Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 13: It's been a long time

15.7K 2.1K 56
By storiesbyyola

LUNA

Sejujurnya, aku sudah memikirkan berbagai macam skenario masa depanku.

Di mana salah satunya mengantar kembaranku untuk memasuki fase kehidupan baru yang bernama pernikahan. Dalam bayangan imajinasiku, aku akan sibuk membantu Lisa menyiapkan pernikahannya. Mulai dari hari pertunangan hingga malam puncak saat resepsi pernikahan.

Aku selalu percaya diri kalau aku tidak akan menangis ketika Adam selesai melakukan ijab kabul. Namun, air mata yang jatuh dari pelupuk mata ketika MC mengatakan bahwa Lisa dan Adam sudah resmi menjadi sepasang suami istri membuatku tersadar kalau aku tidak sekuat itu untuk tidak menangis di hari bahagia kembaranku sendiri. Papa dan Mama juga beberapa kali mengusap air mata sebelum merusak make up hasil pekerjaan tangan MUA yang disewa seharian penuh.

Aku sudah ingin menghampiri Lisa yang sedang break sambil menunggu waktu touch up sebelum para tanteku datang mencegatku. "Tante," sapaku kepada dua tanteku dengan senyum penuh paksaan. "Apa kabar, Tan? Udah lama nggak ketemu."

"Baik, Lun. Kamu gimana kabarnya? Aduh, kok semakin kurus aja sejak balik dari Jerman," keluh salah satu tanteku. "Kamu kapan mau nyusul Lisa? Umurmu udah dua puluh delapan lho, Lun. Perempuan nggak baik kalau menikah terlalu tua."

Seperti biasa, aku hanya bisa tersenyum kaku mendengarnya. "Nggak dalam waktu dekat, Tante. Aku baru mau mulai kerja lagi dan butuh adaptasi di lingkungan baru."

"Aduh, Luna, kamu itu kejar apa, sih?" tanya tanteku yang lain. "Ambisimu itu, lho. Harus lebih dikendalikan lagi. Mau sampai kapan kamu kejar karier terus? Lagi pula, perempuan yang punya karier dan pendidikan terlalu tinggi juga nggak baik. Laki-laki bisa minder, Luna."

Entah sudah berapa kali aku mendengar perkataan yang sama dari kedua tanteku ini. Setiap bertemu mereka, pembicaraan selalu berputar pada pernikahan serta petuah dan kritik-kritik yang mereka sampaikan atas keputusan hidupku. Mereka juga mengatakan hal yang sama sebelum aku pergi ke Jerman untuk mengambil studi magister. Umurku kala itu sudah dua puluh lima dan mereka berpikir keputusanku pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikanku akan menghalangi jalanku untuk bisa menikah.

"Terlalu sibuk sama pekerjaan juga nggak baik, Lun." Tanteku memulai petuahnya lagi. "Nanti kamu jadi nggak punya waktu buat pacaran. Lama-lama jadi semakin terbiasa sendiri. Kalau sudah begitu, pasti sudah susah kalau mau memulai hubungan."

"Aku bisa mengatur waktuku dengan baik, Tan," ucapku penuh penekanan, tidak tahan lagi untuk terus berdiam diri padahal baru lima menit pembicaraan ini berlangsung. Tanpa menunggu mereka berbicara, aku lebih dulu menyela. "Aku duluan ya, Tan. Mau samperin Lisa dulu ke ruang rias."

Napasku baru bisa berembus normal ketika kakiku sudah melangkah menjauhi kedua tanteku yang masih mengomentari pilihan hidupku. Seiring dengan kaki yang terus melangkah, batinku terus memberikan kalimat-kalimat penenang untuk diriku sendiri. Ini adalah hari yang baik. Hari bahagia untuk keluargaku. Aku tidak ingin suasana hatiku yang berantakan berkat tanteku merusak kebahagiaan ini.

"Wow. Look at you!" Aku terperangah ketika memasuki ruang rias dan melihat Lisa sedang duduk di depan cermin, meneliti riasannya. "I can't believe you are officially a wife now!"

Aku berjalan mendekati Lisa dan memeluk kembaranku itu dari belakang dengan erat. Sedikit berhati-hati karena aku tidak ingin merusak riasannya ataupun tatanan rambut indahnya. Lisa memegang kedua lenganku yang melingkar di sekitar pundaknya. Berbagai kekalutan yang singgah di pikiran Lisa dan menyebabkan wajah wanita itu kusut sepanjang pagi menghilang tepat setelah Adam selesai mengucapkan ijab kabul. Sejak saat itu juga, senyum lebar terpatri di wajahnya.

"Umur gue udah dua puluh delapan tahun. Pacaran sama Adam udah lebih dari sepuluh tahun," komentar Lisa. "Apalagi yang gue cari?"

Melalu cermin, aku melihat Adam yang berdiri memperhatikan interaksi kami di belakang hanya mampu mengulum senyumnya. Sebenarnya, aku ingin mengatakan berbagai macam petuah kepada laki-laki itu mengingat dia akan menjadi orang yang akan menemani Lisa di sisa hidupnya, tetapi semua perkataan yang melintas di pikiranku tertelan kembali tanpa sempat aku ucapkan. Aku tahu tanpa wejangan dariku, Adam tidak akan melakukan hal yang dapat melukai Lisa.

"Jadi, kapan lo mau nyusul?" tanya Lisa, menggodaku. Dia melepaskan tanganku secara paksa lalu membalikkan badannya. "Udah berapa kali dapet pertanyaan kayak gitu hari ini?"

Aku mendengus. Pertanyaannya itu sukses menghancurkan suasana haru di ruangan ini. "Gue aja baru kelar S2, Lis. Baru mulai kerja lagi minggu depan."

"Terus?" Adam menyahut di tengah-tengah obrolanku dengan Lisa. Alis laki-laki itu naik sebelah. "Hubungannya apa?"

"Ya, gue masih mau bangun karier gue dulu," timpalku. Aku bersedekap, sedikit menyandar pada meja rias yang penuh dengan berbagai alat make up. "Ini pertama kalinya gue kerja di consulting firm setelah bertahun-tahun kerja di perusahaan pertambangan. Gue mau adaptasi dulu sama lingkungan kerja yang sekarang sebelum menikah."

Lisa menggelengkan kepala, tetapi dia tidak bisa menahan tawa ketika mendengarku berbicara dengan bersungut-sungut. Walaupun aku tahu pertanyaannya tadi bukanlah sebuah desakan—seperti apa yang biasa dilakukan keluarga besarku—topik mengenai pernikahan memang cukup sensitif di telingaku.

Dulu, aku bisa menanggapi pertanyaan mereka dengan cengiran lalu melemparkan pertanyaan tersebut ke Lisa. Setelah Lisa menikah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada keluarga besarku agar mereka tidak terus menanyakan kapan aku memberikan undangan. Tanpa terdengar kurang ajar.

"Omong-omong, aku nggak lihat Aksa tadi pas akad," celetuk Lisa kepada Adam.

Tubuhku langsung menegang ketika mendengar nama dari orang tidak pernah kutemui lagi selama tujuh tahun terakhir ini. Adam memang memberitahuku bahwa Aksa akan menjadi salah satu groomsman di acara pernikahannya. Hal itu juga yang membuatku gelisah sejak beberapa hari belakangan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika bertemu dengannya lagi usai perpisahan kami di bandara. Haruskah aku bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara kami? Atau perlukah aku menghindarinya?

"Dia emang udah izin nggak bisa ikut akad semalam," ujar Adam. Senyum di wajahnya lenyap. "Nyokapnya masuk rumah sakit kemarin sore. Jadinya, dia mesti nungguin nyokapnya dulu."

"Tante Erna masuk rumah sakit?" tanyaku, kaget.

Imaji wanita paruh baya yang tujuh tahun silam pernah video call bersamaku ketika di Malang muncul di pikiran sedikit samar. Bahkan, aku sendiri merasa kaget karena masih mengingat nama ibunya Aksa. Padahal kami belum pernah bertemu secara resmi.

Adam mengangguk. "Tekanan darahnya rendah ditambah akhir-akhir ini lagi kecapekan dan banyak pikiran."

"Apa nggak lebih baik kalau Aksa nemenin nyokapnya aja di rumah sakit?" tanya Lisa khawatir. "Aku nggak akan marah, kok, kalau dia nggak bisa datang hari ini."

Adam mendekati Lisa dan mengelus lengan wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu. "Aku udah bilang begitu," ujarnya. "Tapi, dia bilang nyokapnya udah boleh keluar dari rumah sakit sore ini dan dia nggak mau melewatkan acara pernikahan kita."

"Beneran?"

"Aksa udah berangkat dari rumah sakit setelah akad selesai."

"Kok masih belum sampai?"

"Sebentar lagi juga datang, Lis," ucap Adam lembut seraya mengecup puncak kepala Lisa, berusaha menenangkannya. Akhir-akhir ini Lisa memang sering merasakan kecemasan berlebihan terkait hal-hal yang berkaitan dengan hari pernikahannya. "Kamu mau makan dulu? Aku minta orang WO buat ambilin makan, ya? Pas resepsi nanti kita pasti nggak bisa makan."

Lisa menghela napas lalu mengangguk pelan. Baru saja aku ingin menawarkan diri untuk keluar dan meminta siapa pun orang yang bertugas di luar untuk membawakan makanan. Yang penting, aku tidak perlu berlama-lama di sini. Aku tidak ingin bertemu Aksa sekarang. Namun, belum sempat aku bersuara, Lisa sudah menahanku untuk menemaninya.

Pandanganku tidak bisa terlepas dari pintu yang tertutup rapat. Sejak pertemuan terakhir itu, aku tidak pernah bertemu Aksa sekali pun. Aku tidak mengerti bagaimana bisa selama tujuh tahun terakhir, tidak ada satu pun kejadian yang mengantarkanku kepadanya maupun sebaliknya. Padahal, aku tahu kalau Aksa masih berteman dekat dengan Lisa dan Adam meski mereka sudah lulus kuliah. Mereka juga masih rutin bertemu beberapa kali dalam setahun di hari-hari besar.

Mungkin karena aku terlalu sibuk fieldwork di luar kota ketika bekerja menjadi staf SHE di perusahaan pertambangan sejak lulus kuliah. Mungkin karena Aksa berhasil mewujudkan keinginannya untuk melanjutkan kuliah S2 di Stanford setelah studi S1-nya selesai. Ketika Aksa sudah menetap di Indonesia, aku yang pergi selama dua tahun ke Jerman untuk mengambil program magister.

Kalau dipikir-pikir, kesibukan dan timeline hidup kami yang berbeda kemungkinan besar adalah faktor utama kenapa kami tidak pernah bertemu lagi.

Bukan berarti aku ingin bertemu dengannya. Aku penasaran. Kerap kali berpikir bagaimana Aksa melanjutkan hidupnya setelah dia mematahkan hatiku dalam kedipan mata. Apakah dia merasa bersalah? Apakah dia pernah berpikir untuk menghubungiku? Apakah dia menanyakan kabarku ke Lisa atau Adam? Bagaimana hubungannya dengan pacarnya yang ada di Australia itu?

Karena, kenangan manis selama satu minggu di Malang yang ditutup dengan patah hati itu sampai sekarang masih membekas di hatiku. Bahkan, beberapa kali aku merasa memori itu masih segar seolah baru terjadi kemarin sore—sangat berbeda dengan kisah cintaku yang lain yang berhasil kulupakan.

"Lo masih suka kontak-kontakan sama Aksa nggak, sih, Lun?" tanya Lisa setelah Adam keluar dari ruangan. "Pas liburan ke Malang kalian kan, dekat banget. Gue kira kalian bakal pacaran."

Sampai sekarang, Lisa memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Aksa. Dia tidak tahu jika kisah kami terpaksa berhenti sebelum sempat dimulai. Entahlah. Harga diriku tidak mengizinkanku untuk menceritakan hal itu kepada Lisa. Selain itu, aku tahu Lisa tidak akan tinggal diam apabila dia tahu Aksa berhasil mempermainkanku. Aku tidak ingin merusak persahabatan mereka.

"Nggak, lah," bantahku. "Dia cuma teman."

Lisa mendecakkan lidah. "Semua juga awalnya dari teman, Lun."

Aku memelotot. "Jangan coba-coba buat comblangin gue sama Aksa!" peringatku ketika senyum misterius terbit di wajah kembaranku. "Gue sama dia bisa awkward kalau lo mulai aneh-aneh."

"Nggak ada, Lun?"

"Apanya?"

"Rasa tertarik sama Aksa?"

Aku menatap Lisa lurus. Kalau ini bukan hari bahagianya, aku tidak akan ragu untuk berdebat dengannya. Apapun akan kulakukan selama itu dapat menjaga batas aman antara diriku dan Aksa. Namun, kali ini aku berusaha bersabar sehingga aku hanya menyahutinya dengan singkat dan penuh penekanan. "Nggak ada."

Lisa mengembuskan napas, tampak kecewa. "Padahal kalian lucu kalau pacaran."

"Emangnya lucu bisa dijadikan landasan buat pacaran sama seseorang?" balasku dengan kening yang berkerut. "Sejak kapan ada aturan kayak begitu?"

Lisa menyengir. "Sejak hari ini. Gue yang buat."

Aku memutar kedua bola mata, jengkel. "Gue udah nggak pernah ketemu sama dia."

"So, what? Kalian bisa saling mengenal lagi. Seenggaknya kalian nggak canggung dan bingung mesti ngomongin apa mengingat kalian udah kenal sebelumnya," cecar Lisa. "Kalian bisa catch up banyak hal selama beberapa tahun nggak ketemu, find a chemistry, kenalan sama keluarga, dan tada! Paling cepat kalian bisa menyusul gue dan Adam buat menikah tahun depan."

Keteguhan Lisa untuk mendekatkanku dengan sahabatnya itu membawaku ke satu kesimpulan. Aksa sudah putus dengan Amanda—entah sejak kapan—dan sekarang laki-laki itu masih sendiri. Belum punya pacar.

Entah aku harus bahagia atau semakin pusing dengan kenyataan itu.

"Ngaco!" semburku setelah berhasil menguasai diri. "Lo lupa kalau gue—"

"Lis!" Suara pintu yang terbuka dengan sedikit kasar membuatku berhenti berbicara. Di ambang pintu, Adam tersenyum lebar dengan tangan yang memegang gagang pintu. "Yang tadi kamu cariin udah datang, nih."

Tidak perlu menjadi jenius untuk mengetahui siapa yang dimaksud oleh Adam. Selang satu detik setelah Adam berbicara, sosok laki-laki yang tinggi menjulang memasuki ruangan. Aksa. Dibandingkan terakhir kali aku bertemu dengannya, kulitnya terlihat sedikit lebih gelap. Bayangan hitam samar memenuhi sepanjang rahangnya. Bukti kalau dia belum lama bercukur. Wajahnya tampak begitu lelah, tetapi matanya terlihat berbinar ketika Lisa beranjak dari tempat dan memeluk laki-laki itu.

Ketika mataku bertemu dengan bola mata hitam miliknya, aku hanya mampu menahan napas. Namun, aku tidak bisa mengalihkan pandangan. Manik mata Aksa seolah menghipnotisku untuk memaku perhatian hanya pada dirinya.

"Congrats, Lis," ujar Aksa dengan suara yang agak serak, tetapi matanya masih tertuju kepadaku. "Akhirnya gue nggak perlu pusing dengerin curhatan lo lagi setiap minggu, nanyain apa Adam bakal berubah pikiran atau nggak di hari pernikahan kalian."

Gurauan Aksa membuat tawa Lisa berderai. Kembaranku itu memukul punggung Aksa pelan lalu menguraikan pelukannya. "Nyokap lo gimana kabarnya?" tanya Lisa, mulai khawatir lagi. Pertanyaan Lisa sukses mengalihkan perhatian Aksa. "Beneran bisa ditinggal? Kalau nggak bisa, gue nggak akan marah kalau lo mau balik lagi sekarang."

"Tadi udah dijemput sama kakak gue di rumah sakit sebelum gue ke sini," sahut Aksa. "Gue nggak bisa sampai malam banget ya, Lis. Kemungkinan nggak bisa nunggu sampai acara benar-benar selesai."

"Nggak apa-apa," ujar Lisa. "Gue justru nggak enak kalau harus tahan lo terlalu lama di sini."

"Santai aja lah, Sa," celetuk Adam seraya menepuk pundak Aksa. "Kayak sama orang lain aja."

Aku mengeluarkan napas yang sempat tertahan dengan sedikit lega ketika Aksa tidak lagi memperhatikanku. Tanpa suara, aku mengambil ponsel yang ada di meja rias dan berjalan sedikit merapat ke dinding agar bisa keluar dari ruangan ini sementara mereka masih terlibat dalam perbincangan mengenai penyebab Tante Erna masuk rumah sakit. Lenyap dari pandangan Aksa dan memasang radius aman sejauh satu kilometer adalah hal terbaik yang bisa kulakukan sebelum Aksa berhasil memporak-porandakan hatiku untuk kedua kalinya.

Aku pikir, rencanaku untuk menghindari Aksa akan berhasil. Namun, tepat setelah tanganku menyentuh gagang pintu, sebuah tangan menahan lenganku begitu saja. Membuat tubuhku kontan membeku.

"Udah bertahun-tahun nggak ketemu, sekalinya ketemu masih nggak mau say hi ke gue?" tanya Aksa dengan suara sedingin es. Bahkan, tubuhku sampai menggigil karena mendengar suaranya. "It's been a long time."

Continue Reading

You'll Also Like

402K 40.2K 52
Tamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa he...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1M 77.9K 93
New adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan de...
1M 149K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...