Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

975K 98.6K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?

16.8K 2.1K 41
By storiesbyyola

LUNA

Aku melupakan suatu hal yang penting ketika menyetujui ajakan Lisa untuk mengantar kepergian Adam ke Australia. Aksa juga mengikuti penerbangan yang sama dengan Adam. Langkah kakiku nyaris terhenti saat akhirnya aku menemui sosoknya lagi setelah dua minggu berlalu. Beberapa hari terakhir, Aksa mencoba menghubungiku tetapi aku mengabaikannya. Setelah apa yang dia lakukan, dia mengirimkan pesan seolah tidak ada masalah terjadi di antara kami. Dan sikapnya itu membuatku semakin meradang. Kesal.

Setelah menyapa Aksa yang dikelilingi orang tua dan adik laki-lakinya, Lisa berlari ke arah Adam dan keluarganya. Pacaran selama bertahun-tahun membuat Lisa mengenal dekat orang tua Adam, apalagi Adam anak tunggal. Aku menggelengkan kepala begitu melihat Lisa mendekap pacarnya dengan erat. Detik kemudian, aku mendengar isakan pelan.

"Di mobil bilangnya nggak mau nangis," ujarku, meledek.

Aku berusaha mengabaikan tatapan Aksa yang melekat kepadaku. Tanpa berniat untuk menghampirinya yang berdiri tidak jauh dari Adam dan keluarganya, aku menyapa kedua orang tua Adam. Beberapa detik setelahnya, kami sudah terlibat obrolan ringan hingga aku mendengar isakan tangis Lisa semakin terdengar kencang.

Aku mendesah ketika Lisa masih tidak mau melepaskan Adam. "Lis, nanti juga kalian ketemu lagi di Australia."

"Kita ada di bagian negara yang berbeda, Lun!" keluh Lisa. Dia mengurai pelukannya dengan Adam tetapi tangannya masih melingkar di pinggang kekasihnya itu. Matanya memerah. "Lo nggak tahu rasanya LDR-an kayak gimana."

"Malu dilihatin Om dan Tante," balasku seraya melirik orang tua Adam—yang sebenarnya sama sekali tidak keberatan dengan apa yang dilakukan Lisa. Justru, orang tua Adam hanya tersenyum maklum.

"Dari SMA bareng terus tuh, Lun," sahut ayahnya Adam dengan penuh gurauan. Aku memang bisa dikatakan cukup dekat dengan orang tua Adam mengingat ketika SMA, aku terpaksa mengekori Lisa setiap bertamu ke rumah Adam. "Makanya sekalinya kepisah langsung galau. Sejak balik dari Malang, Adam juga butek banget pikirannya."

"Kalau tiba-tiba Adam minta uang bulanannya ditambah, kita bisa nebak ya, Om, uangnya buat apa," ujarku yang ditanggapi dengan gelak tawa dari orang tua Adam sedangkan Lisa hanya mencebik.

Kembaranku itu kembali menyembunyikan wajahnya di dada Adam.

"Lis, jangan kayak begini, dong," ucap Adam muram. Tangannya bergerak mengelus punggung Lisa. "Aku jadi berat ninggalinnya kalau kayak gini."

"Emang harus berat, Dam!" cetus Lisa dengan suara yang agak teredam. Detik kemudian, dia mendongak. "Kalau kamu nggak merasa berat, aku jadi curiga jangan-jangan ada yang nunggu kamu lagi di Melbourne."

Adam mendengus lalu menyentil kening Lisa. "Sembarangan! Selama ini aku ditempelin mulu sama kamu. Gimana bisa nyari yang lain?"

Lisa merengut. Dia mengambil satu langkah ke belakang. Tangannya menyilang di depan dada. "Kepikiran buat nyari yang lain emangnya?"

Bola mata Adam membulat, terlihat panik setelah mengetahui dia salah berbicara. Sontak, Adam menarik tangan Lisa untuk membawa gadis itu ke pelukan untuk kesekian kalinya. "Nggak, lah. Only you. Always you."

Astaga. Pasangan ini memang kebanyakan drama. Aku menoleh untuk melihat reaksi orang tua Adam. Entah karena mereka sudah menjalin hubungan bertahun-tahun atau ada alasan lain, orang tua Adam sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Lisa. Mereka tersenyum hangat sambil sesekali berbisik entah membicarakan apa. Namun, dilihat dari raut wajahnya, aku bisa menebak mereka tidak membicarakan hal yang buruk.

"So, you don't want to say good bye?"

Suara itu terdengar seiring dengan tepukan pelan di bahuku. Tanpa membalikkan tubuh, aku tahu siapa yang berbicara. Damn. Aku sengaja tidak menghampirinya karena aku tidak ingin terlibat dalam perbincangan apa pun dengannya, tetapi kenapa dia malah mendekatiku, sih?

Setelah menarik napas dalam untuk mengontrol perasaanku, aku memutar tubuh. Aksa berdiri menjulang beberapa senti di hadapanku. Dengan kemeja flanel, celana jins, dan converse. Ditambah backpack di punggungnya.

"Oh, hai!" ucapku seolah aku baru melihatnya.

Aksa mengernyit. Dia seperti ingin berbicara sesuatu, tetapi urung. Setelah detik demi detik berlalu tanpa adanya pembicaraan, Aksa membuka suara. "Foto-foto selama di Malang udah lo terima, kan?" tanyanya.

Ah, foto-foto itu. Di hari pertama aku mendapatkan pesan dari Aksa, laki-laki itu memperkenalkan diri lalu mengirimkan puluhan foto kami. Hanya berdua. Foto-foto candid hasil potretan Kevin yang aku sendiri tidak sadar kapan diambilnya. Dari hari pertama kami menginjakkan kaki di Malang hingga di Gunung Bromo.

Foto-foto yang membuatku semakin gamang dan berakhir merutuki diriku sendiri karena tidak mampu mengendalikan perasaanku kepada Aksa sehingga berakhir jatuh hati kepadanya.

"Gue nggak tahu lo udah terima apa belum karena lo nggak bales chat gue," tukas Aksa ketika aku tidak menyahuti perkataannya.

Aku mengulum bibir lantas berdeham. "Udah, kok."

"Mau temenin gue ke Starbucks?" ajaknya. Entah kenapa di mataku Aksa terlihat berusaha keras supaya perbincangan ini tidak berakhir. "Traktiran terakhir sebelum gue berangkat ke Australia."

"Nggak perlu," tolakku tanpa pikir panjang. "Gue lagi nggak mau ngopi."

Aksa tidak menyembunyikan kekecewaan di raut wajahnya ketika aku menolak ajakannya itu. Situasi tiba-tiba berubah menjadi canggung, tetapi memang seharusnya seperti ini. Hubunganku dan Aksa tidak akan sama lagi. Berpura-pura seolah kami masih bisa menjadi teman yang baik tidak dapat menyelesaikan masalah dan kemungkinan besar aku akan semakin tenggelam dalam patah hati.

Patah hati. Aku termenung. Aku mengenal Aksa tidak sampai satu minggu tapi dia berhasil memenuhi pikiranku kemudian menghempaskanku begitu saja ketika aku sudah menaruh harapan yang tinggi terhadapnya.

Bahkan, usai liburan itu, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aksa kerap kali hadir dalam pikiranku yang kosong. Papa beberapa kali menegurku selama di rumah karena aku terlalu sering kehilangan fokus di tengah pembicaraan.

"Mungkin akan lebih mudah kalau lo marah sama gue daripada kayak gini, Lun," gumam Aksa dengan suara yang begitu pelan tapi masih dapat terdengar di telingaku. "Gue jadi bingung harus kayak gimana kalau lo begini."

"Karena lo emang seharusnya nggak harus ngapa-ngapain lagi, Sa!" sambarku kesal. "You have a girlfriend and you will leave eventually. Lo yang begini kelihatan kayak seorang pacar yang lagi ngemis permohonan maaf ke pacarnya karena melakukan kesalahan."

"Lo itu teman yang baik, Lun. Gue nggak mau kita lost contact begitu aja karena masalah ini," timpal Aksa dengan suara yang agak meninggi, tetapi tidak cukup besar untuk dapat didengar oleh orang lain. "Kita masih bisa jadi teman kan, Lun?"

"Lo tahu kalau gue menganggap lo lebih dari itu kan, Sa?"

Aksa termangu. Dia membuang napas, wajahnya mengeruh. "I know."

"Ternyata lo egois juga ya, Sa?" tuturku dengan amarah yang sudah membeludak. Aku tertawa pelan. Tawa yang mungkin terdengar sangat getir. "How can you expect me to be your friend after all this mess?"

Sorot mata Aksa tertuju kepadaku. Dia tidak berkata apa-apa selain menatapku dengan lekat. Ketika terdengar suara pengumuman yang menandakan dirinya dan Adam harus segera boarding, Aksa menghela napas.

"If I told you earlier, would that change everything?" tanya Aksa sendu.

Aku meremas jari-jariku. Bibirku terkatup rapat. Bukan karena enggan menjawab pertanyaannya. Aku tidak dapat memberikan jawaban yang tepat karena aku memiliki firasat meskipun Aksa memberitahuku statusnya sejak awal, kemungkinan aku tetap mempunyai keinginan untuk memilikinya—walaupun keinginan memiliki itu tidak sebesar sekarang.

"So, we can't be friends anymore?"

Aku menunduk, tidak berani melihat wajahnya ketika aku memberikan gelengan. "Sorry."

Ada jeda yang cukup panjang hingga akhirnya dia kembali berbicara. "I guess we can't hang out in Melbourne when you come for your MUN."

Aku terdiam.

"Good luck buat Harvard National MUN-nya, Lun." Akhirnya, aku mendongak ketika Aksa menepuk puncak kepalaku beberapa kali. Laki-laki itu melemparkan senyum tipis kepadaku.

Sebelum aku sempat memberikan salam perpisahan, Aksa menghampiri keluarganya. Dia berbincang sejenak dengan keluarganya, membuatku sedikit penasaran apa yang mereka bicarakan karena setelahnya Tante Erna melihatku kemudian melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangan itu dengan singkat sambil tersenyum. Tanpa menoleh lagi ke belakang, Aksa berjalan menjauh hingga sosoknya tertutupi oleh orang-orang yang memenuhi bandara sedangkan mataku tidak bisa terlepas dari punggungnya yang terus menjauh.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 54.4K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
819K 71.6K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...
701K 67.1K 37
Pemenang Watty Awards 2019 kategori New Adult (Seri Pertama dari Coffee Series) "Dunia bukanlah sebuah permainan. Karena sekali kamu gagal, kamu tida...
706K 89.4K 42
Satya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang...