedua sudut bibirnya. Mengizinkanku untuk memandang lesung pipi yang tertekuk dalam setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak melihatnya lagi.

"Wow, I can't believe you are still the same person I met seven years ago. Savage Luna. I like it," sahut Aksa, berdecak beberapa kali. Seperti kagum kepadaku. Matanya berkilat penuh ketertarikan. Dia memajukan tubuhnya hingga wajah kami hanya terpisah beberapa senti. "Are you even look this beautiful seven years ago? I think you look prettier as the day goes by."

He said, I still look like the same Luna that he met seven years ago. Di dalam hati, aku bertanya-tanya, apa aku benar masih terlihat sama? Kalau jawabannya iya, maka upaya yang kulakukan selama beberapa tahun terakhir untuk mengubah diriku agar tidak kembali melakukan hal yang bodoh—seperti menyukai seseorang secepat kilat—berakhir sia-sia. Atau itu hanya basa-basinya saja? Seperti sebuah omong kosong untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau aku masih akan melihatnya dengan cara yang sama seperti dia tidak pernah menyakitiku.

"Dan lo juga masih kelihatan sama kayak tujuh tahun yang lalu," ucapku sambil melepaskan tangannya yang memegang lenganku dengan sedikit paksaan. Aku bersedekap, bersandar miring pada pintu yang masih tertutup. "Gue penasaran sih, Sa. Dengan menebar mulut manis begitu, ada berapa banyak cewek yang lo buat baper?"

Senyum di wajah Aksa seketika lenyap. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya. Tangannya disembunyikan ke dalam celana abu-abu formalnya. Bibirnya menipis. Dilihat dari gelagatnya, aku tahu dia mulai bersikap defensif karena sindiranku berhasil menyentilnya.

"Yakin mau bahas soal baper-baperan sekarang?" timpal Aksa dengan nada datar.

Walaupun pemilihan katanya sengaja dibuat senetral mungkin, aku tahu maksud sesungguhnya dari pertanyaannya. Dan aku tidak ingin membahas mengenai patah hatiku di depan Lisa dan Adam.

"Kasian, Sa, yang jadi pacar lo," tuturku, membelokkan pembicaraan. Sesekali melirik ke pasangan suami istri yang masih berdiri di tempat dan tidak malu untuk mendengar percakapan kami. "Pasti capek kalau harus dealing dengan sikap lo yang baik sama semua cewek."

"Oh, ya?" Dia menaikkan sebelah alis tebalnya. "Untung gue nggak punya pacar."

"You had a girlfriend. Seven years ago."

"Kisah lama. Udah masuk museum."

Aku memicingkan mata. "Really?"

"Apa semua omongan kita harus selalu berarah ke apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu?" tanya Aksa, tampak tersinggung. Dia melangkah maju sehingga aku mengambil langkah ke belakang. Ketika tidak ada lagi ruang bagiku untuk menjauh, Aksa menundukkan kepalanya. "Gue kira kita udah bisa berdamai. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar."

"Sebentar buat lo bukan berarti sebentar buat gue," desisku.

Aksa membuka mulutnya, seperti ingin berbicara kepadaku tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Laki-laki itu memandangku lekat sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Sorot matanya yang penuh kekecewaan itu tertuju kepadaku.

Bukannya seharusnya aku yang merasa kecewa? Setelah lama tidak bertemu, dia tidak meminta maaf ataupun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tujuh tahun yang lalu. Sikapnya yang tanpa beban itu membuatku kesal. Bagaimana bisa dia berpikir bahwa aku bisa melupakan apa yang dia lakukan tanpa penjelasan apa pun?

"Wait!" Suara Lisa yang agak melengking berhasil mengalihkan perhatianku dan Aksa. Membuat kami tersadar bahwa ruangan ini bukan hanya diisi oleh kami berdua. Lisa menatapku dan Aksa bergantian. "Ini ada apa, sih? Kalian lagi ributin masalah apa?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak ada."

"Lo kelihatan kesel banget sama Aksa," kata Lisa curiga. "Ada sesuatu, ya?"

"Nggak ada, kok!" elakku sedikit heboh. Aku memasang senyum paling manis yang kupunya lalu menyenggol lengan Aksa beberapa kali. Berharap gestur ini cukup untuk meredakan kecurigaan Lisa. "Dari dulu kita kan, emang selalu begini."

"Vibes-nya agak beda," komentar Lisa lagi.

"Beda apanya?"

"Kayak ada sesuatu yang besar terjadi di antara kalian—entah itu masalah atau apa—dan sampai sekarang belum selesai."

"Lo sadar nggak, sih, kalau lo itu jadi over dalam segala hal semenjak mempersiapkan pernikahan ini? Overthinking, overeating, overworried, semuanya di luar batas wajar," tukasku. "Kayaknya lo mesti buru-buru pergi honeymoon biar pikiran nggak ke mana-mana. Gue dan Aksa baik-baik aja. Dari dulu kita juga selalu berdebat kayak gini. Iya kan, Sa?"

Aku menyengir seraya menggerakkan alisku ke atas dan ke bawah. Aku memintanya untuk mengikuti skenario penuh dusta ini melalui tatapan mata. Untungnya, Aksa mampu menangkap bahasa isyaratku. Selang beberapa detik, Aksa mengangguk pelan.

"Dari dulu juga begini. Luna kayaknya kangen sama gue. Udah lama nggak ketemu makanya sekalinya ketemu jadi lebih emosional," gurau Aksa.

Tanpa kuduga, dia merangkulku. Walaupun aku tahu ini bagian dari akting untuk menunjukkan kedekatan kami, tetap saja aku tidak setuju dengan modus terselubungnya ini. Ada cara lain yang bisa dia lakukan tanpa perlu melakukan kontak fisik seperti ini.

Aku menggerakkan pundakku untuk mengetahui Aksa kalau aku tidak nyaman dengan apa yang dia lakukan. Alih-alih melepaskan tangannya dari tubuhku, laki-laki itu justru semakin meregup bahuku erat. Membawaku semakin mendekat ke arahnya.

"Lagian kalian itu kenapa harus lost contact, sih!" gerutu Lisa.

"Sibuk, Lis," sahut Aksa, mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.

"Makanya jangan kerja mulu!" sungut Lisa. "Gue heran kenapa orang-orang di sekitar gue gila kerja banget. Punya kembaran kerjaannya fieldwork ke luar kota mulu, pulang-pulang badannya gosong. Punya teman juga kerjaannya stay di kantor mulu sampai pagi. Semalam pas lo dapet kabar kalau nyokap masuk rumah sakit, lo pasti lagi di kantor, kan? You guys need to live a little!"

Aksa masih sibuk menanggapi ocehan Lisa sedangkan aku masih berdiri kaku di samping Aksa. Tidak tahu harus melakukan apa karena laki-laki itu masih tidak mau melepaskanku meskipun aku sudah mencoba beberapa kali untuk memberikan kode kepadanya.

Aku menghela napas. Di detik yang sama, mataku beradu pandang dengan Adam yang sejak tadi terdiam, lebih banyak mengamati. Lebih tepatnya, dia meneliti aku dan Aksa. Entah sejak kapan pandangannya itu tertuju padaku dan Aksa. Wajahnya yang datar dengan mata yang sedikit menelisik membuatku sedikit gelisah. Takut jika Adam mencium gelagat aneh kami.

"Lun," panggil Adam. Dia menaikkan alisnya. "Damar di mana? Belum datang?"

Mendengar nama laki-laki yang tiga tahun terakhir menjalin hubungan denganku itu disebut oleh Adam, aku mengerjap. Dengan sedikit gelagapan, aku melihat ponsel dan mencari pesan terakhir yang dikirimkan oleh Damar.

"Barusan dia bilang udah sampai dan lagi cari parkir," jawabku dengan senyum kaku.

Tanganku berlari ke arah tengkuk, merasa canggung. Aku melirik Aksa melalui ekor mata, penasaran dengan reaksinya. Namun, melihat Aksa yang tampak santai dan tidak terkejut sama sekali membuatku sadar kalau Aksa mungkin mengetahui kalau aku sudah memiliki pacar.

Lalu, kenapa dia seenaknya merangkulku seperti ini?

"Lepas, Sa," kata Adam. "Nanti pacarnya bisa cemburu kalau liat Luna dirangkul-rangkul sembarangan sama cowok lain."

Walaupun Adam mengatakan dengan sedikit kekehan di akhir dan raut wajahnya sedikit melunak, aku sadar dari nada suaranya dia berusaha memperingati Aksa. Suatu kenyataan mendadak menghantamku. Adam sepertinya tahu kalau ada sesuatu yang kami sembunyikan.

Dan prasangkaku itu dikonfirmasi melalui senyum miring yang Adam lemparkan kepadaku. Beserta gelengan kepala dan sorot mata yang seolah berkata gue-tahu-ada-sesuatu.

"Udah pacaran berapa lama, Lun?" tanya Aksa setelah dia melepaskan rangkulannya. Akhirnya, aku bisa menghirup oksigen dengan lega tanpa merasa saluran pernapasanku tersumbat.

"Tiga tahun," jawabku singkat, agak kikuk.

"Ada pikiran buat menyusul Lisa dalam waktu dekat?" tanyanya lagi.

"Belum ada omongan sampai ke sana."

"Sa, jangan ditanya soal nikah." Lisa berceletuk tanpa merasa berdosa. "Luna semakin sensitif kalau ada yang bawa topik tentang pernikahan setelah gue menikah hari ini. Galau kali dia karena Damar nggak melamar padahal udah tiga tahun pacaran."

Aku mengatupkan bibir, ingin membantah ucapan Lisa, tetapi aku tahu itu percuma. Lagi pula, Lisa tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan Damar selama beberapa bulan terakhir ini. Bukan karena aku tidak ingin bercerita kepadanya, tapi aku merasa masalah ini masih bisa kuselesaikan dengan Damar. Berdua. Tanpa perlu ada bantuan dari orang lain.

"Sebentar atau lamanya hubungan sebenarnya nggak ngaruh, sih," timpal Aksa dengan nada yang sedikit acuh. "Ada orang yang udah pacaran lama, tapi ujung-ujungnya putus. Ada juga orang yang baru pacaran cuma berapa bulan, tapi langsung merasa cocok dan nggak ragu buat menikah."

Aku memiringkan kepala. Lalu? Inti dari ucapannya apa?

"Just saying," ujar Aksa ketika menyadari aku kebingungan. "Maybe he is not the one that you've been waiting for."

Aku mendengus. Untuk ukuran orang yang sudah lost contact selama tujuh tahun, Aksa sepertinya masih merasa kalau dia berhak berpendapat atas keputusan hidup yang kuambil. Rasa jengkelku semakin meningkat tajam begitu mengetahui kalau apa yang dia ucapkan itu bisa saja benar. Karena, bukan sekali atau dua kali aku melihat kenalanku berakhir seperti itu.

"We'll see," gumamku.

Suara pintu yang diketuk pelan membuat pembicaraan terhenti. Karena posisiku yang paling dekat dengan pintu, aku membukanya. Mataku mengerjap begitu melihat Damar berdiri di depan ruangan. Aku tidak memberitahunya kalau aku berada di sini, bagaimana bisa dia datang ke ruangan ini?

Damar memberikan kecupan singkat di puncak kepalaku ketika mata kami bersitatap. Dia memasuki ruangan dan memberikan kata-kata selamat kepada Lisa dan Adam.

"Sepupunya Lisa atau Adam?" tanya Damar ketika melihat Aksa berdiri tidak jauh.

Aku menarik napas sambil menatap Aksa dengan gugup. Selama ini, aku tidak pernah membayangkan ada momen di mana Damar akan bertemu dengan Aksa. Walaupun aku dan Aksa tidak pernah memulai hubungan romantis secara resmi, tetap saja aku dan Aksa memiliki sebuah sejarah singkat.

"Temannya Lisa dan Adam," ujar Aksa seraya menyebutkan namanya.

Aksa dan Damar saling memperkenalkan diri sebelum akhirnya Damar melangkah mendekat kepadaku. Menarik pinggangku hingga tubuhku mendekat ke arahnya. Sekilas, aku melihat rahang Aksa menegang. Matanya menatap tajam pada tangan Damar yang bertengger di pinggangku. Belum sempat aku meneliti wajahnya, untuk memastikan aku tidak salah melihat atau mengartikan sorot matanya, wajah Aksa sudah kembali tampak bersahabat.

"Kenal Luna juga?" tanya Damar lagi.

Jantungku berdetak kencang ketika mendengar pertanyaan itu. Aku hanya bisa berharap cemas seraya detik demi detik berlalu tanpa ada tanggapan dari Aksa. Laki-laki itu menatap ke arahku dan Damar bergantian selama beberapa kali.

Semoga Aksa tidak mengatakan hal yang aneh-aneh.

"Kenal," tutur Aksa dengan nada yang menggantung. Matanya terpaku ke arahku, menatapku dalam sebelum kembali berbicara. "Waktu itu Luna sempat ikut ke Malang bareng gue, Lisa, Adam, dan teman-teman kami yang lain."

"Oh, ya?" Damar menaikkan sebelah alisnya. "Gue nggak pernah dengar cerita tentang lo dari Luna."

Aksa tersenyum simpul. "Kita emang udah putus hubungan setelah liburan dari Malang."

Bola mataku membulat. Aku melemparkan tatapan penuh peringatan kepada Aksa. Seharusnya, aku tidak sepenuhnya mempercayainya untuk berbicara hal-hal yang normal tentang apa yang terjadi di antara kami.

Damar menengok ke arahku. "Kalian pernah pacaran?"

"Nggak!" elakku cepat. Aku menelan ludah sambil menggelengkan kepala. "Maksudnya, aku dan Aksa udah lost contact setelah liburan itu karena Aksa harus lanjut kuliah di Australia." Aku menjelaskan dengan tergesa. "Lagi pula, waktu itu Aksa udah punya pacar. Iya kan, Sa?"

Please, Sa. Aku memohon di dalam hati. Di detik ini, tidak ada hal lain yang kuinginkan selain Aksa bersikap kooperatif.

"Kata siapa?" Aksa tertawa kecil. Dia mengulum senyumnya. "No, I didn't have a girlfriend seven years ago. Gue putus sama cewek gue beberapa minggu sebelum pergi ke Malang."

Mendadak, aku merasa oksigen di sekitarku semakin menipis. Jantungku berdetak begitu pelan hingga aku memiliki firasat kalau organ tubuhku yang satu itu absen sementara untuk melakukan tugasnya.

Lalu, apa alasannya menolakku tujuh tahun yang lalu?

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 107K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
4.1M 30.7K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
23.4K 2.7K 28
Sinopsis Jiang Suisui meninggal karena penyakit jantung bawaan di kehidupan sebelumnya, dan dia selalu menyesal bahwa dia tidak mengalami cinta yang...
1.4M 114K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...